SAKIT

1251 Words
POV YUKA. Aku tak tahu harus percaya atau tidak pada Mas Aron, karena aku tidak punya bukti. Kesimpulanku hanya berdasarkan prediksi semata. Aku tidak mau banyak berpikir, karena kepalaku terlalu pusing untuk berpikir terlalu keras. Toh, pernikahan kami hanya 'lah pernikahan sandiwara belaka. 6 bulan kemudian kami akan bercerai. Yang jelas, kehadiran Mas Aron saat ini hanya membuat kepalaku semakin pusing. "Sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku mau tidur." Aku ingin tidur untuk beristirahat, tapi bagaimana aku bisa tidur jika kasurku di tempati oleh Mas Aron. "Tidur saja di sini, aku rasa tempat ini cukup untuk kita berdua." Dari sudut mataku, terlihat Mas Aron menepuk-nepuk ranjang di sisinya. "Aku tidak mau tidur di sana kalau ada kamu." Masih teringat jelas bagaimana dia menghinaku saat malam pertama. Dia menyuruhku untuk menjauhinya. Namun, di saat aku sudah pergi jauh, kenapa dia malah mencariku. Memaksaku untuk kembali. "Jangan sok jual mahal, aku ini suamimu. Dan jangan coba-coba menyuruhku untuk tidur di lantai. Karena aku tidak sudi." Aku menghela napas panjang. Jika ku seret dia keluar dari kosan ini, pasti dia akan mengatakan jika aku ini adalah istri durhaka. Mengingat jika dia sangat pandai dalam memutar balikkan fakta. Aku sudah tak tahan, aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil bantal di dekat Mas Aron. Dan memilih tidur di atas lantai tanpa alas, membelakangi Mas Aron. "Kenapa malah tidur di lantai! Kau pikir aku Anjing yang najis untuk di sentuh." Mas Aron marah dan kembali memberikan tatapan yang mengintimidasi diriku. Aku menghela napas berat, memangnya apa yang sebenarnya dia inginkan! Bukan 'kah dia yang menyuruhku untuk menjauhinya. Seolah aku ini adalah kotoran yang sangat menjijikkan. "Yuka..." hardik Mas Aron. Mungkin karena aku tak merespon ucapannya. "Aku takut kamu menghinaku sebagai w************n lagi, kalau aku mendekatimu, Mas. Bukan 'kah waktu itu kamu yang menyuruhku untuk menjauhi kamu." Aku berucap dengan hati yang terasa perih bagai di rajam belati. Setiap mengingat hinaan Mas Aron, hatiku selalu sakit. Dari kampung ke Jakarta aku ikut dirinya. Begitu sampai di Jakarta dia terus saja menghinaku. Memperlakukanku dengan kasar. Hening. Tidak ada sanggahan dari Mas Aron. Aku pun mulai memejamkan mataku yang sejak tadi terasa berat. Apalagi setelah aku menangis, rasa kantuk semakin menyerangku. *** POV ARON Aku tak bisa tidur memikirkan perkataan Yuka. Memang benar aku sudah menghinanya saat malam pertama kami. Semua itu aku lakukan karena terlalu emosi. Kenapa aku mengetahui masa lalu buruk Yuka setelah melakukan akad nikah. Andai aku tahu sebelum ijab Qobul terjadi, aku pasti sudah membatalkan pernikahan kami. Toh, dalam pernikahan ini! Kami sama-sama tersiksa. Ku Pandangi wajah Yuka yang semakin lama semakin pucat. Tubuhnya juga menggigil. Sepertinya, ia sedang kedinginan. Aku lupa jika Yuka sedang sakit. Aku menghampiri Yuka, lalu memeriksa keningnya. Demamnya tinggi sekali. Seharusnya aku tak membiarkan Yuka tidur di lantai. Namun, sayangnya egoku terlalu tinggi. Aku menyelipkan tanganku di bawah lutut dan di bawah punggung Yuka untuk ku gendong. "Jangan sentuh aku." Tolak Yuka sembari mendorong dadaku dengan tangannya yang lemah. Rupanya gerakanku mengganggu tidurnya. "Kamu udah sekarat, nggak usah kebanyakan gaya. Apalagi sama suami. Kamu sakit begini karena kualat suami," ucapku dengan nada ketus karena kesal niat baikku di tolak mentah-mentah. Sudah untung aku mau membantunya. Punya istri menyebalkan sekali. Di kasari! Marah. Di beri perhatian! Ngelunjak . Dengan tangan kekarku, aku memindahkan Yuka yang lemah ke atas kasur lantai. "Kamu sudah periksa ke dokter?..." Tanyaku, kali ini dengan nada lembut. Yuka sedang sakit, aku harus menahan diri. "Nggak." "Kenapa nggak periksa ke dokter? Kamu 'kan harus minum obat." "Aku sudah minum obat warung." Yuka kembali meringkuk seperti trenggiling. Aku menggelengkan kepala mendengar jawaban Yuka. Ku raih hp di atas kasur, lalu menghubungi Dokter pribadi keluargaku. "Datang 'lah ke daerah Pusaran, g**g cempaka di kosan Putri. Bawa alat medis kamu." Perintahku pada Dokter Julio. "Tunggu sebentar, Tuan. Saya sedang ada pasien!..." jawab Dokter Julio dari seberang. "Pokoknya sebelum 30 menit, kau sudah harus sampai kemari." ucapku, kemudian memutus sambungan telepon. "Kau sudah makan?..." Tanyaku pada Yuka, meski sebenarnya perutku juga sangat lapar. "Udah tadi pagi?..." Jawab Yuka dengan mata yang masih terpejam, wajahnya sangat pucat. Ia meringkuk dengan tubuh gemetar. "Itu namanya belum makan." Hari sudah sore, dan Yuka belum makan siang. Jika begini, kapan bisa sembuh. Aku memesan makanan dan bubur lewat delivery. Aku beranjak memasak air di atas tungku yang berada di dalam kosan. Aku heran bagaimana bisa Yuka hidup di tempat sekecil ini. Sejujurnya, sejak tadi aku merasa pengap. Setelah air mulai hangat. Ku matikan kompor, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku Celanaku, dan mencelupkannya ke dalam air hangat. Aku mulai mengompres dahi Yuka supaya demamnya turun. Aku membongkar semua isi tas Yuka, mencari kain lebar yang bisa aku gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang kedinginan. "Yuka, apa kau tidak punya selimut?..." tanyaku pada Yuka sembari mengacak-acak pakaian Yuka. "Nggak punya. Itu kenapa pakaianku kenapa kamu berantakin." protes Yuka dengan kening berkerut. Dalam kondisi sakit begini, ia masih bisa protes. "Nanti 'kan kamu bisa melipatnya lagi.'' Kulihat Yuka kembali menghela napas berat, "Kenapa nggak beli selimut?..." tanyaku. "Nggak punya uang." "Kok, bisa nggak punya uang! Lalu uang belanja yang tiap aku berikan kepadamu larinya kemana? Uang itu sudah lebih dari cukup untuk membeli selimut. Apalagi kamu hanya memasak nasi dan telur ceplok untukku, itupun hanya di pagi hari. Sisa uangnya kau kemana 'kan?.." tanyaku dengan gusar. "Aku di rampok." "Ck. Alasan." Aku berdecak kesal. Punya istri sangat menyebalkan, suka sekali mengarang cerita. Kenapa tidak jadi penulis novel saja, daripada harus menjadi beban moral dalam masyarakat. "Aku nggak bohong, kalau kamu nggak percaya cek aja di CCTV depan restoran kamu." balas Yuka dengan suara lemah. Aku pun menghubungi seseorang dan menyuruhnya untuk membeli selimut. "Belikan aku selimut baru, kirim di daerah Pusaran, g**g cempaka di kosan Putri. Sebelum 30 menit barang harus sudah ada di tanganku." perintahku setelah sambungan telepon terhubung. Sebelum 30 menit berlalu, Dokter Julio datang. Ia mengernyitkan keningnya melihatku dengan tatapan bertanya-tanya. "Maaf, Tuan Aron!... Memangnya siapa yang sedang sakit?..." tanya Dokter Julio sembari melirik Yuka yang terbaring lemah. "Jangan banyak bertanya dan periksa saja dia. Jangan sampai ada siapapun yang tahu, jika kami berada di kos-kosan petak ini. Terutama keluargaku, jangan sampai mereka tahu." aku tak ingin siapapun tahu masalah rumah tanggaku. "Baik Tuan." Dokter Julio mengangguk paham dan langsung memeriksa kondisi kesehatan Yuka dengan teliti. Setelah memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Yuka, Dokter Julio memeriksa d**a dan juga perut Yuka dengan stetoskop. Julio juga mengukur tensi darah Yuka. "Gejala apa saja yang anda rasakan, Nyonya?..." tanya Julio pada Yuka. "Pusing, dingin, dan mual," jawab Yuka. Aku sendiri tak tahu Yuka sakit apa. "Rasa pusing di kepala istri anda itu disebabkan karena Dia kekurangan darah, dia juga kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran. Tolong pola makannya dijaga dan Jaga kondisinya agar tidak stress. Untuk menambah darah perbanyak minum teh manis. Saya akan memberikan penambah darah, pusing dan demam untuk istri anda. Obatnya di minum 1 hari 4 kali setelah makan, kalau yang ini di minum sebelum makan." "Kalau begitu saya pamit pulang dulu." Setelah memberikan obat padaku, Dokter Julio pamit pulang bersamaan dengan makanan online yang ku pesan juga tiba. Aku memberikan bubur pada Yuka. Wanita itu kesulitan untuk duduk, aku pun terpaksa membantunya menyandarkan punggungnya pada dinding yang sudah di lapisi bantal, supaya ia lebih nyaman dalam posisi duduk. Kami pun mulai makan dalam diam. Aku makan nasi goreng, Yuka makan bubur ayah. Aku melirik Yuka karena teringat pernyataan yang Dokter Julio utarakan, bahwa di sedang stres. "Apa yang membuat kamu stres?..." tanyaku tiba-tiba pada Yuka. "Kamu." jawab Yuka singkat, tapi mampu menembus hatiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD