Bab 3. Salah Menilai?

1324 Words
Sebuah sepeda motor berhenti di depan sebuah kos-kosan khusus putri. Iya, Kinar diantar pulang oleh Pian. Ini hari pertama Kinar bekerja, tapi dia sudah dekat dengan orang lain. Tipe orang yang mudah bergaul dan dekat dengan orang. "Terimakasih ya, kak, sudah mengantar Kinar." Ucap Kinar. Ia mengembalikan helm milik pria itu ketika sudah turun dari motor. "Iya, tidak perlu berterimakasih. Kalau kamu tidak punya kendaraan, besok-besok aku bisa mengantarmu. Tidak perlu sungkan sama aku. Oh iya, kalau mau besok sore aku jemput juga. Kita berangkat kerja bareng." Tawar Pian. Kinar menatap Pian. Dia hanya tersenyum. "Kalau tidak merepotkan kakak, boleh. Tapi sepertinya agak telat, kak. Aku mau cari kerja di tambahan biar tidak mengandalkan kerja di bar saja. Aku punya banyak tanggungan soalnya." Ujar Kinar. "Kamu mau aku temani cari kerja?" Tawar Pian, lagi. "Sepertinya tidak perlu, kak. Aku bisa mencarinya sendiri. Terimakasih atas tawarannya, tapi aku serius mau melakukannya sendiri." "Yahh..." Beo Pian. "Yaudah, kak. Aku mau masuk dulu. Maaf belum bisa menawarkan masuk ke dalam soalnya gak enak. Ini udah malam banget dan kosan Kinar kebetulan khusus putri. Mungkin kalau kakak berkunjung pagi, kakak bisa jadi tamu Kinar." "Iya, tidak masalah. Kalau begitu aku pulang." "Iya. Terimakasih, kak." Kinar melambaikan tangannya pada Pian. Ia menunggu bayangan pria itu menghilang, baru kemudian masuk ke kosannya. Ini adalah pertama kalinya ia pulang malam sepanjang tinggal di kosan itu. Entah apa yang akan dia dapatkan besok dari tetangganya yang lain. Sekarang, ia hanya sekedar berbaring saja sambil menscroll ponselnya. Ia kembali mengingat kontak tak diketahui yang beberapa waktu lalu menghubunginya. "Siapa dia?" Tanya Kinar. *** "Maaf, Tuan, saya hanya ingin memberikan informasi kalau data beberapa nama orang yang kemarin sudah kami rampungkan. Apakah saya perlu mengirimkannya via email?" Tanya salah satu anak buah Zidan. "Kirim saja." Ucap Zidan dingin. Dia bangun dari gazebo villa tempatnya menginap di Bali selama beberapa hari ini. Berjalan dengan malas ke dalam kamarnya. Setelah mendengar ada suara pria lain ketika menelpon Kinar tadi malam, dia menjadi lebih malas. Padahal biasanya dia tidak pernah seperti ini. Hanya berbaring di ranjangnya, membaca beberapa dokumen yang masuk ke email-nya. Seharusnya ia fokus membaca dokumen laporan itu, karena bagaimana pun itu akan menjadi materi presentasinya nanti di depan klien, tapi apa? Dia hanya menscroll-nya percuma. Pikirannya sudah nyangkut di tempat lain. "Aish!" Kesal Zidan. Ia melempar ponselnya. Beruntungnya ponsel itu tidak berakhir mengerikan. Ia jatuh di tempat yang tepat, sofa empuk dengan harga yang fantastis. "Kinar." Gumam Zidan. *** Byur! Zidan memilih untuk berenang, mendinginkan pikirannya yang belum fokus sejak tadi malam. Lebih tepatnya sejak bertemu dengan perempuan yang bernama Kinar itu. Air yang dingin, belum mampu membuat Zidan tenang begitu saja. Baru saja dia mulai berenang, menyentuh air dingin di villa itu, salah satu anak buahnya datang melapor hal yang lain. "Dugaan Tuan benar. Dia benar-benar memanfaatkan dana itu untuk liburan. Apakah kita harus melakukan tindakan dengan cepat? Kalau tidak, perusahaan cabang bisa bangkrut olehnya." Zidan tidak menjawab. Dia kembali berenang satu putaran lagi. Setelah itu, ia naik ke permukaan. Menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk dan duduk di salah satu kursi kayu di pinggir kolam. "Kapan kita kesana?" Tanya Zidan. "Kalau bisa malam ini, Tuan. Setelah pekerjaan Tuan disini selesai, kita bisa dengan cepat kesana. Untuk mempercepat waktu dan mengefisienkan semuanya. Semakin lama dibiarkan, orang itu semakin berulah." Menghela nafas kasar, dengan terpaksa Zidan mengangguk. "Oke. Siapkan saja semuanya." Putus Zidan. "Baik." "Semoga saja tidak lama." Batin Zidan. Ini lah akibatnya memegang banyak kerjaan. Di pundaknya sudah banyak hal yang ia pikirkan, berat baginya. Pikirannya harus benar-benar fokus agar tidak ada yang merugi. Banyak kepala yang berharap pada setiap keputusannya. *** Tidak sampai malam, Zidan bisa menyelesaikan urusannya dan melakukan perjalanan jauh lagi ke Thailand. Di sana, di perusahaan cabangnya yang di pegang oleh temannya, ia harus cepat mengurusnya. Jika tidak, temannya itu bisa menguras keuangan perusahaan. Meski menjadi teman, kalau memang merugikan, bisa menjadi musuh dalam satu detik saja. "Diana, bisakah kakak minta tolong sama kamu?" Pinta Zidan. Ia menelpon adiknya di tengah perjalanan menuju bandara. "Kenapa, kak? Kakak mau minta tolong apa? Kakak gak lupa kan kalau semuanya tidak gratis?" Tanya Diana. Zidan sedikit tertawa mendengar adiknya yang perhitungan di setiap permintaan yang diinginkannya. Meski begitu, dia tidak merasa keberatan. Bukankah dia bekerja untuk adiknya juga?. "Iya. Nanti kakak kasih tas branded yang kamu inginkan." Ujar Zidan. "Kali ini Diana gak mau tas lagi. Yang lebih berkelas dikit." "Apa?" Tanya Zidan. "Diana mau tiket liburan. Untuk dua orang." "Boleh. Satunya lagi untuk siapa?" Tanya Zidan penasaran. Pasalnya, yang ia tahu, adiknya itu belum punya pacar. Dan juga, Diana tidak memiliki teman sebayanya. Itu karena Diana sendiri yang tidak mau berteman dengan banyak orang. Dia sempat trauma dan menganggap kalau semua orang pasti sama saja. Memanfaatkan sampai titik terakhir. Hal itu membuatnya enggan dan Zidan juga setuju dengan adiknya. Dan ya, Kinar adalah salah satu teman dekat adiknya yang Zidan ketahui. "Sama kakak Kinar!" Seru Diana begitu semangat. Mendengar nama Kinar membuat Zidan tersenyum tanpa sadar. Dia sendiri yang salah tingkah, bahkan hal itu membuat anak buahnya yang lain kebingungan saat memperhatikannya. Mereka, sesama anak buah saling tatap, dan mengangkat bahu percuma. Tidak tahu kenapa tuannya bisa seperti itu. "Oke. Dua tiket liburan ekslusif untuk kalian berdua ada di tangan!" Jawab Zidan. "Horeeyyyyyyyyyyyy!. Kalau begitu, kakak mau minta tolong apa?" "Hmm... Tapi jangan ejek kakak, oke?" "Oke. Cepat!" Paksa Diana. "Bisakah kami melaporkan segala kegiatan Kinar selama kakak belum pulang? Please," pintanya. Seketika, tawa Diana meledak. Zidan semakin salah tingkah. Tawa adiknya membuatnya malu, telak. "Gimana ya mengatakannya?" Tanya Diana, tapi diselingi oleh tawa. "Gimana?" "Kakak gak mungkin suka duluan sama kakak Kinar, kan?" Tanya Diana, masih dengan tawa ejekannya itu. Zidan tertawa. Lebih tepatnya, menertawakan dirinya sendiri. Dua anak buahnya yang satu mobil dengannya saling pandang satu sama lain. Seketika Zidan tersadar kalau dia sudah terlalu banyak tertawa. Langsung menutup mulutnya, kembali memasang ekspresi dingin. "Tiket akan tergantung dari jawabanmu, Diana." Ujar Zidan, kembali mendingin. "Oke siap, Tuan dingin yang sedang jatuh cinta!" Zidan langsung gelagapan. Ia memutuskan panggilan itu. Melempar ponselnya ke kursi di sampingnya. Ia menahan senyumnya, melihat ke arah jalanan. "Kenapa aku selalu deg-degan ketika mendengar namanya?" Tanya Zidan dalam hatinya. "Tuan baik-baik saja, kan?" Tanya salah satu. Zidan hanya menjawab dengan tangannya, membentuk kata 'oke'. *** "Aku sangat kecewa sama kamu. Kenapa kamu melakukannya padahal aku sudah memberikan kemudahan untukmu. Kamu mau aku pecat dan membuat istrimu jadi gelandangan?" Tanya Zidan pada temannya yang sedang memakai bajunya. Ia tidak hanya menemukan temannya korupsi uang perusahaan, akan tetapi ia juga berhasil membongkar kebusukan temannya. Temannya itu selingkuh, melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan dengan perempuan lain, sedangkan di satu sisi istrinya sedang hamil. "Santai saja, Zidan. Aku hanya memakai kurang dari 5% uang perusahaan. Hanya 5%. Bukankah kamu sangat kaya? Kamu tidak perlu mengkhawatirkan uang sekecil itu, kan?" Pertanyaan temannya membuat Zidan menganga lebar. Ia langsung menarik kerah baju temannya itu, menatapnya tajam. Namun, sepertinya rasa takut pria itu sudah tidak ada. Dia tida ketakutan sama sekali dengan Zidan "Hanya 5%? Kamu tidak tahu kalau uang itu juga sangat dibutuhkan oleh banyak karyawan di bawahku ataupun di bawahmu, bahkan juga oleh dirimu sendiri. Sekarang aku sadar dan sudah memutuskan kalau kamu tidak berhak di posisi ini. Mulai dari sekarang, kamu sudah tidak ada hubungannya lagi dengan perusahaan ku. Maaf, mulai sekarang, aku juga memutuskan ikatan pertemanan kita." Putus Zidan, keluar dari kamar hotel itu. Di tengah lorong hotel, ponsel Zidan berdering. Di layar ponselnya tertera nama adiknya, padahal ini sudah jam 3 pagi. "Kenapa? Kamu gak tidur?" Tanya Zidan langsung. "Kak, aku baru saja liat kakak Kinar dengan pria lain. Aku gak sengaja ke supermarket di dekat apartemen dan mata jeli Diana tidak mungkin salah." Lapor Diana. Tut... Zidan mematikannya sepihak. Pikirannya saat ini masih belum tenang untuk memikirkan hal itu. "Apa aku salah selama ini tentang Kinar?" Tanya Zidan dengan nada yang rendah. "Ha? Kenapa?" Tanya anak buahnya yang mengikuti dari belakang. "Tidak ada." Jawab Zidan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD