2 - Keluarga Mereka

1133 Words
Lelaki itu meneguk habis sisa air es di gelas miliknya. Ia kehausan setelah menikmati dua jam tidur siang. Kakinya melangkah menuju lemari pendingin, menyisir camilan yang berada disana. "Cari apa, A?" Sulung dari tiga bersaudara itu tersentak. Ia menatap Nadine---Mamanya---yang baru datang, juga ikut-ikutan mengambil gelas dan menuangkan air es ke dalamnya. "Abis ngapain, Ma?" tanya Abi penasaran. Lagipula, kenapa bisa Nadine terlihat ngos-ngosan. Kasihan. "Lari sore bareng Judith," jawab Nadine sambil mengisi air ke dalam botol warna pink. "Aa mau keluar?" "Pengen mandi," ujar Abi tenang. "Tolong Mama kasihin botol ini ke Judith, ya. Mama kebelet." Nadine bergegas pergi tanpa memberikan Abi kesempatan untuk bertanya dimana Judith. Alhasil, Abi hanya menghela napas. Lalu mengambil botol pink dengan stiker pisang bertuliskan nama sang adik, جوديته . Bibir Abi terangkat sedikit. Pisang dan Judith, sesuatu yang sulit dipisahkan. Pernah sekali, Abi dibuat pusing karena Judith meminta pisang kepadanya. Adik bungsunya tersebut benar-benar mengerjainya habis-habisan. Pasalnya, Abi harus berkeliling hanya untuk mencari pisang dengan ukuran panjang 10 senti. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Harusnya Abi kesal, tapi dia tidak bisa. Abi melangkahkan kaki menuju halaman luar. Tapi tidak ada Judith disana. Dia sudah berteriak, dan tidak ada tanggapan balik dari Judith. "Nggak ketemu Judith, A?" Nadine muncul dari dapur, menghampiri Abi yang sekarang tengah duduk di bed sofa dengan jemari bermain dengan remote, asik mengganti channel. Abi menggeleng, tangannya masih asik memegang botol Judith. "Dimana sih, Ma?" "Bareng Bia, kali? Bia lagi renang." Abi berusaha menahan helaan napas kesal. Tanpa berkata apa-apa, Abi bergegas menuju kolam renang di rumah. Tepat ketika Abi membuka pintu, suara gelak tawa Judith terdengar keras. Namun terganti dengan teriakan sebab Judith terkejut melihat Abi. "AA! NGAPAIN DISINI?!" Abi mengernyit, menatap Judith dengan ekspresi bingung. "Disinikan cewek semua, A." Judith kembali bersuara. "Nih, dari Mama." Abi mengulurkan botol minum pada Judith. Adiknya tersebut menerima dengan suka cita. Baru saja ingin melangkah pergi, Judith bersuara. "Pudding Judith nggak dibawa?" "Ambil sendiri sana," sahut Abi santai. "Aa dong yang ambilin," ujar Judith lagi-lagi. Abi menghela napas, menatap Judith lalu menggeleng. "Aa ambilin, tapi Aa yang makan. Mau?" "YAH, CURANG!" "Makanya ambil sendiri," tutur Abi sambil mencubit pipi Sang Adik. Setelah itu dia bergegas pergi, badannya sudah gerah butuh mandi. • r e t u r n • Renat melangkahkan kaki cepat memasuki rumah. Berharap doanya setiap malam terkabul ketika dia mencapai ruang keluarga. Tapi tidak, orangtuanya tidak ada disana. Orangtuanya tidak menunggunya. Renat menghela napas panjang, berusaha melihat dari sisi positif segala hal yang tengah ia pikul. Tapi rasanya sulit. Ia tidak kuasa. Semuanya sulit karena Renat menanggungnya seorang diri. Papanya selalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Lembur terus-terusan. Padahal dulu, Papanya selalu memiliki waktu untuk Renat. Bahkan sekedar menemani Renat bermain boneka, Papanya bisa. Sekarang? Tidak perlu ditanya. Hingga akhirnya Renat lelah berharap lebih. Lelah menanti pada sesuatu yang tidak pasti. Tapi, sekesal apapun Renat terhadap Papanya, dia tetap bahagia ketika Sang Papa menunjukkan perhatian. Fakta bahwa Papanya tidak pernah beranjak dan meninggalkan Renat sendirian yang membuat Renat masih menghormati pria paruh baya itu. Tidak seperti Mamanya, seorang yang teramat Renat benci. Salah memang karena Renat menaruh kebencian pada wanita yang telah berkorban banyak untuknya sejak ia masih dalam rahim. Tapi, hati Renat terlanjur sakit. Melihat Mamanya pergi kala senja dan membiarkan Renat membeku bersama udara malam yang menusuk. Semuanya berawal sejak kejadian tiga bulan lalu. Kejadian yang secara langsung mengubah Renat menjadi pribadi baru yang buruk. Beruntung, pribadi tersebut hanya dipertontonkan di rumah. Di sekolah, Renat berusaha tetap biasa. Ia siswi berprestasi. Memiliki banyak teman. Organisasi Siswa, dan dua ekstrakurikuler penting yang diikuti Renat membuatnya malu jika ia tiba-tiba berubah secara instan. Orang-orang pasti akan ribut lalu bertanya-tanya. Dan Renat, seperti i***t bertahan di atas dua kepribadian bodoh yang ia bawa di punggungnya. Ponselnya berbunyi tepat ketika Renat masuk kamar, Papanya menelepon. Dengan cepat, setelah meletakkan tas di meja belajar, Renat menerima panggilan. "Hallo, Re," sapa Papanya di ujung telepon. "Iya, Pa?" Renat menjawab sambil berjalan pelan menuju jendela kamar, menatap suasana luar yang sudah gelap. Ya, Renat memang menghabiskan waktu di suatu tempat sebelum ia pulang. "Papa lembur," ujar Papanya, "kamu pesen makanan di luar aja, ya?" Bukan menjawab, Renat bereaksi dengan menghela napas. Dia rindu masakan Mama. Ah, tapi dia benci Mama. "Dah, Pa." Renat memutuskan sambungan begitu saja. Renat ingin Papanya tau bahwa ia begitu rindu sosok Papanya. Renat berharap agar Papanya peka terhadap perasaan Renat sekarang. Dilemparnya ponsel menuju tempat tidur, setelah itu bergegas mandi. • r e t u r n • Matahari tampaknya tengah malas pagi ini. Mendung. Hujan sepertinya akan turun. Renat bergegas mencari angkutan umum yang akan mengantarnya menuju sekolah. Kakinya melangkah pasti di sekitar SMP yang tidak jauh dari rumahnya. Renat menunggu di tepi jalan, melihat angkutan umum yang sedang bergerak mendekat ke tempatnya. Dengan hati-hati, Renat masuk ke dalam angkutan umum tersebut. Duduk di dekat pintu. Entah sudah berapa lama, angkutan umum yang membawanya secara perlahan berhenti. Ternyata lampu lalu lintas sedang merah. Renat memilih melihat keluar, dan sedikit kaget saat melihat seorang yang sering ia ganggu berhenti bersama motor hitamnya. "ABI!" Abi menoleh, dan Renat buru-buru menampilkan senyum lebar ketika yakin bahwa Abi melihatnya. Dan sialnya, Abi tidak menampilkan reaksi apa-apa. Abi kembali menghadap ke depan. Membiarkan Renat yang tengah merengut kesal karena malu. Bisa-bisa orang-orang di sekitar menilai Renat sok kenal pada Abi. Padahalkan, mereka teman sekelas. Walaupun hanya Renat yang menganggap Abi teman. Entah kenapa, Renat senang mengganggu Abi. Menurutnya Abi itu songong. Tapi, lembut. Karena setau Renat hingga kini, Abi tidak pernah kasar dengan perempuan. Berbeda jika dengan sesama lelaki. Abi tidak akan segan-segan untuk berkelahi. Jika di dalam lingkungan sekolah, Renat memang beberapa kali melihat Abi berkelahi, dan kebanyakan untuk membela teman-teman yang memang sering dikerjai. Yang membuat Renat penasaran, dengar-dengar Abi juga berkelahi dengan orang-orang di luar sekolah. Tapi, kenapa Renat jarang melihat lebam di wajah Abi?! Baru ingin memanggil Abi lagi, ternyata ia sudah berlalu lebih dulu. Angkutan umum yang membawa Renat juga ikut bergerak, tapi tidak bisa memacu kencangnya motor lelaki itu. Dasar songong, gue bingung deh kenapa dia tahan cuek ke orang-orang. Renat ngedumel dalam hati. Ketika melihat gedung sekolah, Renat buru-buru teriak ke supir angkutan umumnya. Yang bikin Renat diam-diam bersyukur, karena dia tidak perlu gonta-ganti angkutan umum hanya untuk mencapai sekolah. Renat masuk ke lingkungan sekolah dengan langkah cepat. Pasalnya, bel sudah berbunyi. Perempuan itu tidak mau jika harus dihukum lagi oleh guru. Walaupun bukan Pak Iskandar yang masuk hari ini. Hanya saja, belajar dari kesalahan adalah hal terpenting. Renat menyisir pandangan di dalam kelas, teman-temannya masih asik grasak-grusuk. Tanpa pikir panjang, Renat melangkah cepat menuju bangkunya. "Eh, Re," celetuk teman Renat tampak semangat. "Ini masih lama, sih. Tapi denger-denger nanti waktu hari ibu, sekolah bakalan bikin acara besar. Antara kita sama nyokap. Parah, gue sendiri gak sabar. Katanya masih rencana, tapi semoga jadi deh." Renat terdiam di bangkunya. Dia memikirkan kembali apa yang baru temannya katakan. Hari Ibu? Apa hari itu masih berlaku untuknya? Dan, apa seorang Ibu yang sudah membuang anaknya berhak memeriahkan hari tersebut? • r e t u r n •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD