Bab 2. Kecurigaan Zidan

2281 Words
"Kinar!" Bentak salah seorang yang memiliki jabatan lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Pria itu kini sedang memarahi seorang perempuan yang terus saja menunduk, memainkan tangannya akibat gugup, sekaligus takut akibat suaranya yang begitu menggelegar. "Sudah berulang kali saya katakan kalau pembeli adalah Raja. Kalau mereka meminta sesuatu, cepat lakukan permintaan mereka, jangan bertele-tele seperti tadi, apalagi sampai membuat mereka marah. Kamu tahu kan akibatnya apa kalau kamu tidak melayani pelanggan dengan baik?" Tanya pria itu, masih dengan nada yang begitu tinggi. Perempuan bernama Kinar itu mengangguk, "saya tahu, kak, tapi tolong maafkan saya," katanya. "Kita bisa saja bangkrut kalau kamu ataupun yang lainnya terus melakukan itu. Karyawan saya tidak cuma kamu saja, tapi banyak. Mereka menggantungkan hidupnya di restoran ini, dan kamu malah melakukan ini?" "T—tapi," "Saya tidak mau ya bangkrut hanya karena punya karyawan tidak becus seperti kamu!" Bentak pria yang menjabat sebagai manajer restauran itu. Dia membentak dan marah-marah atas dasar pelayanan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ini bukanlah salah perempuan itu dan banyak mata yang menjadi saksi semua kejadian yang terjadi. Sudah sangat jelas kalau pria dengan datang sebagai pelanggan itu yang mencoba untuk merayunya. Kinar hanya mencoba untuk melindungi dirinya sendiri, tapi pria itu malah melempar piring dan sebagainya hingga membuat keonaran seperti ini. Terlebih, ia juga akan melapor ke kantor polisi, padahal dia lah yang memulai perselisihan. Pelanggan itu sangat lah kekanakan, tapi sukses membuat Kinar menjadi pihak yang salah dan harus menanggung apa yang tidak seharusnya ditanggungnya. Semua karyawan dan pelanggan lainnya hanya bisa melihat Kinar dimarahi. Tak ada yang mau dan berani melerai hal ini, takut menjadi samsak selanjutnya. Iya, seperti itu lah dunia bekerja, sangat kejam dan tidak adil. "Jadi, saya di pecat, pak?" Tanya Kinar. Ia memberanikan diri menatap manajernya, tapi hanya sebentar saja karena setelahnya ia malah ketakutan dan menundukkan kepalanya lagi. Manajernya yang terkenal galak, tak berperasaan, bahkan tak segan-segan melakukan kekerasan kalau bawahannya melakukan kesalahan yang akan membuatnya marah besar. Karena itu lah dia begitulah takut, tapi mau tidak mau dia harus tetap bertahan demi kebutuhan hidupnya yang cukup banyak. "Tentu saja. Kamu saya pecat. Tidak cukup kah penjelasan dari saya sebelumnya?" tanya pria bertemperamen tinggi itu. Kinar mengangguk pasrah. "Kalau begitu gaji saya bulan ini—" "Tidak ada gaji sedikitpun! Bahkan bulan ini kamu banyak merugikan restoran saya. Hari ini saja, gara-gara kamu restauran saya mau di laporkan ke kantor polisi. Lama-lama saya rugi bandar kalau kamu ada di restaurant saya lebih lama lagi!" Bentak pria itu lagi, padahal ia bisa berkata dengan cara baik-baik, tanpa bentakan yang bisa membekas di benak. Tentu saja Kinar merasa kecewa, dan sakit hati. Pasalnya, ia sudah bekerja keras, tapi hal itu tidak dihargai sedikitpun oleh manajernya. Ia bahkan tidak mendapatkan gaji, padahal uang itu ia pergunakan untuk membayar kosan dan kebutuhan sehari-harinya. Jika dia tidak mendapatkan bayaran, mau makan apa dia setelah ini? Batu? Tidak mungkin. "Kalau begitu saya harus bagaimana, pak? Saya butuh uang itu," tatapan Kinar sangat memohon kepada manajernya. "Keluar dari restaurant saya!" Bentak manajer itu tidak sabaran sama sekali. Ia bahkan sampai mendorong Kinar, hampir membuatnya terjatuh. Banyak yang terkesiap dengan aksinya itu, namun untungnya, ada pria yang menangkap tubuhnya. Sangat tepat. "Kamu tidak kenapa-napa, kan?" Tanya pria itu. Kinar menggeleng, menggumamkan terimakasih dan pergi dari hadapan semua orang. Ia menuju ke belakang, mengganti bajunya dan keluar dari pintu belakang. Ia mungkin menangis, tapi rasa malunya lebih besar dari itu semua. "Aku juga manusia, gak sembarang kalian perlakukan dengan sangat rendahan seperti ini," gumamnya. *** "Kak Kinar!" Sontak, langkah Kinar berhenti ketika mendengar suara cempreng tersebut. Berulang kali menoleh ke kanan, kiri, ke sembarang arah mencari keberadaan suara tersebut. Sampai akhirnya ia mendapatkan seorang perempuan yang melambaikan tangannya di depan restauran. Melihat perempuan itu, senyum Kinar menjadi merekah, suasana hatinya jadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. "Kamu ngapain di depan tempat kerja kakak, Diana?" Tanya Kinar. Perempuan yang tadi memanggilnya adalah Diana, gadis manja yang selalu datang ke restauran tempatnya bekerja hanya untuk berbicara dengan Kinar. Ia menjadi langganan restauran ini, bahkan sengaja mengeluarkan banyak uang hanya agar Kinar khusus melayaninya dan mendengarkan segala ceritanya. Ketika sudah berada di depan Diana, Kinar langsung memeluk perempuan yang lebih kecil darinya itu "Kakak kangen banget sama kamu, Diana," ujarnya, lalu memperbaiki rambut Diana yang agak berantakan. Cara Kinar memperlakukan Diana seperti dia bersama seorang adiknya, padahal dia tidak punya seorang adik satupun. "Diana kesini untuk menemui kakak." ungkapnya dengan nada seperti anak kecil, kerucutan bibirnya yang mungil, membuatnya semakin terlihat imut dan kekanakan. "Sama siapa? Dan mobil siapa ini? Ini bukan mobil kamu deh," ujar Kinar, menatap mobil yang dipakai Diana. Dia tahu persis apapun yang biasanya dipakai Diana, sebab hubungan mereka juga memang sedekat itu. "Memang bukan." Jawab Diana. Ia menunjuk ke arah dalam restauran, tepatnya ke seorang pria yang sedang memarahi seorang pria yang ia kenal sebagai manajernya. Diana menunjuk pria yang tadi menolongnya ketika hampir jatuh akibat perlakuan kasar manajernya. "Diana kesini sama kakak kandung Diana yang galak itu lhoo ..." Beo Diana. Seketika, Kinar membulatkan matanya, membungkam mulutnya saking tidak percaya dengan kenyataan apa yang dia dapatkan. Ternyata pria tadi adalah kakak kandung Diana. "Kenapa, kak?" Tanya Diana ketika menangkap tingkah laku Kinar yang tidak biasa. Kinar hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia berusaha tetap tenang seakan tidak pernah terjadi apapun, padahal ada sesuatu yang terjadi beberapa waktu lalu. Selagi menunggu pria yang diakui sebagai kakak oleh Diana, Kinar menanyakan banyak hal pada Diana. "Kakak kan sibuk kerja, jadi jarang bisa ajar Diana lagi. Dan ya, sayangnya kakak dipecat hari ini. Tapi bagi kakak, lebih baik dipecat dari pada diperlakukan dengan sangat tidak layak. Setelah ini kakak akan cari kerja yang lain, dan mungkin akan lebih sibuk lagi. Kamu tahu sendiri kan kalau kakak itu tinggal sendiri. Jadi, mau tidak mau harus tetap kerja biar bisa bayar kosan dan biaya hidup." Kinar menceritakan apa yang terjadi, tanpa berbohong. Diana mengangguk paham, mengerti dengan apa yang dikatakan Kinar. Status sosial keduanya memang sangatlah berbeda. Diana penuh dengan kemewahan, sedangkan Kinar sangatlah jauh dari yang namanya kemewahan. Kinar harus bekerja keras untuk mendapatkan uang, sedangkan Diana bebas menghambur-hamburkan uangnya. "Diana tahu, kak. Mungkin kedepannya Kinar juga tidak akan merepotkan kakak lagi, tapi jangan larang Kinar ketemu sama kakak," kata Diana, dengan nada yang manja, dan mengaitkan tangannya di tangan Kinar. "Iya, tentu saja." jawab Kinar. "Saya bisa saja hancurkan tempat ini!" Suara bentakan itu membuat Kinar dan Diana terkejut. Mereka hanya bisa melihat kejadian itu dari luar, tak berani untuk ikut campur lagi. Tapi ketika Kinar melihat pria yang menjadi kakak kandung Diana hendak melayangkan pukulannya pada mantan manajernya, Kinar tidak bisa diam saja. Dia berlari masuk kejar-kejaran dengan waktu. "Stop!" Lerai Kinar. Sontak, tangan yang mengudara itu seketika berhenti. Kinar menarik badan pria itu keluar tanpa kata sedikitpun. Ia berhenti di depan Diana yang juga menatap kakaknya khawatir. Diana sampai mengigit kukunya sendiri, mungkin dia juga ikut ketakutan. "Diana, tolong tenangkan kakakmu. Kakak mau pulang dulu, nanti kamu bisa hubungi kakak lewat telpon." Ujar Kinar. Diana mengangguk, melambaikan tangannya pada Kinar. Hanya sekejap, Kinar menatap pria yang lebih besar darinya itu. Melengos begitu saja dan melangkah meninggalkan tempat ini. "Heran. Kenapa begitu banyak orang yang tidak bisa menahan amarahnya di dunia ini? Setidaknya bicara baik-baik, apakah tidak bisa? Emosi selalu diutamakan, padahal kan itu merugikan." Tanya Kinar kesal. Ia melambaikan tangannya ketika di pinggir jalan, menghentikan angkutan umum yang lewat. *** "Dia siapa, Diana?" Tanya Zidan pada adiknya sesaat setelah Kinar pergi dari hadapan keduanya. "Itu kakak perempuan cantik yang mau aku jodohin sama kakak lhoo..." Jawab Diana santai, kemudian masuk ke dalam mobil, sedangkan Zidan masih memperhatikan Kinar yang melambaikan tangan untuk menghentikan angkutan umum di depannya. Zidan menggeleng hebat, mencoba untuk menepis perasaannya. Akan tetapi, senyumnya mengartikan hal yang berbeda. Seperti ada hal yang meledak-ledak dalam dirinya. Apa itu? Dengan cepat Zidan masuk ke mobil, menengadahkan tangannya pada Diana. Gadis itu kebingungan dengan tingkah kakaknya, dan mengigit jari Zidan. "Aww!" Ringisnya. "Maksud kakak apaan? Mau minta uang? Uang kakak lebih banyak kali daripada aku!" Ujar Diana tidak peduli dengan kesakitan kakaknya. Ia kembali terjun ke dunianya sendiri, men-scroll media sosial. "Bukan. Kakak minta kontaknya." Ujar Zidan, yang langsung ditertawakan oleh Diana. Ia bahkan sampai melempar wajah kakaknya sendiri dengan kotak tisu yang ada di depannya. "Beliin aku tas dulu!" *** "Berarti saya bisa mulai kerja malam ini, pak?" Tanya Kinar. Ia begitu senang, diterima bekerja, meski di sebuah bar. Pekerjaan ini memang sering dihitung sebagai pekerjaan yang kurang baik, apalagi dia adalah seorang perempuan. Maka dengan begitu dia harus menjaga dirinya dengan baik-baik agar desas-desus itu tidak menjadi pembenaran dalam hidupnya. "Iya, benar. Kamu sudah mulai kerja malam ini." Jawabnya "Terkait bayaran dihitung perbotol. Nanti untuk bayarannya akan diberikan ketika pekerjaanmu telah usai." Jelasnya kembali. Kinar mengangguk paham. Kemudian tidak lama ada salah seorang karyawan pria yang menghampirinya, memberikannya baju kerja yang harus dia gunakan malam ini. Kinar mengikuti pria itu menuju ruang belakang, untuk mengganti bajunya. Menunjuk salah satu ruang ganti dan ada beberapa karyawan yang sudah berlalu lalang keluar masuk ruangan itu. "Silakan ganti baju di ruangan ini. Saya tunggu di luar dan setelah itu saya akan jelaskan apa saja yang harus kamu lakukan. Mengerti?" Kinar mengangguk mengerti. Dia masuk ke dalam ruangan itu, mengganti bajunya. Untung saja tidak ada orang lain melakukan hal yang sama dengannya. Merasa takut, dengan cepat Kinar menyelesaikan semuanya kemudian keluar dari ruang ganti. "Bagaimana?" Tanya pria yang sebelumnya melihat gelagat Kinar yang agak aneh. "Sedikit kekecilan, tapi tidak masalah. Apa yang harus saya lakukan?" Tanya Kinar begitu semangat, memasang senyumnya pada pria itu. Pria itu mengajukan tangannya, "kita buat santai saja biar tidak ada yang namanya kecanggungan. Kenalkan, aku Pian. Mulai dari saat ini dan selanjutnya, aku yang bertugas memantau pekerjaanmu. Ketika telah usai nanti, kamu akan mengambil bayaranmu padaku." Kinar kemudian tersenyum, "kalau begitu, kenalkan aku Kinar. Senang bertemu denganmu." Ucapnya. "Sudah beberapa kali aku mengatakan hal ini pada karyawan yang perempuan. Tidak usah takut, kerjaan kalian hanya lah mengantarkan botol minuman. Jika ada pelanggan yang melakukan hal yang tidak-tidak, langsung lapor. Sangat perlu juga pembelaan diri sendiri. Tapi aku yakin, kamu pasti bisa melindungi dirimu sendiri. Kamu juga bisa tenang, selagi saya sebagai pemantaumu, saya akan tetap melihat keberadaanmu. Jadi, apapun yang terjadi, kamu akan tetap aman." Ujar Pian menjelaskannya pada Kinar. "Terima kasih. Sebisa mungkin aku akan mencoba untuk nyaman bekerja di sini. Dan aku pikir, setiap pekerjaan pasti memiliki resiko. Jadi, tidak ada yang mudah begitu saja. Kalau begitu, apakah aku bisa memulai pekerjaanku?" Tanya Kinar. Ia sudah berada di depan bartender dan sudah ada yang mengangkat tangannya. "Ah, kamu mengerti aturan mainnya ternyata. Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan memantau mu dari sini." Ujarnya, ketika menyadari bahwa ada satu pelanggan yang mengangkat tangan. "Baik." Kinar mendekati meja pria yang tadi mengangkat tangannya, menanyakan minuman apa saja yang dipesannya. Sedangkan Pian memantaunya dari kejauhan. Dengan senyum misterius itu, memandang Kinar penuh arti. "Gadis yang pintar. Sepertinya tidak sulit bagiku untuk mendekatinya." Gumamnya, menggelengkan kepala. Akan tetapi senyumnya tidak bisa luntur ketika melihat Kinar yang terlihat begitu ramah pada orang yang baru. *** Zidan terus saja menatap rangkaian angka yang ada di screen ponselnya. Ia mendapatkan dua belas angka ini dengan susah payah, bahkan sampai ketinggalan pesawat. Demi mendapatkan rangkaian angka ini, ia harus merogoh banyak uang. Diana berjanji akan memberikan kontak Kinar pada Zidan jika membelikannya tas branded. Zidan pikir adiknya akan membeli satu, dan itu cukup untuknya. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Gadis itu membohongi kakaknya. Ia memang membeli tas, akan tetapi ia membeli barang yang lainnya. Sepatu, baju, aksesoris, bahkan sampai spa di tempat itu. Maka tak heran jika Zidan menghabiskan waktu sampai 4 jam untuk mendapatkan kontak ini. Pun, ia juga mendapatkan amukan dari sekretarisnya. Ia bahkan tidak jadi mendapatkan kontrak kerjasama dengan salah satu perusahaan. Itu semua demi mendapatkan kontak Kinar. Padahal, ia bisa saja mendapatkannya dengan mudah. Ia punya anak buah yang bisa mendapatkan segala macam informasi, asalkan dia menurunkan perintahnya. Tak menunggu lama, perasaannya juga sudah tidak sabar, Zidan menekan ikon telpon. Ia mencoba menghubungi kontak Kinar. Dering pertama terlewat. Zidan masih menunggu, akan tetapi hatinya sudah deg-degan luar biasa. Senyumnya masih menunggu jawaban dari Kinar. "Halo?" Terjawab. Senyum Zidan langsung luntur ketika mendengar suara laki-laki yang menjawabnya. Tangannya terkepal kuat. Antara dua hal, Diana membohonginya atau memang Kinar sedang bersama pria lain. Tapi, tidak sepenuhnya menjadi salah Kinar. Baik dirinya dengan Kinar, tidak ada hubungan apapun yang akan melarang perempuan itu untuk bergaul. "Mencari Kinar ya? Sebentar dia masih di toilet." Ujarnya lagi, semakin membuat Zidan marah. Pasalnya, berarti ini memang benar kontak Kinar, akan tetapi bukan perempuan itu yang mengangkatnya. "Sebentar. Aku antar ponselnya ke toilet supaya kamu bisa bicara dengannya." Ujar pria itu lagi. Zidan berusaha tetap sabar. Ia tidak bersuara sedikitpun. Semakin lama, Zidan semakin diuji kesabarannya. Apalagi ketika ia mendengar suara musik yang sangat memekakkan telinga. Dari suaranya saja Zidan sudah tahu kalau itu adalah bar. "Kinar, ini ada telpon untukmu. Tadi aku tidak sengaja mengangkatnya. Bayaranmu nanti aku kasi ya. Tunggu aku di luar sekalian aku antar pulang." Ucap pria itu, dan sangat terdengar jelas oleh Zidan. "s**t! Apa yang sudah mereka berdua lakukan? Tidak mungkin Diana akan menjodohkan ku dengan perempuan seperti itu, kan?" Tanya Zidan dalam hatinya. "Halo?" Sapa Kinar. Deg. Zidan langsung gelagapan ketika mendengar suara Kinar. Ia langsung memutuskan panggilan itu, melempar ponselnya ke ranjang. "Aarrrgghh! Kenapa dia harus dengan pria lain?" Tanya Zidan kesal. Ia kembali mengambil ponselnya, hendak menelpon lagi. Akan tetapi jarinya terasa begitu sulit untuk menekan ikon telpon. "Ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan pulang secepatnya dan memastikan hal ini!" *** "Siapa?" Tanya Kinar lagi. "Astaga, sudah dimatikan lebih dulu. Siapa dia menelpon malam-malam?" Tanya Kinar, mematikan ponselnya dan lanjut membersihkan wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD