4 - Rahasia Kecil

1154 Words
Dengan kaus hitam serta celana santai selutut berwarna coklat, Abi menuruni anak tangga. Tampak keluarganya yang asik bercengkerama sambil menonton televisi. "Cie! Aa ikutan lomba juga akhirnya," goda Bia ketika Abi bergabung disana, duduk di sebelah Nadine. Abi ingin buka suara betapa dia malas mengikuti lomba tersebut. Belum lagi Renat yang menjadi temannya. Tapi pada akhirnya Abi bungkam. Karena Abi tau, Sang Mama akan bertanya banyak hal padanya. "Lomba apa, A?" Judith yang sedang asik menyusun puzzle pun penasaran. "Biologi," jawab Abi santai. "Katanya kemarin A gak minat karna Cakrawala yang ngadain?" Nadine bersuara, ingin tau kenapa Abi berubah pikiran. "Guru yang minta, gak tau gimana caranya nolak." Abi mendesah pelan sebelum akhirnya kembali berdiri, hendak mengambil helm. "A, mau keluar?" Abi menoleh pada Aldric---Papanya---dan mengangguk. Ia berniat untuk membeli sesuatu di swalayan. "Kenapa, Pa?" tanya Abi basa-basi. Biasanya, jika Aldric mulai bertanya seperti itu, pertanda bahwa Abi tidak akan keluar sendirian. Aldric seketika berdiri, membuat Nadine yang sedang bersandar di badannya kesal sendiri. "Suka bangetsih tiba-tiba bangun," dumel Mamanya pada Sang Papa. Aldric tertawa diikuti Abi. Papanya memang suka sekali seperti itu kepada Mamanya. Jangan ditanya seberapa banyak hal mengesalkan yang Papanya telah perbuat. Abi yang melihat saja suka geleng kepala karena lelah. Bagaimana dengan Mamanya yang mengalami? "Kamu mau bawa motor?!" tanya Mamanya ketus sambil mendongakkan kepala, tapi bukan kepada Abi melainkan pada Sang Papa. Papanya memberikan cengiran, lalu segera mencium puncak kepala Mamanya. Abi yang melihat buru-buru membuang muka. Papanya memang tidak tau tempat. Sambil tertawa, Papanya membujuk, "Sekali ini, aku janji." Mamanya menggeleng cepat, tampak tidak percaya pada kalimat Papanya. "Kamu itu kalau bawa motor, nggak pernah santai, tau nggak? Kasian Abi yang dibonceng." "Itu nggak sengaja," ungkap Papanya sambil meringis. "Nggak boleh!" putus Mamanya pada akhirnya. "Kalau mau pergi berdua pakai mobil aja, atau jalan kaki sekalian." "Macet, Ma," ujar Abi ikut membujuk Nadine. "Apalagi malem kayak gini, semuanya pada di luar. Nanti kalau Papa kenceng bawanya Abi ingetin." Nadine kini mulai menatap Abi memohon, pasrah karena Abi tidak pernah berpihak padanya. Abi sendiri, bukan maksudnya ingin seperti itu pada Nadine. Tapi, tujuan Abi hanyalah swalayan. Bukannya bisa cepat dengan motor, malah akan lama dengan mobil. "Aa sama Papanya sama aja, kan Mama khawatir." Nadine akhirnya menghela napas, membuang muka kembali ke layar televisi. Abi malas ketika Mamanya harus bertingkah seperti ini. Membuatnya benar-benar merasa bersalah. Mama, Bia, dan Judith, adalah kelemahan terbesar untuk Abi. Jika bermotor berdua dengan Papanya bisa membuat Mamanya segitu khawatir, apa kabar jika Mamanya tau perihal hobi berkelahinya?! Itu kenapa Abi menghindari Cakrawala. Tidak hanya Bia, tetapi adik Mamanya juga menjadi salah satu guru disana. Abi tidak ingin segala tindak-tanduknya dilihat. Lelaki itu tidak suka. Dia ingin bebas melakukan apapun yang ia mau. Ia ingin tumbuh seperti remaja pada umumnya tanpa harus menunjukkan pemberontakan pada Sang Mama. Sewaktu SMP, Bia kerap mengadukan segala tindakan Abi pada Sang Mama. Dan Abi tidak suka. Hidupnya menjadi memuakkan karena selalu diawasi. Dan masuk ke sekolah lain adalah jalan yang Abi ambil. Setiap Nadine bertanya tentang alasan Abi, seperti biasa, lelaki itu akan memberikan alasan tanpa harus membuat Mamanya terluka. Karena Abi tau bagaimana Nadine akan sakit ketika Abi tertutup. Dulu pernah, Abi membuat Papa dan Mamanya berkelahi. Hati Mamanya sakit sebab Abi lebih suka bercerita dengan Papanya. Setelah itu, Abi berpikir untuk berubah walau sulit. Tapi pada akhirnya, memang hanya Aldric yang mengerti Abi. Abi ingin sekali berbicara dengan Nadine. Lelaki itu ingin bebas tanpa harus dikhawatirkan. Abi ingin terbang tinggi tanpa harus diingatkan bahwa dia memiliki kandang. Abi ingin berlari jauh tanpa harus diingatkan bahwa kakinya tengah diikat. Dan yang benar-benar paham pada Abi, hanya Aldric. Menurutnya. "Yaudah, Ma, kita pakai mobil." Abi berbicara tenang, tapi tidak melihat Mamanya melainkan berlalu pergi. "Itu Abi ngambek?!" tanya Nadine panik seketika. Aldric mengangguk, "Kamu tau dia udah gede. Seharusnya dia bisa ngelakuin apapun tanpa harus kita kekang lagi." "Tapikan, maksud aku baik...." Nadine berdiri, berjalan menyusul Abi yang sudah keluar rumah lebih dulu. "Mereka remaja, Sayang. Mereka butuh hidup di dunia mereka sendiri." Sambil berjalan, Aldric menjelaskan. "Terus, aku salah?" tanya Nadine berbalik. Suaranya bergetar tidak enak. Pasalnya, Nadine tidak bermaksud apa-apa pada Sulungnya tersebut. "Kadang, gak semua yang kita lakuin itu bener. Aku tau kamu khawatir, tapi Abi udah gede. Dia bukan lagi bayi umur satu bulan yang gerakannya harus dipelototin." "Yaudah, deh, nanti aku bicara sama dia. Kamu nyusul keluar sana. Pake motornya aja." Di luar rumah, Abi yang tengah menunggu Aldric tiba-tiba saja dikagetkan oleh suara yang amat ia kenal. Haruka. Perempuan dengan rambut keriting itu tampak manis dalam balutan dress rumahan miliknya. "Mau kemana, Bi?" tanya Haruka penasaran. Tadinya, perempuan itu ingin langsung pulang ke rumahnya setelah menghabiskan waktu di rumah tetangga yang lain karena ada urusan. Tetapi melihat Abi berdiri di depan rumah, Haruka memilih berhenti. Entah kenapa, Haruka merasa rindu pada Abi. "Swalayan," jawab Abi tenang. "Kamu?" Haruka tersenyum, "Dari rumah Kak Kenang, abis ngembaliin flashdisknya." "Kirim-kiriman video Korea lagi?" tanya Abi menebak. "NCT, Bi. Kapan sih bakal hapal sama kesukaan aku? Kemarin jugakan kita bareng-bareng liat MV mereka. Masa udah lupa, sih?" Haruka ngedumel lucu, membuat Abi tertawa ringan di tempatnya. "Abi, jangan ketawa!" "Iya, NCT maksud aku," ujar Abi menurut. Abi suka saat Haruka terlihat kesal seperti tadi. Entahlah, Abi kerap berpikir bahwa Haruka tidak seperti perempuan lain. Haruka tidak kasar, apalagi bermulut pedas. Tidak seperti Renat. Abi seketika menggelengkan kepala. Merasa bodoh. Kenapa dia harus membandingan Haruka dengan Renat? Maksudnya, kenapa otaknya bisa-bisanya memunculkan nama Renat. "Ah, udah, ah. Nanti aku dimarahin sama Bunda karna nggak balik-balik. Dah, Bi." Haruka melambaikan tangannya, bergerak meninggalkan rumah Abi. Tidak lama Haruka meninggalkan, Aldric datang. Sambil berjalan ke arah motor, Aldric tersenyum pada Abi. "Mama izinin, Pa?" tanya Abi bingung. "Buat kamu, Mama pasti ngasih," Aldric terkekeh, lalu menangkap kunci motor yang dilemparkan Abi padanya. Sedetik kemudian, motor menyala. Abi membiarkan Aldric keluar dari halaman, setelah ia menutup pagar, Abi menyusul naik motor. Pelan tapi pasti, Aldric membawa motor menjauh dari rumah. Sedang Abi diam, fokus menatap sekitar. Ketika motor mulai membelah jalanan yang ramai dengan kendaraan, Aldric mulai bersuara. "Gimana, A, sama Haruka?" Abi seketika melotot, menatap Sang Papa ngeri. "Ngomong apasih, Pa?" tanya Abi pura-pura bodoh. "Papa liat, A. Cantik, ya?" "Cantikan, Mama," jawab Abi asal pikir. "Eh! Itu punya Papa! Enak aja kamu." Aldric sukses tidak terima, sedang Abi hanya tertawa. Dua laki-laki beda generasi tersebut akhirnya sibuk melanjutkan debat mereka. "Udahlah, Pa, gak minat bahas ginian." "Papa seumuran Aa udah asik ngejar-ngejar Mama," celetuk Aldric begitu saja. Motor perlahan berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah. "Terus, Mama mau?" "Maulah! Itu yang jadi Mama A sekarang." "Maksudnya, dulu waktu SMA Mama terima Papa gitu aja?" "Iya! Pasangan paling romantis Papa sama Mama." Abi lagi-lagi menatap ngeri Papanya dari belakang. Sedang Aldric tersenyum penuh arti sendirian. Abi percaya saja pada ucapan Papanya. Padahal ia tidak tau, apakah Sang Papa jujur, atau malah berbohong. • r e t u r n •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD