"Kau benar-benar wanita yang tak tahu cara bersyukur. Kurang baik apa aku padamu, hah! Di tampar aku diam saja, di siram air aku tak membalas, kau sakit tetap aku rawat, dalam keadaan marah pun aku masih mau menafkahimu." Desis Mas Aron, lirikan matanya sinis, mulutnya tetap mengunyah makanan. Aku tak menghiraukan ucapan Mas Aron. Bisa panjang nanti urusannya.
Aku mengambil botol air mineral, lalu memutar tutupnya. Sungguh, tubuhku terlalu lemah. Membuka tutup botol saja tak bisa, padahal aku sudah mengerahkan seluruh tenagaku. Mas Aron mengambil alih botol itu, lalu membuka tutupnya dan memberikannya padaku.
"Terima kasih," ucapku.
"Hemmm ..." Mas Aron hanya bergumam. Ia beranjak dari tempat duduknya ketika mendengar suara ketukan pintu. Setelah pintu di buka, seseorang memberikan bingkisan pada Mas Aron. Ia membuka bungkusnya, ternyata isinya selimut dan baju ganti pria. Tanpa sepatah kata 'pun ia menyelimuti kakiku. Aku kembali makan bubur. Dari sudut mataku, terlihat Mas Aron sedang membuka bungkus obat, lalu memberikannya padaku. Usai makan bubur, aku meminum pil dari Dokter tadi.
Satu jam sudah berlalu. Berduaan dengan Mas Aron di ruangan sekecil ini membuatku merasa canggung. Sedangkan Mas Aron terlihat biasa saja, terlihat dari sikapnya yang sejak tadi santai sibuk bermain HP.
"Kamar mandinya di mana?" tanya Mas Aron tiba-tiba.
"Di luar sana, Mas." Aku menunjuk ke arah timur. Kamar mandi terletak cukup jauh, paling ujung. Sedangkan kamar kosanku berada tepat di bagian paling depan.
Penghuni kos-kosan di tempatku yang menyewa dengan harga murah, memang memakai kamar mandi luar, berbagi dengan penghuni kosan yang lain. Jika penghuni kamar kos dengan harga sewa yang lebih mahal, maka mereka akan mendapatkan fasilitas kamar mandi dalam. Sedangkan, aku membayar sewa kosan yang paling murah demi menghemat biaya hidup, mengingat sisa uangku hanya pas-pasan.
"Sebentar lagi adzan magrib. Apa kau tak mau sholat?" tanya Mas Aron padaku setelah mengalihkan perhatiannya dari HP.
"Sholat, Mas."
"Apa kamu bisa ke kamar mandi sendiri dengan tubuh lemah begitu? Jika tidak bisa, aku akan mengantarmu ke kamar mandi!" Mas Aron menawariku bantuan.
"InsyaAllah bisa, Mas."
"Kalau begitu kamu duluan," perintah Mas Aron, lalu memberikan pakaian suci untukku. Mas Aron menggelar dua sajadah, satu sajadah di depan dan satu sajadah lagi di belakang.
Aku pun berusaha bangun dari tidurku. Ketika berdiri, tubuhku langsung terhuyung karena kepalaku terasa berkunang-kunang, dunia terasa berputar-putar. Beruntung tanganku berpegangan pada tembok. Melihatku hampir jatuh, Mas Aron berlari dengan gesit, lalu merengkuh tubuhku hingga aku jatuh ke dalam pelukannya.
"Apa kamu baik-baik saja?" Mas Aron tampak panik.
"Kepalaku pusing banget Mas, terasa berkunang-kunang." Aku memegangi kepalaku yang pusing.
"Kalau memang nggak kuat nggak usah salat, libur saja dulu. Kamu 'kan lagi sakit."
"Nggak, Mas. Aku salat aja." aku tak ingin ketinggalan satu waktu pun sholatku, karena aku takut jika aku mati di saat aku belum menunaikan ibadah salat.
Mas Aron menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Entah apa yang sedang dia pikirkan!
"Biar kubantu." Mas Aron merangkul tanganku, lalu memapah tubuhku keluar dari kamar kos dan pergi menuju ke kamar mandi luar. Aku berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi karena tubuhku terlalu lemah. Kulirik Mas Aron yang menoleh ke kanan dan ke kiri melihat keadaan yang sepi. Mataku terbelalak, aku dibuat terkejut dengan aksi yang dilakukan oleh Mas Aron. Suamiku itu tiba-tiba saja menggendongku.
"Mas, kamu ngapain!" aku berseru.
"Jangan GR dulu, kamu lamban makanya kugendong. Mumpung keadaan sepi." desis Mas Aron.
Aku diam saja tak mau membantah. Jujur saja jantungku berdegup dengan sangat kencang, aku gugup karena aku tidak pernah begitu dekat dengan lawan jenis. Ini pertama kalinya seorang pria menggendongku. Mas Aron adalah pria pertama yang berani memelukku, selain Almarhum Ayah dan Kakakku Hirka.
Dulu, aku pernah mencintai seseorang yang sangat sopan, dia adalah pria yang lembut dan santu. Aku pernah berharap akan berjodoh dengannya. Dia tak pernah menyatakan cinta, tapi siapa sangka! Dia datang ke rumahku untuk melamarku menjadi istrinya. Dia berkata, sudah lama memendam rasa cinta untukku. Mendapat lamaran dari pria yang sangat aku cintai membuat hatiku berbunga-bunga. Taman bunga itu hancur seketika saat ibuku menolak lamaran pria itu mentah-mentah.
Begitu sampai di depan kamar mandi, dia menurunkan aku. Tak hanya itu, Mas Aron juga membantuku untuk mengambil wudhu. Setelah berwudhu' aku berjalan kaki, takut bersentuhan kulit dengan Mas Aron yang akan mengakibatkan batalnya wudhu'ku.
"Kita salat berjamaah saja, pahalanya lebih besar." pinta Mas Aron ketika aku sudah duduk di atas hamparan sajadah.
"Iya, Mas." jawabku sembari memasang mukena. Setelah mendapat jawaban dariku, Mas Aron pun berlalu pergi.
Aku merasa heran dengan perubahan sikap Mas Aron yang mendadak berubah. Entah karena apa! Mas Aron tiba-tiba saja berbuat baik dan penuh perhatian kepadaku. Mungkin semua ini ia lakukan karena ingin membawaku pulang. Bukan karena keinginan Mas Aron, melainkan keinginan ibu mertuaku.
Kami baru saja menikah, aku belum tahu betul seperti apa kepribadian Mas Aron. Selama ini, yang kulihat sikap Mas Aron memang sangat Arogan dan kasar, tapi dalam beribadah patut ku acungi jempol. Dia salat selalu tepat waktu, selesai sholat dan berdzikir, ia akan membaca Alquran dengan suaranya yang sangat merdu dan fasih. Diam-diam aku sering mendengarkannya membaca Al-Qur'an, aku sering hanyut dalam lantunan ayat-ayat suci Alquran yang membuat hati dan pikiran ini menjadi tenang.
Beberapa saat kemudian, Mas Aron muncul. Tanpa mengulur waktu, kami pun melaksanakan salat magrib berjamaah. Aku salat dengan posisi duduk, karena tak mampu berdiri terlalu lama. Setelah ibadah salat, kami berdzikir bersama. Aku mengaminkan setiap doa-doa yang keluar dari lisan suamiku.
"Apa kamu punya Al-Qur'an?..." Mas Aron berbalik dan bertanya padaku. Namun, kujawab dengan gelengan kepala. Malu.
"Malaikat enggan masuk ke sini kalo kamu nggak baca Qur'an. Kalo setan mah, betah tinggal sama kamu." desis Mas Aron. Selalu dengan kalimatnya yang tak sedap didengar telinga, serta membuat hati ini panas.
Mas Aron mengambil Hpnya yang tergeletak di atas kasur lantai. Ia membuka aplikasi Al-Qur'an lalu membacanya. Sementara aku bersandar ke dinding karena kepalaku masih pusing. Dengan suara pelan, aku membaca Ayat kursi, kemudian membaca Surat Yasin, lalu surat Al-Mulk. 3 bacaan itu adalah bacaan yang rutin aku baca setiap selesai salat. Kecuali waktu itu, saat Dzuhur dan Ashar karena saat itu aku sedang bekerja di restoran.
Usai salat Isya' dan makan malam, aku pun istirahat karena rasa kantuk kembali menyerangku, mungkin efek obat yang baru saja kuminum sudah bereaksi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dengan tubuh yang lebih segar. Perlahan mataku mulai terbuka. Kulihat jam di layar Hp, ternyata masih pukul 2 dini hari. Kulihat Mas Aron meringkuk di atas lantai, tanpa alas ataupun selimut. Padahal kemarin ia berkata bahwa dia tidak sudi tidur di atas lantai.
Saat tidur seperti ini, Mas Aron terlihat sangat manis. Hidungnya sangat runcing tapi mungil. Bibir kecilnya berwarna merah darah, tapi berisi. Ia memiliki rahang yang tegas, tatapan matanya juga tajam. Suamiku ini memiliki paras yang mampu menawan mata kaum hawa yang memandang. Wajahnya terpahat begitu sempurna. Siapa pun tak akan pernah menyangka jika mulut mungilnya yang s*nsual itu mengandung bara api yang mampu menyulut hati menjadi berapi-api.
Tiba-tiba saja, Mas Aron membuka mata. Menangkap basah diriku yang sedang memperhatikannya. Untuk sesaat, kami saling memandang. Aku lebih dulu memutus kontak mata kami.
"Apa kau sudah baikan?" tanyanya.
"Iya," jawabku singkat.
"Kalau begitu ayo pulang. Tubuhku sakit semua tidur di lantai." Mas Aron mulai meregangkan otot-ototnya.
"Kamu pulang saja sendiri, Mas. Aku betah di sini."
"Mana bisa aku meninggalkanmu!Apalagi kamu sedang sakit."
"Kamu jangan khawatir, Mas! Aku sudah sembuh, kok."
Mas Aron beranjak dari tidurnya, lalu memeriksa keningku yang sudah tidak panas.
"Kamu harus pulang, kalau tidak mau! Aku akan tidur bersamamu." Mas Aron tiba-tiba masuk ke dalam selimutku. Memelukku dari belakang.
"Mas, lepasin." Aku memberontak, berusaha melepaskan tangannya. Namun, Mas Aron semakin mempererat pelukannya.
"Kamu harus pulang. Kalau sampai hari ini kamu tidak pulang. Jangan salahkan aku meminta hakku sebagai suami." Mas Aron mengancamku.
"Kalau aku bilang nggak mau ya nggak mau, Mas." tolakku dengan tegas memberontak. Lupakah dia bagaimana dia menolakku di malam pertama kami. Apalagi di sertai hinaan.
"Istri macam apa kamu, hah? Di sentuh begini saja tidak mau." sentak Mas Aron yang kembali tersulut emosi. Bukannya aku menolak, untuk apa melepas keperawanan jika 5 bulan lagi kami akan bercerai.
"Kalau Mas takut Bunda datang ke rumah dan mencariku, Mas tinggal hubungi aku. Aku akan pulang," ucapku berusaha bernegosiasi.
"Aku tidak sedang tawar menawar denganmu. Ini bukan permintaan, tapi ini perintah. Ini bukan sekedar ancaman, Yuka Khairunnisa. Aku bisa melakukan apapun padamu. Kau adalah istriku, Yuka." Mas Aron berucap dengan nada tegas.
"Aku nggak mau tinggal satu atap sama kamu, Mas." Aku memberontak minta di lepas.
Mas Aron membalik tubuhku, kedua tangannya mencengkram rahangku dengan kuat, lalu merampas ciuman pertamaku dengan paksa dan kasar. Aku tak menyangka jika ciuman pertamaku terasa sangat buruk. Aku mendorong d**a Mas Aron dengan kuat. Namun, ia tak beranjak 1 inci pun. Air mata mulai menetes di sudut mataku. Suaraku tertahan di kerongkongan, karena Mas Aron membungkam habis bibirku. Aku mulai kesulitan bernapas, tubuhku tegang dan gugup.
"Iya, Mas. Aku pulang sekarang." ucapku ketika hisapannya berpindah di bibir bawahku. Aku tak ingin Mas Aron merenggut kesucianku jika aku bersikeras menolak perintahnya.
Aku memukuli d**a Mas Aron dengan tenagaku yang lemah, apalagi aku baru sembuh. Aku benar-benar takut jika Mas Aron akan merealisasikan ancamannya dan merampas kegadisanku. Aku mulai lelah karena terlalu banyak memberontak. Air mataku kembali menetes di sudut mata.
"Udah cukup, Mas. Aku pulang sama kamu sekarang." pintaku lagi dengan suara serak seraya mendorong dadanya dengan tenagaku yang lemah.
Benar saja! Setelah aku menuruti perintahnya, Mas Aron menghentikan aksinya, dan perlahan mulai menjauhkan wajahnya dariku. Melepaskan pagutan bibir kami. Bibirku terasa kebas. Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat dengan jelas, hembusan napas Mas Aron yang memburu sama denganku, sangat jelas ada kilatan amarah di matanya bening kini berubah merah. Ciuman itu ia lakukan karena amarah, bukan karena cinta. Sangat menyedihkan. Ciuman pertamaku tak berarti apapun baginya. Hanya rasa kebas dan sakit hati yang tersisa.
"Aku akan pulang, Mas. Tolong jauhi aku." pintaku dengan suara serak. Tanganku tetap menahan dadanya, karena Mas Aron masih menindih tubuhku.
"Jangan pernah memancing emosiku, jika tidak ingin aku bersikap kasar." ujar Mas Aron dengan nada sarkas, lalu membebaskan aku.
Aku pun mulai bernapas lega saat Mas Aron turun dariku. Ia bergegas ke pintu, membukanya, lalu kembali menutupnya dengan kasar.