Catatan 7

2116 Words
Dua hari berselang sejak aku menghubungi Sheera, belum ada informasi lebih lanjut yang aku dapatkan. Sebenarnya, data yang diberikan oleh Z sudah lebih dari cukup untuk melakukan pendekatan kepada Zayn, tetapi aku membutuhkan cara masuk yang terlihat alami, sehingga aku meminta Sheera untuk membantuku. Pagi ini, pukul 04.00 pagi aku berjalan kaki menyusuri pesisir dari Seaside Bar ke arah utara melewati pelabuhan penyeberangan. Angin dingin pagi hari yang menerpa daerah pesisir membuatku harus mengenakan pakaian tebal untuk menjaga badan tetap hangat. Dari ujung selatan hingga utara Kota Nelayan, terdampar pantai berpasir hitam yang jika dirawat dengan baik akan menjadi objek wisata yang cantik. Namun sayang, banyaknya sampah membuat pantai di kota ini terlihat kumuh. Di antara pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan ikan, terdapat banyak kapal yang sandar ketika siang hari. Pemandangan yang cantik aku saksikan kala sinar mentari mulai menunjukkan wujud hangatnya di khatulistiwa bersamaan dengan nelayan yang mulai kembali dari aktivitas mereka. Beberapa orang yang berada pada satu kapal, bahu membahu menyandarkan dan menaikkan kapal mereka ke luar perairan. Dalam satu kapal, aku melihat ada tiga orang yang mendorong kapal mereka ke daratan meninggalkan jejak garis lurus dan telapak kaki di belakang mereka. Tubuh kekar para nelayan dipadukan fajar yang mulai menyingsing membuat mataku dimanjakan dengan pemandangan kejantanan para pria di kota yang terkenal dengan hasil laut dan hiburan malam yang merakyat ini. Ketika aku tengah menyalakan rokok menthol kegemaranku untuk menemani pagi hari yang dingin, saku celanaku bergetar pertanda ada seseorang yang menghubungiku. Aku keluarkan ponsel dari saku dan melihat sebuah nama yang telah aku tunggu beberapa hari ini. “Hallo Sheera, ada kabar baik?” sapaku kepada gadis imut di seberang telepon sambil menghisap rokok segarku. “Aku kira kau sedang tidur, Madame, hehehe.” Sheera terkekeh di seberang telepon. “Jika aku tengah tertidur, tidak akan kuangkat telepon darimu, Gadis kecilku. Jangan membuatku datang kepadamu sekarang dan mencubit pipi bulatmu yang menggemaskan itu,” gerutuku yang hanya dibalas tawa renyah dari Sheera. “Kau belum tidur atau baru bangun, Sheera? Dan, kabar apa yang kau bawa padaku hari ini?” “Aku baru pulang kerja, Madame. Tamuku hari ini banyak sekali, badanku lelah, pangkal pahaku terasa sangat ngilu, Uuugh!” Ada suara Noise yang tercipta ketika Sheera selesai dengan kalimatnya. Suara itu terdengar seperti Sheera tengah bergerak untuk merebahkan diri yang membuat ponselnya bergesekan dengan sesuatu. “Pasti lelah menjadi pekerja malam sepertimu, Sheera.” “Kau benar, Madame. Tapi aku membawa kabar baik untukmu,” ucap Sheera dengan antusias seakan melupakan rasa lelah yang ia rasakan beberapa saat yang lalu. “Benarkah? Kabar apakah itu, Sayang?” “Salah satu orang kepercayaanku kenal dengan orang kepercayaan Zayn, dan itu membuatku mengetahui tentangnya. Mulai dari tempat tinggal, pekerjaan, dan segala macam yang lain.” “Baiklah, jika aku ingin berjumpa dengan Zayn, apa yang harus aku lakukan?” “Tidak perlu melakukan apapun, Madame. Biarkan aku yang mengaturnya untukmu. Malam ini datanglah ke Coco Bar, akan kupastikan Zayn hadir di sana.” “Baiklah, aku akan datang ke sana malam ini.” Sheera, seorang pekerja malam yang memiliki relasi luas, mungkin salah satu yang paling luas di Kota Nelayan. Aku mengenalnya lima tahun lalu ketika ia masih berusia 18 tahun. Aku dan Sheera sama-sama dalam keadaan yang kurang beruntung, di mana aku dan Sheera dipekerjakan secara paksa di salah satu rumah bordil di kota ini. Kala itu, aku dibawa dari kota industri ketika dalam sebuah misi penyusupan. Target operasiku hendak membunuhku ketika tahu jika aku berkhianat darinya, namun mengurungkan niatnya dan justru mengirimku ke kota nelayan. Sedangkan Sheera terpaksa dipekerjakan di rumah bordil karena orang tuanya terlilit hutang sehingga Sheera dijual kepada rentenir agar hutang mereka dianggap lunas. Pertemuan mengharukan antara aku dan Sheera di rumah bordil membuatku akrab dengannya. Kala itu, aku mengatakan kepada Sheera bahwa aku ditipu oleh rekanku. Dari awal kenal hingga saat ini, Sheera belum mengetahui identitasku sebagai agen intelijen, dan lebih mengenalku sebagai mafia. Hari demi hari kujalani dengan sangat berat di dalam rumah bordil itu. Setiap hari aku harus melayani pria hidung bel*ng dengan berbagai permintaan aneh mereka. Sheera pun mengalami hal serupa. Selama aku bekerja di tempat itu, aku sama sekali tidak diizinkan untuk melihat matahari yang artinya aku dikurung di dalam tempat itu. Berbeda denganku yang masih dapat berpikir jernih dan mencari jalan keluar di tengah tekanan yang diberikan oleh pihak rumah bordil, Sheera yang masih muda dan polos terlihat sangat tertekan. Badannya kurus kering, wajahnya pucat dan pandangannya kosong. Setiap malam ketika bekerja, Sheera lebih banyak melamun dan menunduk sehingga tidak banyak orang yang tertarik dengannya meski usianya masih muda. Kala siang, Sheera sering menyisakan makanannya, hanya mengambil satu dua suap, dan kembali menyendiri. Keseharian Sheera yang seperti itu membuat pihak rumah bordil marah dan sering memukul Sheera. Aku memilih jalan lain dan memikirkan cara untuk keluar dari sini daripada harus pasrah seperti Sheera. Dibanding terlihat melayani tamu dengan terpaksa, aku memilih untuk terlihat sepenuh hati dan menikmati ketika melayani tamu, mengambil hati mereka dan menggali informasi dari para tamu. Banyak di antara mereka yang datang kembali kepadaku karena merasa senang denganku. Beberapa bahkan hampir setiap minggu mendatangi rumah bordil demi mendapatkan pelayanan terbaik dariku. Dua bulan waktu berlalu, Sheera terlihat semakin kurus dan memprihatinkan. Sebagai seorang manusia yang masih memiliki hati nurani, aku merasa iba terhadap Sheera. Berawal dari rasa kasihan, akhirnya aku mengajari Sheera tentang hal-hal yang seharusnya ia lakukan jika memang ia tidak menyukai berada di tempat ini. Mulai hari itu, Sheera menunjukkan perubahan sikap yang sangat jauh di mana ia sekarang mau menghabiskan makanan dan tersenyum ketika tengah bekerja. Suatu hari, aku dan Sheera merencanakan pelarian dari rumah bordil. Dalam satu bulan, aku meminta banyak tamu untuk datang di satu malam secara bersamaan. Aku juga meminta Sheera yang mulai mendapatkan hati para tamu melakukan hal serupa. Pada hari yang ditentukan, semua tamuku dan Sheera datang hampir bersamaan. Sebelum memulai skenario yang tersusun, aku dan Sheera terlebih dahulu melayani seorang tamu yang datang di awal waktu untuk menjadi umpan ketika rencana pelarianku dijalankan. Di hari itu, aku dan Sheera sengaja memakai celana, bukan rok, untuk mempermudah melarikan diri. Ketika aku dan Sheera keluar hampir bersamaan setelah melayani tamu yang pertama datang, aku melihat di luar telah banyak pria hidung bel*ng yang menunggu kehadiranku dan Sheera hendak menagih janji. Dan, di sinilah semua dimulai. “Kau bilang aku akan mendapatkan pelayanan istimewa hari ini, mana janjimu?!” “Jangan bilang kau mempermainkanku, dasar Pelac*r!” “Kau bilang malam ini ingin menghabiskan waktu bersamaku, ternyata kau menjanjikan hal serupa kepada pria lain, dasar biad*b!” Seluruh umpatan jelek tertuju kepadaku dan Sheera karena dianggap telah memberikan harapan palsu kepada para lelaki hidung belang. Dengan marah, mereka mulai merusak dan menghancurkan apa yang ada di depan mereka untuk melampiaskan kekesalan. Aku beradu pandang dengan Sheera, dan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari sana, aku dan Sheera bertahan hidup dari jalanan, memungut makanan sisa dari sampah, dan berharap rasa belas kasih dari orang asing yang ternyata tidak dapat didapatkan sama sekali dari Kota Nelayan. Setelah dua hari menderita, Sheera mengajakku untuk mengunjungi rumahnya sebagai jalan terakhir untuk bertahan hidup. Tapi nasib berkata lain, ketika sampai di rumah Sheera, rumah itu sedang ada dalam keadaan terkunci, dan tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Seorang tetangga yang melihat dua orang tengah menggedor pintu, mengenali Sheera dan berkata bahwa orang tua Sheera dibunuh secara keji oleh orang yang tidak dikenal. Badan Sheera langsung bergetar hebat ketika mendengar berita itu. Dia langsung tertunduk lunglai di depan pintu sambil menangis sekencang-kencangnya. Aku mengira jika pembunuhan orang tua Sheera ada kaitannya dengan Sheera yang melarikan diri dari rumah bordil. Aku merasa bersalah telah mengajak Sheera dalam rencana pelarian yang justru memakan korban. “Sheera, maafkan aku. Jika aku tidak mengajakmu melarikan diri, mungkin orang tuamu masih bisa hidup sekarang.” Aku menepuk pundak Sheera perlahan dan ikut menangis di sampingnya. “Tidak, Lilia. Ini bukan salahmu. Pilihanku sendiri untuk ikut dalam rencana pelarianmu. Yang bersalah adalah mereka yang haus akan uang dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya,” sahutnya dengan penuh amarah. Aku membiarkannya menangis hingga semua emosinya keluar sementara aku juga ikut menangis karena Sheera menangis. Jujur ini sedikit konyol, aku menangis karena melihat orang lain menangis. Setelah puas mengeluarkan emosi, aku mengajak Sheera untuk pergi ke pusat kota. Sheera dan aku berjalan selama hampir lima jam menuju pelabuhan penyeberangan. Di sana, aku dan Sheera menunggu truk pengangkut bahan mentah dari Kota Agrari yang akan berjalan menuju ke Kota Industri melewati pusat kota. Dua jam aku dan Sheera menunggu hingga akhirnya sebuah truk bermuatan sabut kelapa berbaik hati mau mengangkut dua orang berpakaian minim yang kumuh, namun dengan syarat aku dan Sheera harus naik di bagian belakang di atas tumpukan sabut kelapa. Karena tidak memiliki pilihan lain, aku menyanggupi syarat itu dan mengajak Sheera untuk naik ke bak belakang. Dinginnya angin sore menemaniku dan Sheera beristirahat sejenak di atas truk beralaskan tumpukan sabut kelapa yang keras dan gatal. Sheera yang tidak terbiasa dengan lingkungan keras terlihat beberapa kali menggaruk seluruh badannya sambil mengeluh dan menangis. Meski begitu, tidak sekalipun terucap kata menyerah dari bibirnya. Meski Sheera merasakan sesuatu yang menyiksa, tetapi dia tidak ingin berhenti di tengah jalan. Langit jingga telah berubah menjadi gelap dengan sedikit kemerahan karena polusi cahaya dan udara yang cukup pekat ketika aku dan Sheera sampai di pusat kota. Truk pengangkut sabut kelapa yang aku tumpangi berhenti di sebuah pos pengisian bahan bakar dan memintaku untuk turun di sana. Aku sangat bersyukur bertemu dengan orang baik yang mau mengantarku tanpa imbalan apapun. Dari sana, aku dan Sheera kembali berjalan dengan perut lapar hingga dini hari dan sampai di sebuah kompleks apartemen elit di pusat kota. Aku mengajak Sheera untuk naik ke lantai atas memasuki salah satu unit apartemen di tempat itu dan bertemu dengan seseorang yang aku yakin dapat membantuku. Beruntung, tuan rumah sedang ada di tempat sehingga aku langsung disambut dengan hangat. Jacob, adalah orang yang menyambutku dan Sheera di pusat kota. Aku tidak ingin mengajak Sheera untuk bertemu dengan The Barista karena tidak ingin ia tahu jika rekan kriminalnya adalah seorang agen intelijen sehingga aku meminta bantuan Jacob. Ketika masuk ke dalam kediaman Jacob, aku segera meminta Sheera untuk membersihkan diri di kamar mandi selagi aku mencoba untuk melobi tuan rumah agar mau melatih Sheera menjadi orang yang berguna di masa depan. “Dari mana kau mendapat gadis itu, Madame?” tanya Jacob yang mengajakku berbincang di balkon yang berada di ujung apartemen miliknya. “Ceritanya panjang, Jacob. Aku ingin meminta bantuanmu untuknya. Dia sekarang tidak memiliki apapun dan siapapun. Aku ingin kau melatihnya sehingga ia dapat menjadi agen pribadiku di masa depan. Tetapi jangan sampai dia tahu jika aku adalah seorang agen intelijen. Sejak awal aku bertemu dengannya, aku sengaja tidak meminta bantuan The Barista atau pemerintah.” “Ya... ya… ya… aku paham, Madame. Sekilas aku juga melihat ada sesuatu yang menarik darinya. Baik, untuk Madame-ku tersayang, aku akan melakukan apapun, dan aku percaya pada insting mafia milikmu.” Aku mendengar suara pintu kamar mandi terbuka di tengah perbincanganku dengan Jacob. Sekarang, gadis kumuh yang berjalan bersamaku tadi telah berubah menjadi sosok bidadari yang bersih dan cantik. Perjuangan beberapa hari terbakar matahari bersamaku membuat kulit bersihnya berubah menjadi coklat eksotis, sangat sesuai dengan wajah timur tengah yang ia miliki. Aku berjalan dari balkon menuju ruang tengah di mana gadis manis itu tengah mengeringkan rambutnya sambil berdiri di depan televisi yang menyajikan berita politik. Senyum hangat aku berikan padanya yang menyadari langkahku yang mendekat ke arahnya. “Aku tahu kau sebenarnya sangat cantik, Sheera,” sapaku kepada Sheera yang masih sibuk menggosok rambutnya dengan handuk. “Ah, kau terlalu memujiku, Lilia. Ngomong-ngomong, bagaimana kau dapat mengenal orang kaya seperti ini?” tanya Sheera sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Ah, maksudmu Jacob? Dia adalah sahabat lamaku,” jawabku sambil menoleh ke arah Jacob yang mengikutiku masuk ke ruang tengah. “Mulai sekarang kau akan tinggal dan dirawat oleh Jacob. Tenang saja, Jacob tidak akan berbuat macam-macam kepadamu. Nanti, ceritakan segala hal tentangmu kepadanya. Aku harus pergi dulu ke tempat lain.” Sheera tidak menjawab perkataanku. Mungkin ia masih bingung dan berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Jacob pun tidak mengatakan sepatah kata dan hanya tersenyum tipis ketika mataku melirik ke arahnya sesaat sebelum kulangkahkan kakiku meninggalkan apartemen mewah miliknya. Dua tahun berlalu, Jacob memberikan kabar kepadaku jika Sheera telah kembali ke Kota nelayan dan berhasil membalaskan dendamnya pada rentenir yang menjadikan hidupnya di masa lalu seperti neraka, dan sekarang tengah bekerja sebagai pelayan di Coco Bar. Bukan sebagai pelayan biasa, melainkan orang yang melayani tamu-tamu penting dan menjadi penghubung antar mafia di Kota Nelayan. Tidak heran jika Sheera memiliki relasi yang sangat besar sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD