ARON BERSAMA WANITA ASING

1661 Words
"Maaf, Ron. Ini salahku, bukan salah Yuka. Tadi Yuka hampir jatuh. Aku cuma mau bantu," Mas Gery berusaha membelaku dari kemarahan Mas Aron. "Alasan, pergi kau dari sini!" Sentak Mas Aron seraya mendelik tajam lalu mengibaskan tangan mengusir Mas Gery. "Yuka, aku pulang dulu!" Mas Gery menatapku dengan iba. Ia pun berlalu pergi meninggalkan diriku yang masih bersimpuh di tanah. Malu rasanya, di perlakukan dengan buruk di hadapan pria yang dulu pernah melamar diriku, tapi malah aku tolak demi pria yang kini menghinaku. "Jangan jadikan rumahku tempat untuk berzina!" tuduh Mas Aron dengan kejam. Ia menatapku dengan tajam, bagai pisau yang siap menguliti tubuhku. "Jangan bicara sembarangan kamu, Mas." Aku berusaha berdiri meski kakiku masih terasa kram. "Aaawww." Aku kehilangan keseimbangan dan mulai ambruk, tapi Mas Aron dengan sigap memelukku yang hampir terjatuh karena tak mampu berdiri dengan benar. "Nggak usah akting." Mas Aron memutar mata malas, ia kira aku sudi di sentuh olehnya. "Aku nggak nyuruh kamu untuk percaya." Aku mendorong d**a Mas Aron, lalu berpegangan di sandaran bangku taman. Aku lebih memilih duduk di bangku daripada harus bersentuhan dengan pria arogan yang berdiri di depanku. "Jaga sikapmu selama menjadi istriku. Jangan sampai kau mencoreng reputasi keluargaku. Jika sampai itu terjadi, aku akan menendangmu keluar dari rumahku." Mas Aron mendengus kesal. "Apa kamu tidak salah bicara, justru sikapmu yang semena-mena pada istri yang akan mencoreng reputasi keluargamu." Aku membalas ucapan Mas Aron yang sangat keterlaluan, ia bicara seolah aku ini adalah wanita jal@ng. "Pantaskah wanita sepertimu disebut sebagai istri?" Mas Aron menaikkan sudut alisnya. Sebenarnya apa salahku sampai Mas Aron sangat membenciku. Jika tak menyukai perjodohan ini, kenapa tak menolaknya. "Kenapa tidak kau ceraikan saja aku, Mas, daripada kamu terus-terusan menghinaku!" Aku sudah tidak tahan lagi, Mas Aron bicara seolah aku ini patung yang tak memiliki perasaan. Patung yang bisa ia injak sesuka hatinya. "Belum waktunya!" jawabnya ambigu. "Sampai kapan?" tanyaku yang sudah tak sabar ingin menjadi jandanya. Pengadilan bisa saja membatalkan status jandaku jika Mas Aron menceraikan aku dalam keadaan masih perawan. Pengadilan akan menganggap pernikahanku batal, dan aku tetap berstatus lajang. "6 bulan lagi," jawab Mas Aron tanpa ekspresi. "Dan saat itu, aku berharap kamu akan menyesali segalanya, Mas." "Jangan pernah bermimpi." Mas Aron berlalu pergi meninggalkan aku seorang diri di taman. *** Setelah makan malam selesai, aku membantu art membereskan meja makan. Ketika aku kembali ke kamar, kulihat Mas Aron sudah terlelap di atas ranjangnya. Tak sengaja aku melihat tumpukan kertas HVS dan pena di atas meja yang ada di samping ranjang Mas Aron. Aku berpikir akan membuat surat lamaran kerja saat ini. Alat tulis yang di perlukan sudah ada, tinggal membuat surat permohonan kerja saja dan fotocopy ijazah dan KTP, serta fotoku ukuran 3x4. "Pelac*r s****n, kau menipuku. Aku jijik padamu." Saat aku mengambil alat tulis yang ada di meja, Mas Aron mengigau. Entah pelac*r mana yang dia maksud. Apakah suamiku pernah menjalin hubungan dengan wanita panggilan. Kupandangi wajah suamiku, dia sangat tampan saat tidur. Siapa yang akan menyangka jika ia memiliki sifat yang arogan. Aku menulis surat permohonan kerja sampai larut malam, tanpa terasa aku malah tertidur di lantai. Pukul 3 pagi aku terbangun dengan tubuh yang terasa kaku. Aku pun bergegas masuk ke kamar mandi. Setelah 20 menit berlalu, aku selesai membersihkan diri. Aku baru sadar jika aku tak membawa baju ganti. Terpaksa aku harus memakai baju yang tadi ku pakai. Namun, karena kurang hati-hati pakaianku malah jatuh ke lantai yang basah. "Ck." Aku berdecak kesal. Hanya ada handuk bersih milik Mas Aron di kamar mandi. Si empunya sedang tidur, tidak apalah aku pinjam sebentar. Handuk melilit di tubuhku, hanya di atas d**a sampai di bawah panggul. Handuk ini terlalu kecil. Aku membuka pintu dengan perlahan, kuhembuskan napas lega saat melihat Mas Aron masih tidur. Dengan langkah tergopoh-gopoh aku berjalan menuju ke lemari. Buru-buru aku mengambil baju ganti sebelum Mas Aron bangun. "Kau sengaja menggodaku, ya!" Suara bariton di balik punggungku mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang, Mas Aron memandangku dengan dingin, tatapannya sangat tajam. Aku gugup setengah mati, bagai tersangka yang ketahuan mencuri. Terakhir berpakaian seksi, ia menghinaku habis-habisan. "Jangan memandangku begitu kalau tidak mau tergoda, kecuali jika aku memang menarik di matamu." Kubalas ucapan Mas Aron dengan berani. Benar saja, matanya langsung mendelik. Gegas aku kabur ke kamar mandi sebelum ia kembali menyemburkan kata-kata yang mengandung bara api. *** Pukul 8 pagi, aku tiba di rumah baru Mas Aron. Entah kerasukan apa Mas Aron sampai mau membawakan tas-ku yang sangat berat. "Ini kamarku." Mas Aron menunjuk kamar di bawah. "Kau bisa tidur di lantai atas." Mas Aron menunjuk tangga lantai atas, lalu meletakkan tas-ku di ujung tangga paling bawah. "Hum." Aku mengangguk. "Tugas kamu di sini membersihkan rumah dan memasak untukku. Aku tidak mau melihat rumah ini kotor ataupun berantakan." "Iya." Aku mengangguk pelan. "Ingat, jangan pernah membawa laki-laki masuk ke rumahku, atau aku akan menendangmu keluar dari rumah ini." Mas Aron mengancamku dengan tatapan mengintimidasi. Belum lima menit memasuki rumah Mas Aron, lagi-lagi pria itu membuat hatiku semakin membeku. "Nggak perlu nunggu aku bawa laki-laki, Mas. Aku keluar sekarang juga. Bisa darah tinggi aku punya suami kayak kamu." Aku menjinjing tas-ku, lalu berbalik. "Mau kemana kamu?" Mas Aron menarik tanganku yang sudah beranjak. "Mau pergi, sesuai dengan keinginanmu." Balasku dengan nada ketus sembari menghentakkan tanganku dengan kasar hingga Mas Aron melepas cekalan tangannya. "Jangan aneh-aneh, kau mau orang tuaku syok." Wajah garang Mas Aron mulai melunak. "Kalau kamu bisa bersikap baik, aku nggak akan ngelunjak." Balasku dengan nada ketus. "Ok, maaf ... sekarang istirahat 'lah." Mau lari kemana aku, di Jakarta tak memiliki saudara. Aku mulai menapaki satu persatu anak tangga. Begitu sampai di lantai atas, ruangan kosong bagai tempat tak berpenghuni. Tak ada satu pun perabotan rumah tangga. Ada tiga pintu, aku tak tahu di bagian mana kamarku. Kubuka satu-persatu pintu, 2 di antaranya terkunci. Sisa satu pintu yang belum di buka, berarti itu kamarku. Kubuka pintu itu dengan perlahan, kamarnya sangat luas dan rapi, mungkin Mas Aron sudah mempersiapkan segalanya. Aku memindahkan semua pakaianku ke dalam lemari. Dengan uang yang kupunya, aku naik angkutan umum dan mencari pekerjaan hingga siang pun tiba. Aku menaruh surat lamaran kerja di beberapa tempat. Kutahan lapar demi menghemat pengeluaran, aku hanya membeli gorengan di pinggir jalan untuk mengganjal perutku yang lapar. Aku ingin cepat mengumpulkan uang supaya bisa terbebas dari Mas Aron. Aku memasuki cafe yang cukup ramai, mungkin di sana aku bisa mendapatkan pekerjaan. Baru saja memasuki cafe, aku malah melihat pemandangan yang membuat mata dan hatiku perih. Apakah ini alasan yang membuat Mas Aron memperlakukanku dengan sangat buruk. Dia bilang akan pergi ke kantor, nyatanya ia malah berpelukan dengan seorang wanita. Mas Aron tak sengaja melihatku, ia lekas melepaskan wanita itu. Bukannya memberi penjelasan dan minta maaf padaku, ia malah duduk di cafe dengan wanita itu tanpa rasa bersalah. Aku kembali memakai masker yang sempat ku buka untuk menghirup udara segar, lalu menghampiri Mas Aron dan wanita yang mungkin adalah selingkuhan Mas Aron. "Boleh saya duduk di sini? Tempat yang lain sudah penuh," pintaku pada wanita itu yang duduk di samping Mas Aron. "Silahkan." Malah Mas Aron yang mempersilahkan aku duduk. Ia mengamati wajah senduku dengan ekspresi dingin. Mataku sudah berkaca-kaca. Dadaku terasa sesak, aku bisa saja meledak jika di siksa begini terus menerus. "Kamu kenapa? Apa kamu punya masalah?" tanya wanita yang duduk di sebelah suamiku. Mungkin kesedihan di wajahku tergambar jelas hingga wanita itu bisa menebaknya, apalagi mataku sudah berkaca-kaca. "Iya, aku memiliki suami yang sangat k**i. Dia memperlakukanku dengan sangat buruk dan juga suka menghinaku, ternyata dia juga tukang selingkuh," jawabku, tatapanku lurus tertuju pada Mas Aron. Sebelah alis Mas Aron menukik ke atas sembari tersenyum sarkas. "Yang sabar, ya!..." Wanita itu coba menghiburku dengan mengusap punggung tanganku. Sepertinya, ia tak tahu jika aku istrinya Mas Aron, atau bisa jadi wanita itu tak tahu jika Mas Aron adalah pria beristri. Jika aku mengakui Mas Aron adalah suamiku, bisa jadi Mas Aron akan bersikap lebih semena-mena padaku. "Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku pada wanita itu sembari melirik Mas Aron, memberi isyarat bahwa yang aku maksud adalah Mas Aron. "Kalau aku jadi kamu, aku akan ceraikan dia. Kubuang dia jauh-jauh, kalau perlu ke laut supaya di makan ikan hiu. Buat apa mempertahankan laki-laki yang bisanya hanya menyakitkan hati. Masih banyak 'kok pria baik di dunia ini. Contohnya, pria di sampingku ini," jawab wanita itu dengan semangat. Ia tak tahu bahwa pria yang dia maksud adalah Mas Aron. "Terima kasih sudah mau menampung ceritaku. Semoga kamu mendapat suami yang baik, bukan suami k**i dan tukang selingkuh seperti suamiku," Aku sengaja menyindir Mas Aron sambil meliriknya. "Doakan saja semoga hubungan kami langgeng sampai pernikahan," ucap Mas Aron seraya tersenyum bahagia. Mas Aron menatap wanita itu penuh cinta. Ia sengaja memanas-manasi hatiku, mungkin karena aku mengatakan bahwa Mas Aron tukang selingkuh. Hatiku sakit sekali, Mas Aron terang-terangan selingkuh di depanku. Ia sengaja membuat hatiku semakin terbakar, sementara wanita itu nampak terkejut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Mas Aron. "Oya, tugas istri adalah menjaga marwah suaminya, tak sepatutnya anda membuka aib suami anda. Apalagi di depan orang asing yang baru anda kenal!" lanjut Mas Aron, ia menatapku dengan dingin. Aku mengambil gelas berisi jus dan melemparnya ke wajah Mas Aron. Aku sendiri terkejut, kenapa aku bisa seberani ini melakukannya. Tanganku seperti bergerak sendiri, mungkin saking geramnya menghadapi sikap Mas Aron. Mas Aron mengambil sapu tangan di dalam saku celananya, lalu membersihkan wajahnya dengan sapu tangan tersebut, sementara wanita selingkuhan suamiku terperangah menatapku. Sedetik kemudian, ia berdiri kemudian meneriaki diriku. "Kau sangat keterlaluan! Padahal apa yang Aron katakan itu benar." "Biarkan saja, mungkin dia sedang PMS." Mas Aron merentangkan tangannya, menghalangi wanita itu yang terlihat ingin menyerangku. Aku bangkit dari kursi dan melangkah pergi menjauhi Mas Aron dan wanita selingkuhannya. Air mataku sudah jatuh dan aku segera mengusapnya, takut jadi bahan tontonan para pengunjung. "Wanita itu keterlaluan, pantas saja suaminya selingkuh. Dia kasar begitu." Samar-samar aku masih bisa mendengar wanita itu memaki diriku. Tak tahukah sesakit apa hatiku saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD