Catatan 56

1436 Words
Aku dan Jacob saling menatap, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh si pembunuh. Prinsipku, seorang pencuri tidak akan pernah langsung mengaku kepada polisi jika ia mencuri. Aku dan Jacob terdiam, memikirkan apa yang setelah ini harus aku lakukan pada pria yang aku todong dengan pisau yang menempel tepat di lehernya. Aku sedikit menekan pisau yang ada di tanganku lebih dalam pada leher si pembunuh untuk menimbulkan rasa takut yang lebih mencekam lagi di sisi pembunuh di hadapanku. Aku tersenyum sinis, sedikit saja pria ini bergerak, maka pisau yang ada di depan lehernya akan seketika menancap dan membunuhnya. Denyut nadi yang aku rasakan pada tangan si pembunuh semakin terasa cepat, keringat dingin di dahinya semakin deras mengalir. “Aku… aku berkata jujur, aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak pernah membunuh siapapun, tapi aku dapat menunjukkan kepada kalian siapa orang yang membunuhnya,” ucap pria itu terbata. Bola matanya bergerak cepat ke segala arah, pria ini mulai ketakutan dengan pisau yang mulai memberikan goresan tipis pada kulit lehernya. Jacob terus saja menatapku, aku tidak menemukan kebohongan pada ucapan si pembunuh. Aku dapat menarik kesimpulan jika selama tiga hari ini aku dan Jacob mengejar orang yang salah. Aku memutar bola mataku kesal dan kecewa, kesalahan berawal dari aku yang memberikan informasi yang salah kepada Z. Namun aku masih bertanya-tanya, jika memang pria ini yang memesan kamar namun bukan ia yang membunuh Sheera, lalu siapa yang membunuhnya? Bagaimana bisa semua ini terjadi? Aku harus mengorek lagi informasi dari pria yang aku sangka sebagai pembunuh ini, agar tidak salah dalam melakukan eksekusi. Aku mengangguk pada Jacob, memberikan tanda bahwa perkataan pria ini harus didengarkan. Jacob dan aku akhirnya membatalkan niat untuk menghajar pria ini di pelabuhan ikan dan mulai bergeser menuju tempat yang ditunjuk oleh terduga pembunuh. Si terduga pembunuh di sampingku menceritakan kronologi kejadian malam itu kepadaku, sementara Jacob fokus untuk mengemudi. “Aron, namaku Aron jika kalian ingin tahu,” ucap si terduga pembunuh itu memperkenalkan diri. Sebenarnya aku sudah mengetahui namanya sejak awal, namun aku memang malas menyebutkan namanya. Satu hari sebelum kejadian, Aron menerima seorang tamu yang memiliki urusan bisnis dengannya. Sebagai tuan rumah yang baik, Aron menyiapkan tempat beristirahat yang ia rasa paling nyaman untuk dipersembahkan pada tamunya. Aron memilih penginapan yang mungkin terlihat sederhana, namun dekat dengan semua akses hiburan di daerah Kota Nelayan. Sayangnya, bar terbesar di kota ini sedang tutup karena terkena razia narkoba. Aron, orang yang biasa mendatangi bar tersebut merasa kecewa, hiburan malam terbaik di kota ini tidak dapat ia persembahkan untuk tamunya. Karena Aron memiliki nomor telepon Sheera, akhirnya ia menghubungi Sheera dan mengatakan bahwa Aron membutuhkan jasanya dan akan dibayar dengan pantas. Keadaan Coco Bar yang sedang tutup membuat Sheera tidak ragu untuk menerima tawaran pekerjaan di luar. “Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena aku tidak ada di sana,” ujar Aron. Setelah itu Aron mengatakan padaku jika tamunya kembali ke Kota Industri, pagi hari setelah kejadian pembunuhan tersebut. Ketika Aron menyebut kata "Kota Industri," darahku kembali mendidih. Apakah benar semua yang dikatakan Aron? Apakah Aron tidak menipuku? Hanya satu hal yang dapat dilakukan, yaitu membuktikan sendiri perkataannya dengan mendatangi Kota Industri dan inilah yang aku lakukan sekarang bersama Jacob, membawa Aron menemui orang yang membunuh Sheera. Setidaknya, aku mencoba percaya dengan apa yang ia katakan padaku. “Aku mendengar berita pembunuhan itu sehari setelah kejadian, karena temanku tidak memberitahuku sama sekali,” ucapnya membela diri. Empat jam perjalanan yang harus ditempuh dari Kota Nelayan menuju ke Kota Industri tidak membuat badanku lelah. Dendam dan rasa marah pada pelaku pembunuhan Sheera membuat adrenalinku meninggi. Semakin dekat aku dengan si pembunuh yang sebenarnya, semakin mendidih darahku dibuatnya. Sesekali aku melirik ke arah Aron yang terlihat sangat tenang selama perjalanan. “Apa yang sedang berusaha kau sembunyikan, bangs*t?!” batinku yang tidak terima melihatnya tampak begitu tenang. Setibanya di Kota Industri, Aron menunjukkan jalan yang tampak tidak asing untukku. Sebuah gang di sebuah kawasan bawah tanah di Kota Industri. Gang kumuh yang mengharuskanku untuk berjalan kaki, Aron mengarahkan aku dan Jacob untuk menyusuri kawasan itu. Nafasku tiba-tiba menjadi berat ketika melihat Bounti Bar, yang seharusnya sudah tutup karena Max telah tiada, masih berdiri kokoh dan ramai pengunjung. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, melihat dengan seksama ke tempat yang seharusnya sudah runtuh ini. Aneh, sungguh aneh, bagaimana mungkin tempat ini masih ramai dengan pengunjung? Apakah kematian Max palsu? Rasa terkejut membuatku melepaskan Aron dari pengawasan. Beruntung, Jacob segera mengambil alih mengawasi Aron untukku. Suara musik EDM yang kencang, suasana bar yang ramai dengan pengunjung, seakan mengenyahkan kenyataan jika telah terjadi insiden mematikan di tempat ini. Aku menyusuri tempat ini perlahan, memeriksa setiap sudut dari bar ini dan menyadari jika tidak ada yang berubah dari tempat ini sedikit pun. Darahku semakin berdesir, tanganku semakin gemetar, apa yang sebenarnya tidak aku ketahui dari tempat ini? Rasa penasaranku akhirnya terjawab kala melihat Alex, wanita berambut pirang yang merupakan anggota Hook sedang berdiri di belakang bar, mengatur pesanan yang masuk dan melayani pembeli. Aku tersenyum tipis, ternyata tempat ini bukan diurus oleh Max, melainkan telah diambil alih oleh Hook. “Hei, tempat ini masih ramai ya?” sapaku kepada Alex yang sedang sibuk di belakang meja kasir. Satu-satunya yang berbeda dari tempat ini adalah, jika dulu Max menjalankan bar ini sendirian, maka sekarang Alex dibantu oleh seorang bartender yang sama-sama merupakan pria afro seperti Max. Mungkin Alex memang menyukai pria-pria afro seperti itu. “Eh? Wah,Madame Lilia!” Alex berteriak melihatku di tempat ini. “Aku rindu padamu!” Alex merentangkan tangannya padaku, memelukku dari balik meja kasir. “Apa yang membuatmu datang ke tempat ini? Ah benar, aku turut berduka cita atas apa yang menimpa bawahanmu, Madame. Kau pasti sangat kehilangan,” lanjutnya. Aku justru geram mendengar apa yang diucapkan oleh Alex. Wanita kurang ajar yang membunuh Max tepat di hadapanku, sekarang berlagak humanis dengan mengucapkan bela sungkawa. Padahal aku tahu, jauh di dalam hatinya, Alex sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. “Seperti biasa, ada sedikit urusan pribadi yang harus aku lakukan,” jawabku. Aku tetap harus menyembunyikan emosiku yang sebenarnya terhadap Alex, karena aku yakin suatu saat wanita ini akan berguna. “So, what can I get for you today, tamu istimewaku?” Alex tersenyum lebar di depanku. Sebagai seorang kasir, Alex bersikap cukup ramah kepada pengunjung. Meski bagiku Max tetap lebih baik dari Alex. “Virgin Mojito untukku dan…” Aku menoleh ke belakang, ke arah Jacob dan Aron seharusnya ada di tempat ini. Aku melihat ke sekeloling, namun tidak melihat mereka berdua di dalam bar. “Si*l! Ke mana perginya dua orang itu?” gerutuku. “Ada apa, Madame?” Alex sepertinya paham dengan aku yang terlihat kebingungan. “Jangan kau catat dulu pesananku, aku harus mencari seseorang,” sahutku. Tanpa menunggu jawaban dari Alex, aku langsung berlari keluar dari bar. Aku melihat ke kiri dan kanan ketika keluar dari bar, mencari keberadaan Jacob dan Aron. “Sial, tidak ada tanda-tanda kehidupan mereka!” Aku memeriksa ponsel, siapa tahu Jacob mengabariku. Ternyata tidak, Jacob tidak meninggalkan pesan untukku. Aku panik, tidak tahu harus ke mana setelah ini. Aron adalah orang yang menuntunku sampai masuk ke Bounti Bar dan sekarang Aron menghilang bersama Jacob. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, akhirnya aku berjalan lesu menuju ke tempat mobil Jacob terparkir. Entah kenapa tidak terpikir olehku untuk kembali ke Bounti Bar dan justru memutuskan untuk menunggu Jacob di tempat mobilnya terparkir. Cukup lama aku berdiri di luar mobil Jacob sambil memainkan ponsel. Suasana malam Kota Industri tidak terasa dingin, polusi udara di tempat ini benar-benar parah. Di luar ruangan seperti ini pun angin yang berhembus terasa kering dan sesak. Setiap detik terasa sangat lama, entah kapan Jacob akan kembali. Pikiranku mulai mengarah ke sesuatu yang buruk, di mana Jacob sebenarnya saat ini sedang bertarung dan tidak dapat kembali dengan selamat. “Cukup, aku tidak ingin kehilangan lagi!” Aku berusaha menampik pikiran buruk dari kepalaku. “Jacob pasti kembali dengan selamat!” Aku mencoba menanamkan pikiran positif, meskipun rasa takut akan kehilangan masih menghantuiku. Bagiku, sudah cukup aku kehilangan Sheera, jangan sampai aku kehilangan Jacob, satu-satunya orang yang menjadi tempatku berkeluh kesah. Wajahku mulai pucat, pikiranku mulai gelisah. Rasa khawatir yang aku rasakan semakin kuat. Ingin rasanya aku berlari mencari Jacob, tapi kemana aku harus mencarinya? Kota Industri bukanlah tempatku berada sehari-hari, aku tidak memiliki informasi apapun tentang Jacob di tempat ini. Kota Industri adalah satu dari beberapa tempat di mana aku tidak memiliki informan pribadi, sehingga aku tidak dapat meminta bantuan kepada siapapun. Aku hanya dapat berharap dan berdoa semoga pria yang menjadi “rumah” bagiku itu tidak memiliki nasib yang sama dengan Max.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD