TUGAS SUAMI ISTRI

1234 Words
"Aku istrimu, mas. Bukan pembantu. Menafkahiku adalah kewajiban kamu sebagai seorang suami." Ya Allah, hatiku sakit sekali. Aku berucap dengan hati perih teriris. Namun, sekuat mungkin aku berusaha menahan air mataku. Jika dia hanya butuh pembantu, kenapa malah menikahi diriku. Andaikan aku memiliki banyak uang untuk mengganti uang dari ayah mertuaku, detik ini juga aku akan menggugat cerai suamiku. "Andaikan aku tahu sejak awal wanita seburuk apa yang aku nikahi!... Hah, percuma di bahas, semua sudah terlanjur." dia mencebikkan bibirnya ke bawah sembari mencubit dagunya sendiri, matanya memindai tubuhku dari bawah hingga ke atas, menilaiku dengan tatapan cemooh. Wajahku tidak seburuk yang ia katakan, kulitku putih bersih, aku memiliki hidung mancung dan bibir kecil, namun berisi. Mataku bulat, tapi sayu khas orang bangun tidur, serta di tumbuhi bulu mata yang lentik. Tapi, baginya masih kurang. Apa dia ingin menikahi bidadari! Mana sudi bidadari menikah dengan pria culas seperti dia. "Tidak ku sangka, aku menikah dengan wanita martre. Kau menikah denganku hanya karena harta." Hanya sakit hati yang aku rasakan setiap suamiku menyemburkan kata-kata pedas yang membuat hatiku terbakar. Aku menikah dengannya memang karena uang, tapi aku terpaksa menerima tawaran pak Ashraf demi biaya pengobatan adikku. Aku beranjak dari sofa, lebih baik keluar dari kamar daripada harus berduaan di dalam kamar bersama dengan pria k**i seperti mas Aron. Aku menggerutu sembari melangkah ke arah pintu, "Lucu sekali, dia sholat dan pandai mengaji, tapi sayang tidak tahu tugas dan kewajiban sebagai seorang suami. Sifatnya berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya." Hanya tinggal 3 langkah saja kakiku mencapai daun pintu, tiba-tiba saja mas Aron menarik tanganku hingga tubuhku terpelanting membentur dadanya. Posisi kami sangat dekat, jarak diantara kami terkikis habis. Tatapannya begitu tajam mengintimidasi diriku, rahangnya mengeras, dadanya kembang kempis. Jelas karena ia sedang marah. "Kamu marah, padahal aku tak sekasar dirimu!" ucapku, lalu memalingkan wajah saat hembusan napasnya menerpa wajahku, wajah kami semakin dekat. "Kau marah hanya karena semalam aku menolak untuk menidur!mu?..." satu alis mas Aron menukik ke atas, tatapannya begitu dingin. Sikap dan ucapan mas Aron semakin membuatku muak. Menyesal semalam aku memasrahkan diriku untuk ia sentuh, jika sebagai balasannya ia malah menganggapku sebagai wanita murah@n. "Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang istri." aku ingin dia tahu bahwa aku bukan wanita gatal yang ingin merayunya. "Dan sekarang kau mau mengajariku bagaimana cara menafkahimu!... Ok, kita mulai dengan nafkah batin dulu," bisik mas Aron dengan frontal di telingaku. Aku pun terbelalak, bulu kudukku seketika langsung merinding. Mas Aron menarik tanganku hingga kakiku terseret mengikuti langkahnya yang berjalan menuju ke arah ranjang. "Lepasin, mas ... Aku nggak mau." aku meronta berusaha membebaskan diri. Sedetik kemudian tubuhku terasa melayang saat terlempar. Begitu tersadar, aku sudah ada di atas ranjang. "Bukan 'kah ini yang kau inginkan!" cetus mas Aron. Aku beringsut mundur, tapi ia malah menarik kakiku yang terus memberontak. "Mas, kamu mau apa?" aku panik saat mas Aron mulai menarik rok yang aku kenakan ke bawah. Setelah hinaan yang ia berikan, aku tidak sudi melayaninya lagi. Sekuat tenaga aku mencengkram rok bagian atas supaya tak terlepas. "Bukan 'kah kau kecewa dan marah karena aku tidak menafkahimu dengan benar!" mas Aron menarik rok yang ku kenakan dengan kencang. "MAAAASSS ..." aku berteriak dengan sangat keras saat mas Aron menarik rok yang ku cengkram dengan kuat hingga turun sampai di pertengahan paha. Air mata yang sejak tadi ku tahan akhirnya mengalir di sudut mataku. "Apa yang kau lakukan!... Teriakanmu bisa mengundang keluargaku kemari!..." desis mas Aron dengan geram. Ia mulai menjauhiku, rupanya teriakanku berhasil membuat nyalinya ciut. "Aku mengharamkanmu menyentuhku, mas!" ucapku di iringi isak tangis. Tanganku menaikkan rok-ku yang melorot ke atas. "Tidak ada yang menarik darimu, Yuka Khairunnisa. Sekarang hapus air matamu dan bersihkan wajahmu ke kamar mandi. Setelah itu kita sarapan bersama. Ingat! Jangan mengadu hal yang tidak-tidak pada orang tuaku," desis mas Aron. Ia sudah menyakiti diriku, masih saja mengancamku. "Apa salahku sama kamu, mas?... Kalau tidak bisa berbuat baik padaku, setidaknya jangan berbuat kasar padaku!..." setelah mengutarakan keluhan di hatiku, aku berlari kecil ke kamar mandi sambil menyeka air mata yang terus mengalir. Aku berdiri di depan cermin, membasuh wajahku yang penuh dengan linangan air mata. Bukannya tak mau menjalankan tugasku sebagai seorang istri, tapi hatiku menolak untuk melayani suami yang terus saja menghinaku. "Mas, maafkan aku yang tak bisa menunggumu." tangisku pecah saat pikiranku melayang jauh ke masa lalu, kenangan itu terus berputar-putar seperti kaset rusak. Beruntung ketukan pintu dari luar mengalihkan pikiran buruk yang baru saja melintas di hati dan pikiranku. "Yuka, kenapa lama sekali? Kamu masih hidup 'kan! Jangan bunuh diri di rumahku. Pelaku bunuh diri akan kekal di dalam neraka." pertanyaan macam apa itu, sangat mengesalkan. Aku ini istrinya, tapi ia tak sedikitpun bisa bersikap lembut padaku. Aku segera membasuh muka, dan segera membuka pintu. "Jangan khawatir, aku masih punya iman walau hanya secuil." ucapku dengan nada tegas saat berhadapan dengan mas Aron. Ada yang berbeda dari tatapan matanya, sorot matanya terlihat lebih teduh di banding tadi. Mas Aron menatapku dengan tatapan tak terbaca, seperti ada penyesalan di matanya. "Sudah waktunya sarapan, ayah sama bunda pasti sudah menunggu kita." mas Aron berbalik dan berjalan mendahuluiku. Aku manusia biasa, butuh asupan makanan. Aku pun berjalan mengekor di belakangnya sembari berpikir mencari pekerjaan karena aku tak ingin mas Aron terus menerus menginjak harga diriku. "Jalanmu lelet sekali, seperti bekicot." ejeknya saat berbalik dan menatapku dengan tatapan jengah. Aku pun mempercepat langkahku. Mas Aron menggenggam tanganku begitu aku sampai di sampingnya. "Jangan sentuh aku." aku berusaha melepaskan tangannya. Namun, cengkraman tangan mas Aron semakin erat. "Jangan membuat keributan di hadapan ayah sama bunda." tegas mas Aron. Tanganku mulai melemah dan menurut karena tak ingin membuat keributan di hadapan keluarga suamiku. "Assalamu'alaikum, Yuka." ibu mertuaku mengucap salam begitu aku dan mas Aron tiba di meja makan. "Wassalamu'alaikum." aku tersenyum tulus pada wanita yang wajahnya tertutup cadar itu. Wajahnya pasti cantik, terlihat dari matanya yang indah, serta hidung mancung yang membuat cadarnya menonjol. "Sayang, ayo duduk," ucap mas Aron setelah menarik kursi untukku duduk. Keningku berkerut karena bingung! Apa aku tidak salah dengar! Mas Aron memanggilku 'Sayang'. Karena aku hanya diam saja, mas Aron menuntunku hingga aku terduduk di kursi. "Nak Yuka, kenapa tadi kamu teriak? Apa Aron menyakiti kamu?" tanya ibu mertuaku to the point sembari melirik mas Aron dengan tatapan penuh selidik. "Bunda, istriku pasti malu 'lah di tanya begitu!..." jawab mas Aron sembari menuang nasi ke dalam piring. "Tuh, kan! Kepalanya sampai menunduk begitu." "Sayang, lauknya ikan laut atau ayam goreng?" tanya mas Aron dengan nada lembut. Aku sendiri bingung! Mas Aron sebenarnya berbicara dengan siapa! "Yuka sayang, kamu mau lauk yang mana?" tanya mas Aron lagi dengan nada suara yang lebih tinggi, tapi sangat lembut. "Terserah, mas aja." putusku akhirnya. "Namanya juga pengantin baru, masih malu-malu," sahut ayah mertuaku yang membuat semua orang di meja makan tersenyum penuh arti. Aku menunduk bukan karena malu, tapi sangat kesal dengan senyum palsu yang mas Aron tunjukkan pada semua keluarganya. Sedangkan saat berdua di kamar, dia bersikap kasar padaku, terus saja menghinaku. "Assalamu'alaikum ..." perhatianku beralih pada seseorang yang mengucapkan salam. Aku terbelalak saat melihat mas Gery berdiri di bingkai pintu. Dia pemuda yang beberapa bulan lalu melamarku. Wajah mas Aron seketika berubah dingin begitu melihat keterkejutan di wajahku. "Kau mengenalnya, bukan?" mas Aron berbisik di telingaku. "Kau merindukannya?" Aku menatap mas Aron dengan tatapan bertanya-tanya. Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku? Ada hubungan apa mas Aron dan mas Gery? Kenapa bisa serba kebetulan begini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD