Namun dia benar. Aku tidak akan mengenal tempat senyaman ini kalau bukan karenanya. Awalnya, kupikir tempat ini adalah biasa-biasa saja, bahkan aku pernah berpikir bahwa Devan tinggal bersama kucing-kucing yang kotorannya berserakan. Namun dugaanku salah, tempat ini cukup bersih, juga tidak ada kucing, apalagi kotorannya hahaha…
Aku mengalihkan pandanganku dari langit menuju ke layar handphone.
Grup siswa sekolah di w******p tiba-tiba heboh, ada seseorang dengan nomor kontak misterius yang menyebar fotoku dan Devan saat dia menggendongku. Gawat. Ini menjadi masalah besar. Kebanyakan orang berkomentar negatif tentang kami berdua.
‘Kupikir Sakura memutuskan Bram karena dia selingkuh.’
‘Bagaimana mungkin Devan dan Sakura begitu dekat sehari setelah Sakura putus dengan Bram’
‘Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kalian tidak ingat bu Tuti menyruh Sakura untuk membuat Devan berubah’
‘Sakura anak yang baik’
‘Ini pasti karena Devan. Lihatlah bagaimana dia meninju Bram kemarin. Tetapi aku tidak ingin menyalahkannya, karena Devan lebih tampan dari Bram wkwkwkwk’
Belum selesai semua pesan itu k****a, Devan meraih handphoneku cukup cepat hingga
handphoneku kini berpindah ke tangan Devan.
“Aku memanggilmu dari tadi Ra,” ujarnya lantas membaca semua pesan di handphone-ku.
Seketika dia membulatkan mata. Emosi terpancar jelas di wajahnya.
Devan berjalan meninggalkanku. “Dev… kamu mau kemana?” “Ke tempat yang tepat.”
Bel berdering. Membuatku bergegas berdiri dan membersihkan rok-ku yang kini berwarna keputihan karena debu. “Belajarlah dulu Dev. Kita bisa selesaikan ini nanti.”
“Tidak bisa Ra, laki-laki itu sudah membuatmu depresi. Seharusnya kamu harus konsen belajar, juga olimpiade.”
Aku meraih lengan Devan pelan. “Tolonglah Dev. Setelah pulang sekolah kita akan menemuinya dan menyelesaikan ini secara baik-baik. Kamu juga harus belajar.”
“Belajar? Kupikir akan lebih bermanfaat bila menyelesaikan ini ketimbang menambah dosa dengan mengumpat guru dalam hati kapan pelajarannya cepat berakhir.”
Aku mengangguk. “Baiklah, selesaikan ini kalau kamu mau. Tapi ingat Dev, jangan sampai dia terluka seperti kemarin. Juga dirimu. Aku tidak ingin ada perkelahian karenaku.”
Devan mengangguk, “Aku janji.” Dia melangkahkan kakinya cukup cepat.
Aku memijat pelipis. Tidak ada gunanya menghentikan laki-laki keras kepala seperti Devan. Menghalangi hanya akan membuatnya tambah berhasrat untuk melakukan sesuatu kepada Bram.
Bram, aku tidak tahu apa yang laki-laki itu pikirkan. Aku tahu dialah pengirim misterius itu di grup w******p. Foto profilnya adalah dua lollipop dengan latar pohon rindang, aku sendiri yang mengambil gambar itu lewat handphonenya. Mestinya dia memilih waktu dan tempat yang tepat kalau dia sungguh-sungguh ingin meminta maaf.
Langkahku kembali ke kelas cukup berat. Di kelas, semua orang menatapku sinis terkecuali Arabelle yang menanyakan kabarku apa aku baik-baik saja. Aku balas dengan anggukan pelan.
Kali ini, tidak ada satupun materi pelajaran yang nyangkut di kepalaku. Mataku terus menatap keluar jendela. Berpikir apa yang akan Devan lakukan kepada Bram.
AUTHOR POV :
Devan menarik kerah baju Bram dari belakang sebelum laki-laki itu berhasil tiba di kelasnya. Semua buku paket yang Bram bawa berserakan di lantai membuatnya harus memungut buku itu satu-persatu.
“Bawa buku ini, tunggu aku di kelas,” ujar Bram memberikan semua buku yang berserakan tadi kepada wakil ketua kelasnya. Bram merupakan ketua kelas di kelasnya, sama seperti Sakura.
“Ada apa?”
Devan mengepalkan tangan. Dia sudah siap melayangkan tangannya di wajah Bram. Namun, karena Sakura membuat Devan berusaha meredam emosinya dengan menarik napas panjang.
Bram mangamati sekelilingnya. Dia memastikan suasana betul-betul sepi. “Ikut aku!” Laki-laki itu melangkahkan kakinya disusul Devan.
Mereka kini berada di tengah-tengah lapangan basket.
Bram mengambil bola basket dan memantulkannya dengan satu tangan kemudian melakukan chest-pass kepada Devan. Devan merespon dengan sigap.
“Aku yakin Sakura tidak mengijinkanmu berkelahi. Karena itu, ini solusi terbaik. Kalau kamu berhasil mengalahkanku, aku berjanji tidak akan menganggu Sakura lagi.”
Mata Devan bertemu pandang dengan mata Bram cukup lama. “Baiklah…”
Sepuluh menit berlalu, Devan memainkan bola dengan lihai membuat Bram tidak dapat mengejar skor Devan yang sudah terlampau jauh. Bram tidak tahu kalau Devan sehebat ini dalam permainan basket. Antara rasa bingung dan ambisi untuk menang membuat Bram tidak bisa fokus.
Satu persatu orang mulai datang mengelilingi lapangan, kebetulan bel sudah berdering membuat semua orang merelakan waktunya beberapa saat sebelum pulang. Mereka antusias melihat ketua tim basket melawan hidden visual sekolah, julukan yang cocok disambangi untuk Devan.
Devan menang. Semua orang bersorak. Sakura yang penasaran dengan apa yang terjadi berusaha menerobos kerumunan. Hingga dia berdiri di depan melihat Devan yang berkari-lari kecil menghampirinya.
"Aku akan menemuimu di halte," bisik Devan. Semua mata kini tertuju padanya. Kalau dia mengajak Sakura sekarang semua orang akan tahu kalau pertandingan ini terjadi karena Sakura.
Sakura akhirnya sadar. Dia penasaran apa betul Devan bisa mengalahkan Bram dalam permainan basket?
Sampai sebuah video dari grup w******p sekolah membuat Sakura percaya. Dia memutar video itu berulang kali di dalam bus, menyaksikan bagaimana Devan memainkan bola dengan sempurna mengelabui Bram.
Hingga tanpa sadar Sakura lupa ketika turun dari bus bahwa Devan menunggunya di halte.
"Apa kamu begitu terpukau denganku?" tanya Devan. Sakura bergegas menekan tombol off di handphonenya. Memasukkannya ke dalam saku.
"Lumayan. Ngomong-ngomong, mengapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu jago main basket? Darimana kamu belajar?"
Devan membasahi bibirnya. "Mau tahu? Ikut aku." Devan menarik tangan Sakura, mereka berlari-lari kecil menuju ke sebuah tempat.
"Kemana Dev?"
"Kamu akan tahu nanti, intinya tempat ini akan membuktikan bahwa aku bukan hanya tinggal di kamar dan rooftop. Juga menjelaskan kejadian di video itu."
Sakura mengangguk pasrah. Dia betul-betul penasaran.
Hingga perjalanan mereka berujung di rumah pohon. Sakura mengamati sekitarnya takjub. Takjub akan kupu-kupu, burung beterbangan, rumah pohon, ring basket, tanaman Mirabilis jalapa yang mekar. Juga rumah megah Devan dari sudut pandang belakang.
"Amazing," satu kata yang diucapkan Sakura berulang-ulang.
Devan tersenyum. Dia merasa bangga melihat Sakura bahagia akan rumah pohonnya. “Mau naik?” tawar Devan. Dia saat ini menyodorkan tangannya.
Sakura tersenyum menerima tawaran Devan dengan menaruh tangannya di atas tangan laki-laki dengan senyum merekah itu. Dia naik dengan hati-hati karena rok membuat dia tidak bisa melangkah dengan leluasa. Devan betul-betul membantunya naik dengan tarikan yang membuat Sakura dapat bertumpu dengan baik.
Sakura menikmati suasana di rumah pohon. Dia mengamati sekitar dari atas. Sedang Devan, dia memilih menatap langit yang perlahan mulai berwarna jingga.
“Apa kamu berlatih basket setiap hari disini?” tanya Sakura setelah melihat dua ring basket dihadapannya.
“Aku berada disini setiap hari, tetapi kalau untuk bermain basket… Hmm kupikir tidak setiap hari. Hanya kalau aku merasa suntuk menatap langit.”
“Tempat ini cukup indah Dev. Aku tidak pernah melihat tempat seindah ini.”
Devan terdiam. Dia memilih untuk tidak membangga-banggakan tempat persembunyiannya lebih.
Devan tiba-tiba terduduk ketika mengingat suatu hal, dia membuka tasnya yang berisi bekal kotak makanan, hanya saja kotak kali ini lebih kecil dari yang tadi pagi.
Sakura mengamati tingkah Devan yang bergerak mencurigakan. Tetapi, perempuan itu malah menahan tawa ketika Devan membuka kotak bekal berisi irisan buah-buahan.
“Makanlah,” pinta Devan kepada Sakura membuat Sakura mengambil irisan apel.
Mereka berada di rumah pohon cukup lama bahkan setelah hari mulai gelap. Devan yang khawatir kalau Sakura sendirian menemani perempuan itu pulang. Lampu jalanan perlahan mulai menyala.
Devan melihat sesuatu yang Sakura pegang sedari tadi. Sebuah kertas berwarna putih mirip kertas foto.
"Apa itu?" tanya Devan.
"Oh ini? Ini adalah foto idolaku. Shira Audit"
Devan menelan ludah. Dia hanya bisa mengangguk pelan tanpa bertanya kepada Sakura apa alasannya dia mengidolakan perempuan seperti itu.