INTROGASI

1219 Words
"Nak Gery, kemari 'lah sarapan bersama kami." sapa ayah mertuaku dengan ramah. "Iya, Om." Balas mas Gery seraya mengangguk kecil dan tersenyum. Ia menarik kursi dan ikut bergabung di meja makan. Kami semua makan dalam diam, hanya dentuman sendok yang beradu dengan piring mengisi kesunyian di meja makan. "Bunda, nanti sore aku sama Yuka mau pindah ke rumah yang baru kubeli." Mas Aron memecah keheningan di meja makan. "Kenapa buru-buru sekali, Nak!" keluh Bunda Rindu yang tak lain merupakan ibu kandung dari Mas Aron. Wanita paruh baya itu terlihat keberatan jika harus hidup berjauhan dengan putranya. "Kami sudah sepakat untuk hidup mandiri, Bunda." Sahut Mas Aron sembari menyeduh kopi di hadapannya. "Kalian besok saja pindahannya, biar nanti berkemasnya dibantu sama Bi Tarni!" tawar Bunda Rindu dengan tatapan penuh harap. "Kasihan Mamamu. Turuti saja permintaannya." Ayah Ashraf ikut menimpali. "Iya, Bunda," Jawab Mas Aron lesu. Mas Gery duduk tepat di depanku, ada meja makan di tengah-tengah yang memisahkan kami. Aku menunduk sembari mengunyah makanan. Dari sudut mataku, aku tahu Mas Gery diam-diam memperhatikan aku. Melihat Mas Gery mengingatkanku pada kejadian tahun lalu, hari pertama kali kami bertemu. *** FLASH BACK ON Mas Gery adalah anak kepala Desa di kota Bangil. Sejak lulus SMA, ia tinggal bersama dengan pamannya di Jakarta untuk melanjutkan studinya di ibu kota. Setelah lulus kuliah S2, kabarnya ia bekerja di perusahaan besar di bidang perfilman. 1 tahun yang lalu, mas Gery dan ayahnya datang ke pesantren Al-Fitrah dan memberikan sumbangan pada pesantren, untuk pembangunan dan juga beasiswa bagi murid yang berprestasi. Pesantren Al-Fitrah adalah tempatku menimba ilmu. Di pesantren, aku mengabdikan diri pada keluarga kiyai. Aku membantu memasak di dapur, terkadang juga menjaga Gus Goffar, cucunya nyai Hanifah yang masih berusia 4 tahun. Sebagai imbalannya, aku tak perlu membayar biaya pendidikan dan biaya asrama. Selain itu, aku juga bisa lebih dekat dengan keluarga kiyai. Saat itu, aku menjaga Gus Goffar sambil menyuapinya. Bocah kecil itu tiba-tiba saja berlarian ke area pembangunan Madrasah untuk kelas baru. Gus Goffar berlari melewati penyangga yang terbuat dari kayu bambu yang menahan beban bambu di atas. "GUS GOOFFAAAR, AWAAAASSS ..." Aku refleks melempar sendok dan piring di tanganku. Secepat kilat berlari saat Gus Goffar menabrak penyangga kayu bambu yang membuat tumpukan bambu berukuran panjang di atas berjatuhan. Aku memeluk Gus Goffar, membungkuk 90° supaya Gus Goffar terhindar dari benturan kayu, tapi beberapa detik aku menutup mata tak kunjung merasakan sakit apapun. Suara bambu yang berjatuhan tak lagi terdengar. Aku pun membuka mata lalu berbalik, bukan tumpukan kayu yang aku lihat tapi malah wajah tampan Mas Gery yang terpampang jelas di depan mataku. "Astagfirullah." Seketika aku mundur menjaga jarak, karena mata kami terpaku saling pandang dengan jarak yang begitu dekat dalam beberapa detik. Gus Goffar masih berada di dalam dekapanku. Kini terlihat jelas di mataku, Mas Gery menahan tumpukan bambu panjang yang berjatuhan dengan punggung dan kedua tangan yang ia rentangkan di kedua sisi. Para santri yang melihat langsung membantu Mas Gery menurunkan bambu-bambu itu dari punggungnya. "Kamu nggak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanya Mas Gery setelah terbebas dari tumpukan bambu. Aku sendiri tak tahu bagaimana ekspresi wajah Mas Gery saat itu, kerena aku tak berani memandangnya. "Nggak apa, Mas." Aku menggelengkan kapala. Harusnya aku yang bertanya apakah Mas Gery terluka, karena bambu itu jatuh menimpanya. "Terima kasih sudah mau menolongku dan Gus Goffar." "Sama-sama." Ucapnya sembari mengusap kepala Gus Goffar dengan sayang. "Gus Goffar, jangan lari-larian di sini ya, bahaya. Tuh, hampir cedera." Selain tampan, ternyata Mas Gery sangat baik dan ramah. Enam bulan kemudian, aku pulang ke rumah karena mendapat kabar dari ibu kalau Yuli, adikku sakit parah. Aku begitu syok saat ibu mengatakan bahwa Yuli mengidap penyakit kanker dan harus segera dioperasi sebelum kankernya menyebar kemana-mana. Ibu sudah berusaha mencari hutangan ke sana kemari, tapi tak kunjung mendapatkan pinjaman. Hingga 1 minggu kemudian Pak Ashraf dan Bu Rindu berkunjung ke rumah dan melamarku untuk Mas Aron. Sebagai lamaran, Pak Ashraf memberikan uang sebesar 150 juta asalkan aku bersedia menikah dengan Mas Aron. Ibuku yang memang membutuhkan uang, langsung menerima lamaran tersebut tanpa meminta persetujuan dariku. Hatiku hancur, ibu sudah mengingkari janjinya padaku. Aku harus meninggalkan seseorang yang tengah memperjuangkan aku untuk memenuhi semua persyaratan ibu. Satu bulan setelah ibu menerima lamaran dari Bu Rindu, Mas Gery datang ke rumah untuk melamarku. Tentu saja lamaran Mas Gery di tolak mentah-mentah oleh ibu, karena keluarga Pak Ashraf jauh lebih dari segalanya jika dibandingkan dengan Keluarga Mas Gery. Ibu selalu membangga-banggakan calon mantunya yang kaya raya pada tetangga dan kerabat, tak peduli dengan sakit hati yang kudera. FLASH BACK OFF Usai sarapan, aku kembali ke kamar karena sudah tidak ada pekerjaan rumah lagi yang bisa aku kerjakan karena semua sudah ditangani oleh asisten rumah tangga. Aku bingung mau melakukan apa di rumah asing yang sebesar ini. Aku berasal dari desa Bangil. Tak memiliki sanak saudara di kota Jakarta. Kesendirian ini membuatku bingung bagaimana cara mencari pekerjaan di kota sebesar ini, sedangkan aku tak memiliki kenalan dan juga tak memiliki pengalaman dalam bekerja. Apalagi hanya berbekal ijazah SMA. Meminta petunjuk pada mertuaku rasanya mustahil. Apa kata mereka nanti, suami kaya tapi masih saja bekerja. Pintu kamar terbuka saat pikiranku sibuk berkelana. Melihat wajah Mas Aron membuat jengah. Berdua dengan Mas Aron di kamar membuat semangat hidupku semakin memburuk. Lebih baik pergi daripada lama-lama berduaan dengan suami yang bisanya menjadi menggoreskan penyakit hati. "Mau kemana?" Tanya Mas Aron, saat aku melewatinya dan membuka pintu. "Cari udara segar, di sini panas." kehadiran Mas Aron membuat atmosfir di kamar ini terasa panas. "Jangan buat masalah!" ujar Mas Aron dengan sarkas. "Kamu biang masalahnya." Aku pun bergegas pergi, malas berdebat dengan suami yang merasa dirinya paling benar dan suci. *** Duduk di bangku taman menjadi pilihanku. Menikmati terpaan angin sejuk dan siulan burung berirama bagai musik, menjadi hiburan tersendiri untuk menjernihkan pikiranku. Ku-urut pelan-pelan pahaku karena kakiku tiba-tiba kesemutan. "Kamu apa kabar?" sapa Mas Gery. "Eh, Mas Gery!" Aku sedikit terkejut saat Mas Gery tiba-tiba muncul di depanku. "Maaf, ya! Aku nggak bisa hadir di pesta pernikahan kamu dan Aron." "Nggak apa, Mas." Aku memainkan ujung kerudungku dengan jemari tangan karena canggung berduaan dengan Mas Gery, untung saja ini ruangan terbuka dan masih ada penjaga gerbang dan tukang kebun yang sedang berkebun. "Apa Aron memperlakukan kamu dengan baik?" "Alhamdulillah, Mas Aron sangat baik padaku, Mas." Meskipun Mas Aron bersikap buruk padaku, aku tak mungkin membuka aib suamiku di hadapan orang asing. Sebab aib suami adalah aib istri. Ingin sekali aku kabur dari tempat ini karena tak ingin Mas Gery terus mengoreksi pernikahanku, tapi kakiku yang kesemutan tak bisa diajak kompromi. "Maaf ya, kalau aku terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kamu. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku ingin kamu bahagia. Aku khawatir Aron akan memperlakukan kamu dengan buruk, mengingat image Aron selama ini sangat buruk." "Mas, jangan khawatir. Aku bahagia 'kok jadi istrinya mas Aron." Aku berdiri dari bangku untuk menghindari Mas Gery. Sialnya, kakiku yang kesemutan tak mampu menahan berat tubuhku, hingga aku terhuyung jatuh. Namun, Mas Gery dengan sigap menangkapku hingga aku ke dalam pelukannya. "s****n, kau! Dia istriku." Mas Aron tiba-tiba muncul dan berteriak dengan suara lantang seraya mendorong Mas Gery. Aku pun jatuh di atas rerumputan saat Mas Gery melepas pelukannya. Jika aku bisa memilih, lebih baik aku jatuh ke tanah daripada tersentuh oleh pria yang bukan mahramku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD