Bab 1. Pria Sadis Takut Adik Manis

1592 Words
Prang! Piring berisi makanan terbang dan jatuh tak berdaya. Remuk, tak berharga lagi akibat ulah kelakuan satu pria berkuasa ini. Semua yang dipersiapkan begitu lama, lebih berharga daripada tangan-tangan ajaib dari orang-orang yang ditindas. Apakah sekarang akan berakhir sama? Remuk dan tak berbentuk lagi? Hening. Semua menunduk takut. Tidak ada yang berani untuk bersuara setelah salah satu pria yang sangat berkuasa itu membanting semua piring yang ada. Setiap dari mereka sudah merasa tidak tenang, merasa gelisah, cemas hingga badan bergetar. "Berani-beraninya kalian memberiku sampah!" bentaknya. Suara nyaring itu semakin menambah rasa ketakutan mereka. Semakin ingin mengubur diri dalam ketabahan yang sudah mendarah daging dalam diri mereka, terpaksa terbentuk dari setiap bentakan demi bentakan yang selalu diberikan oleh pria berkuasa itu setiap harinya. Tidak ada yang mau bersuara atau nanti setiap kata yang keluar menjadi salah. Setelah semua ketakutan terjadi hingga lutut tak lagi menumpu diri sendiri, akhirnya salah satu dari mereka ada yang berani menghadap. Pria dewasa dengan pakaian berwarna putih dengan sedikit aksen emas di topinya, menandakan kalau posisinya di antara yang lainnya lebih tinggi. Ia adalah chef tertinggi di rumah ini. "Maaf, Tuan. Apakah saya perlu membuat menu makan malam yang berbeda?" Tanyanya. Suaranya memang terdengar biasa-biasa saja, akan tetapi tangannya sudah lebih dari kata bergetar, lututnya sudah melemas hampir tidak sanggup membuatnya berdiri dengan benar. Dia seperti berhadapan dengan seekor buaya buas yang siap menyantapnya detik ini juga. Pria yang sedang naik pitam itu menatap pria yang menghadapnya dengan tatapan yang tajam. Ia mengambil pisau steak miliknya, menggoreskan sedikit mashed potatoes yang tersisa di atas mejanya dan memberikannya pada chef dengan jabatan tertinggi itu. Langsung saja, tanpa bersuara chef itu menerima pemberian pria berdarah dingin itu. Tangannya bergetar saat mengambil pisau steak itu. Ia hampir saja menjatuhkan pisau steak itu, hampir menangis akibat ketakutan yang dirasakannya. Chef itu mencoba mencicipi sedikit mashed potatoes yang tadi sudah diberikan, mengecapnya lama sampai ia benar-benar mengerti dimana letak kesalahan yang menjadi titik kemurkaan Tuannya. Ia langsung menatap deretan bawahannya yang menunduk takut. Sekarang, ia tidak ada bedanya dengan Tuannya ini, sama-sama ingin memakan bawahannya. "Maafkan bawahan saya, Tuan. Sepertinya mereka belum mendengar dengan jelas arahan dari saya. Untuk mengganti sarapan Tuan yang terlewat, apakah saya perlu membuat menu yang lain? Saya pastikan kali ini saya sendiri yang membuatnya." ujar chef tersebut. Pria dingin itu malah tertawa, bangun dan memperbaiki jasnya yang sedikit kusut akibat masalah kecil yang menganggu paginya ini. Ia merapihkan baju chef itu juga, membuat chef tersebut harus menatapnya dalam balutan ketakutan yang semakin terasa mencekik. Bahkan napasnya pun hampir terasa tidak ada dalam dirinya. "Bersenang-senang lah. Dua hari ke depan saya tidak akan di rumah. Kalau sampai saat itu saya menemukan makanan sampah lagi yang disajikan untuk saya, kamu tahu kan apa yang akan terjadi setelahnya?" tanya pria dingin nan mematikan itu. Chef itu mengangguk. Ia kemudian menunduk. "Iya, tahu, Tuan Zidan. Kedepannya, saya sendiri yang akan mengurus segala hal tentang makanan Anda." jawab kepala chef itu. "Tidak perlu. Kalau kamu yang mengurus saya, maka yang lain akan lalai. Saya tidak mau membesarkan orang-orang malas di rumah saya. Kalau sampai saya menemukan orang yang seperti itu, saya tidak akan segan-segan menjadikannya sebagai umpan hewan buas di luar rumah." Ungkapnya dengan sangat santai. "Baik, tuan Zidan. Hati-dalam perjalanan Anda." Pria dingin itu tersenyum manis pada kepala chef nya, mengusap kepala chef tersebut dengan lembut. Hanya saja, ini bukanlah acara yang menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan kebaikan hati yang dimilikinya, sebab itu jauh dari yang sebenarnya. Salah satu pria berlari dengan cepat. Suara tapak kakinya terdengar begitu jelas membelah kesunyian yang masih berlanjut mencekik. Pria dengan jas hitam dan pakaian yang super rapi itu menghadap pada Tuannya—Tuan Zidan. "Mobil sudah siap, Tuan!" lapornya. "Ayo berangkat!" Pria yang dipanggil Tuan itu akhirnya beranjak keluar meninggalkan rumah, menyudahi semua permainan santai dan mematikan yang selalu dilakukannya Beberapa orang yang tadi menunduk takut, akhirnya bisa menghembuskan naps dengan baik setelah sebelumnya harus tercekat oleh rasa takut yang begitu luar biasa. Pria itu sangat dominan, keras, tak terbantah, hati yang dingin, tak berperasaan pada semua orang. Namun, ada satu perempuan yang bisa mengendalikan pria ini. Ialah adik perempuannya sendiri. Adiknya adalah satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya sudah tidak ada. Ia adalah Zidan Aaron. Pria dengan aura kuat, berkuasa, tubuh atletis dengan wajah bak dewa yang diberikan Tuhan untuknya. Memang sangatlah tidak adil, bak kesempurnaan itu ada pada dirinya. Banyak orang yang merasa iri hati dan ingin menjadi seorang Zidan Aaron. Akan tetapi, langsung dibungkam ketika mengetahui kenyataan jika sudah mengetahui siapa sebenarnya Zidan Aaron itu. Drt ... Drt ... Drt .... "Sebentar. Sepertinya Diana menelponku." ujarnya, membuat langkah beberapa anak buah dibelakangnya berhenti sebab tahu kalau selanjutnya adalah privasi Tuannya, mereka sedikit menghindar namun tetap memberikan penjagaan penuh. "Iya, Diana?" "Kakak!" Teriak gadis cempreng dari seberang sana. Saking besarnya suara dari perempuan itu sampai membuat Zidan menjauhkan ponselnya, begitu memekakkan telinga. "Kamu pikir kakak sedang di hutan sampai harus berteriak seperti itu?" Tanya Zidan tidak percaya dengan kelakuan adiknya. Akan tetapi, setelahnya dia menarik tersenyum dan tertawa dengan tingkah adik satu-satunya ini. Sangat berbeda. Jika sebelumnya, ia begitu dingin, tatapan yang tajam dan mematikan hingga rasanya kehadiran Zidan selalu ada di hadapan setiap bawahannya sendiri dan membuat perasaannya menjadi penuh gelisah, badan bergetar hingga tak sanggup bersuara. Akan tetapi dengan adiknya—Diana, ia menjadi begitu berbeda. Layaknya kakak pada umumnya, ia sangat menyayangi adiknya. Tak pernah sekalipun ada kekerasan yang ia berikan untuk adiknya. "Terserah!" lawan gadis itu begitu berani. "Kak, cepat ke apartemen Diana dong. Ayo ajak Diana ke mall hari ini. Dua jam aja gak apa-apa, kok, setelahnya kakak bisa bebas dari Diana." Pinta perempuan itu dengan nada yang manja. Zidan melihat jam tangannya, memperkirakan apakah ia bisa datang tepat waktu nantinya. Terlebih, ia akan berada di tempat itu selama dua hari lamanya. Tapi, dia tidak bisa menolak permintaan adiknya. Dia harus mempertimbangkannya dengan sangat baik-baik. "Oke. Kakak akan kesana!" putusnya. Zidan berjalan menuju mobilnya. Hanya saja, ketika ia hendak menutup pintu mobilnya, langsung di cegat oleh salah satu bawahannya sendiri. "Maaf, Tuan. Tapi, keberangkatan pesawat sebentar lagi. Kita tidak punya waktu banyak lagi. Sebaiknya Tuan menemui nona Diana setelah pulang dari Bali saja. Jika tidak, kami takut kontrak akan dibatalkan percuma." ucap pria itu memberikan saran untuk Tuannya. "Kenapa kamu malah mengatur saya? Kalau saya memutuskan untuk berangkat dua jam lagi, maka berangkat. Jangan coba-coba untuk mengatur saya. Satu tahu kalau kontrak bisa saja tidak saya dapatkan, tapi kalau saya berangkat saat ini juga maka tangis adik saya lah yang lebih nyaring terdengar dibandingkan ucapan selamat dari setiap pemegang saham. Kamu paham maksud saya?" Tanya Zidan. Pria itu menunduk, kemudian mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Kami akan berjaga kembali. Namun, sepertinya saya perlu meminta izin pada Tuan untuk menambah penjagaan lagi mengingat kejadian yang lalu. Nona Diana hampir saja diganggu oleh orang gila." ujarnya mengingatkan. "Setuju. Atur saja." kata Zidan tanpa berpikir lama, demi keamanan adiknya. Akhirnya, ia bisa menutup pintu mobilnya dan mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju apartemen adiknya. Selama perjalanan, tak pernah berhenti lagu-lagu mengaluni setiap detik perjalanannya. Bukan ikut bernyanyi, hanya sekedar hiburan diri saja. Melempar jauh perasaan kalau dia memang sendirian. Tidak ada perempuan yang berani mendekatinya, kecuali perempuan yang ia benci itu. Beberapa kali mencoba mendekati Zidan, namun tetap tidak bisa membuat hati Zidan tertarik padanya. Ia manja dan itu lah yang membuat Zidan tidak suka. "Sialan!" desisnya muak. *** "Diana?" Zidan tidak menemukan siapapun di dalam apartemennya. Kamar, dapur hingga ruang tengah, ia belum menemukan keberadaan adiknya. Biasanya adiknya selalu ada di dalam apartemennya, jarang keluar. "Diana!" Teriaknya lebih keras dibandingkan sebelumnya. Rasa khawatir sudah melingkupinya. Ia hendak keluar untuk mengerahkan anak buahnya, mencari keberadaan adiknya. Akan tetapi, baru saja langkahnya mencapai ruang tengah, ia sudah diserang oleh seorang gadis berambut pendek, tinggi badan minimalis, bergaya pakaian seperti anak kecil. Gadis ini adalah adiknya sendiri. Diana menaiki punggung Zidan hingga hampir kehilangan kendali. "Diana! Kita hampir saja jatuh tahu!" Kesal Zidan, memperbaiki posisi badan adiknya yang hampir jatuh dari tubuhnya. Ia tidak marah ketika hal itu dilakukan oleh adiknya sendiri, tapi beda kalau yang melakukannya adalah orang lain. Dia akan membantainya saat itu juga. "Kak, Diana punya permintaan, tapi kakak harus turuti itu." ujarnya membisikkan itu pada kakaknya. "Memangnya apa itu?" Tanya Zidan mulai penasaran. "Ayo temui seseorang." "Memangnya seseorang itu kenapa?" Tanya Zidan lagi. "Kakak kan jomblo, belum punya pacar. Nah, Diana punya teman rasa kakak perempuan yang menurut Diana cocok untuk kakak. Dia baik, selalu jaga Diana kalau kakak tidak ada di sini. Kalau melihat kakak yang satu ini, Diana selalu kepikiran sama kakak Zidan yang gak punya pacar. Jadi Diana mau banget jodohin kakak dengannya. Mau, kan?" ungkap Diana, menatap Zidan dengan puppy eyes. Penuh harapan. Zidan menertawakan Diana. "Jadi ceritanya kamu mau jodohin kakak sama kakak perempuan itu?" Tanya Zidan memastikan sekali lagi, kali saja dia salah mendengar. "Itupun kalau dia mau sih sama kakak." ejek Diana, tahu bagaimana dinginnya hati kakaknya. "Memangnya ada alasan perempuan lain menolak kakak? Secara kakak ini kan orang—" "Dingin sih!" Ujar Diana langsung, menyela ucapan Zidan. "Kan gak punya pacar jadinya," sambung Diana lebih pelan dari sebelumnya. Zidan sedikit kecewa. Pasalnya adiknya lebih tahu dirinya dibandingkan dirinya sendiri. Pasrah, akhirnya Zidan mengiyakan permintaan adiknya. "Kalau perempuan itu gak cantik, awas aja!" Canda Zidan. "Dia bahkan lebih cantik dan manis dibandingkan Diana. Awas aja kalau kakak sampai gak bisa berkata-kata nanti. Aku tampar baru tahu rasa! Seenaknya menilai orang lain!" Pada akhirnya, Zidan tertohok telak oleh adiknya sendiri. Baiklah, ini lah yang dinamakan Pria Sadis Takut Adik Manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD