3 - GGB

1160 Words
Hujan akhirnya turun. Membuat para penghuni kelas 11 IPA 1 berubah rusuh. Guru Matematika yang mengajar segera meminta mereka diam karena sedang dalam proses menjelaskan. Sudah hujan, ditambah semua murid berubah ribut, apa yang akan didengar? Mereka serempak kembali menatap ke papan tulis. Terlebih Abi yang tengah duduk di bangkunya. Laki-laki itu tenang sejak tadi, mata dan telinganya tengah fokus melihat dan mendengar. Berbeda dengan Renat, perempuan itu juga diam, hanya saja pikirannya sedang tidak di tempat. Bodoh! Kenapa dia harus memikirkan perihal Hari Ibu? Dia bisa saja bolos di hari itu, bukan? Hujan di luar sana benar-benar mendukung suasana hati Renat yang buruk. Ah, Renat lelah. "Renat?!" Renat tersentak ketika bahunya ditepuk cukup keras oleh teman sebangkunya. "Tuh, di pintu." Renat mengalihkan pandangan menuju pintu, terlihat seorang Guru Biologi berdiri disana. "Renata, Abirayyan, ikut Ibu dulu, ya." Guru Biologi itu bercakap santai bersama Guru Matematika untuk sesaat setelah memanggil mereka, sedang Renat berjalan ke depan kelas bersamaan dengan Abi. Mereka keluar kelas bersama. Membiarkan gurunya berjalan lebih dulu dengan Renat yang berusaha menyamakan langkah Abi. "Tungguin gue dong, Bi," ujar Renat berharap Abi mengiyakan. Tapi tidak, Abi terus saja berjalan. Membuat Renat memilih berlari dan menarik seragam Abi. Abi menoleh malas, menatap Renat yang asik cengar-cengir cantik. "Kamu kumat?" Abi berbicara tenang, tapi reaksi Renat malah di luar dugaan. Dengan kasar, Renat memukul bahu Abi. "Tuh, mulut! Coba deh, lo kalau ngomong sama gue yang manis-manis aja. Pasti adem." Renat tertawa ringan, sedang Abi sejak tadi tidak merubah tatapan malasnya. "Untungnya apa kalau aku ngomong manis ke kamu?" Renat menahan senyum. Merasa gemas sendiri dengan Abi. "Untung ya, gue nggak kayak semua fans lo yang mudah baper cuma karna diajak bicara pake aku-kamu." Abi memejamkan mata, mempercepat langkah kakinya. "Ih, jangan ditinggal!" "Yaudah, jalan duluan sana," usir Abi sambil menggerakkan dagunya ke depan. "Nggak mau," celetuk Renat sesuka hati. "Maunya bareng elo." Abi akhirnya memilih diam, membiarkan telinganya diisi oleh suara deras hujan yang menyerbu bumi. "Tapi, Bi, kalau hujan-hujan begini lo tau nggak enaknya ngapain?" Dahi Abi mengernyit, untuk sekarang, dia masih cukup sabar dengan kecerewetan perempuan di sebelahnya. Sebab telinga Abi sulit menerima suara-suara tidak penting yang kerap membicarakan hal tidak bermanfaat. Kecuali suara kedua adik perempuannya. Abi sudah terbiasa untuk itu. Abi sontak kaget ketika Renat lagi-lagi memukul bahunya, membuat Abi menatapnya penuh tanya. "Kenapa?" "Dijawablah! Tadi guekan nanya. Gimanasih? GGB lo dasar." "GGB, apa?" "Ganteng-Ganteng Budeg," jawab Renat dekat telinga Abi. Bikin Abi buru-buru menutup telinga kanannya. "Harusnya kamu bisa bedain mana budeg, mana nggak peduli." Jantung Renat seketika berdetak lebih cepat. Kenapa nyeri ketika mendengar kalimat seperti itu dari Abi. Jadi, secara tidak langsung Abi tengah bermaksud mengatakan bahwa dia tidak peduli dengan Renat, kan? Renat memecahkan pikiran tersebut. Kembali menatap Abi dan tersenyum manis seperti biasa. Bagi Renat, mengganggu Abi akan membuatnya banyak melakukan aktivitas. Hingga akhirnya, Renat lupa dengan beban yang tengah ia pikul. "Tapi kalau elo, itu jatuhnya budeg, Bi," cetus Renat tidak pakai hati. "Terserah kamu." Abi kembali meninggalkan Renat di belakang, bikin Renat sukses ngedumel panjang. Renat berlari lagi, menyamakan langkahnya dengan Abi. "Jadi, Bi, kalau hujan-hujan gini, enaknya ya dipeluk." Renat tersenyum manis ke arah Abi, dan sukses bikin lelaki itu jadi ngeri sendiri. "Yaudah, pelukan sama Bapak Kantin aja. Cocok." Abi menyahut tenang pada akhirnya. "Bego! Yang ada gue bakal dikejar pakai sinso sama bininya Bapak Kantin." "Itu mulut kamu perlu di lakban kayaknya," ujar Abi kini lelah sendiri. Yasudah, jika pada akhirnya Renat diburu oleh istri Bapak Kantin dengan sinso, apa urusannya dengan Abi? Toh, tidak ada hubungan sama sekali dengannya. "Calon-calon tukang mutilasi orang lo, ya." Renat menarik lengan baju Abi sambil masih tertawa. "Diem, Renata!" Renat seketika mengatupkan kedua bibirnya. Perintah yang keluar dari mulut Abi terkesan tenang, namun mampu membuat Renat diam seribu bahasa. Abi merasa lebih baik ketika Renat akhirnya diam. Seharusnya sejak tadi dia memberikan ultimatum untuk Renat. Ketika tiba di pembelokan koridor, mereka sama-sama berbelok. Lalu tidak lama, tiba di ruang guru. Guru Biologi tersebut menatap Abi dan Renat sambil tersenyum. Membuat Renat ikut tersenyum, tetapi lebih kepada meringis. Sedang Abi, dia tetap setia dengan ekspresi tenang. "Kalian deket, ya?" Ibu Tiwi, Guru Biologi tersebut tertawa setelahnya. Bikin dua remaja yang sedang berdiri di seberang meja jadi sibuk sama pikiran masing-masing. "Nggak, Ibu bercanda. Kalaupun kalian deket ya bagus, cocok kok." Renat sukses cengengesan, sedangkan Abi yang menatap Renat dari sudut mata hanya diam. Ibu Tiwi mengambil penanya, lalu menjangkau selembar kertas untuk menuliskan sesuatu disana. "Maksud Ibu minta kalian kesini, untuk bahas perihal lomba Biologi antar sekolah yang bakal dituan rumahin sama SMA Cakrawala. Gimana?" Abi yang memang diam kian tenggelam dengan pikirannya sendiri. Sejak semalam, Bia memang sudah sibuk mengatakan tentang banyaknya lomba yang diadakan Cakrawala sebagai hari besar yang bersangkutan dengan sekolah tersebut. Bia selaku panitia acara juga memaksa agar sekolah Abi ikut serta. Tapi Abi memilih menggelengkan kepala. Tidak tertarik sama sekali. "Saya setuju, Buk!" ujar Renat semangat. "Jadi ini pasangan ceritanya, Buk?" Ibu Tiwi menggeleng, "Per individu. Dan Ibu pilih kalian berdua buat wakilin sekolah. Jadi kalian berdua saingan di perlombaan itu." "Harus berdua, Buk?" Abi bersuara. "Maksud saya, kalau Renata sendiri aja, gimana?" "Sayangnya sudah ditentukan. Sekolah yang berpartisipasi harus mengutus dua orang siswa untuk setiap lomba di bidang akademis." "Kenapa harus saya, Buk?" ujar Abi lagi, berharap Ibu Tiwi paham bahwa dia menolak untuk ikut serta. Pasalnya, tidak enak bila menolak secara terang-terangan. "Ibu percaya sama kamu, Bi. Juga kamu, Renata." "Saya sama Abi bisa kok, Buk. Tenang aja, Buk. Pulang sekolah nanti, kita bakalan mulai belajar bareng." Abi seketika menoleh. Kali ini secara jelas memberikan Renat tatapan tajam. "Kalau gitu, informasi selanjutnya menyusul, ya." "Emang lombanya kapan, Buk?" tanya Renat segera karena takut pada tatapan Abi. Renat menatap Ibu Tiwi sambil tersenyum, sambil berdoa dalam hati supaya Abi tidak lagi memandangnya. "Senin depan," jawab Ibu Tiwi. "Nah, besok kita diskusi materi setelah pulang sekolah, bisa?" "Saya sih yes, Buk. Tapi kalau yang di sebelah nggak tau." "Gimana, Abi? Kamu bisa, kan?" Ibu Tiwi memberikan tatapan penuh harap pada Abi. Membuat lelaki itu kembali lemah hingga akhirnya, Abi hanya mengangguk patuh. "Ok, Buk," jawab Abi singkat. Ibu Tiwi tersenyum sebab jawaban Abi. "Kalau gitu kalian bisa kembali ke kelas." "Permisi, Buk." Renat mengangguk samar, lalu keluar diikuti Abi di belakangnya. Dalam hati, Abi terus saja mengingatkan diri untuk bersabar. Bagaimana nanti jika dia dan Renat berlomba bersama? Sungguh, Abi tidak pernah membayangkan hal tersebut. "Gila! Kita ke Cakrawala, Coy!" ujar Renat bersemangat. Membuat Abi geleng kepala malas. "Lo tau nggak, sih? Cakrawala parah banget sekolahnya. Gede pula. Gak sabar gue kepingin masuk kesana." "Gak usah norak." Abi berujar datar ketika langkahnya berhasil mendahului Renat. Dan setelahnya, memilih berjalan cepat di sepanjang koridor. Kembali ke kelasnya. Kembali berkutat dengan angka-angka kegemarannya. "Abi! Kenapa seneng bangetsih main tinggal?" teriak Renat sebal. Namun buru-buru ia menutup mulut karena sadar telah rusuh. Kasihan orang-orang beriman yang tengah belajar, terganggu dengan suaranya. • r e t u r n •  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD