Catatan 25

1589 Words
“Sebenarnya, apa yang membuatmu menerima misi yang kau jalani sekarang, Madame?” tanya Jacob saat memberikan koper yang terisi penuh dengan uang pecahan 100 dolar kepadaku. “Tidak ada, aku hanya iseng awalnya. Aku juga tidak menyangka ternyata kasus ini akan menjadi menarik,” jawabku setelah koper itu berpindah tangan kepadaku. “Jangan membuatku tertawa, kau bukan tipe orang yang menerima misi karena tidak ada kegiatan.” Jacob melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja miliknya. Aku mengikuti langkah Jacob dari belakang. “Aku bersungguh-sungguh, Jacob. Awalnya aku menerima misi ini karena sedang tidak melakukan apapun di Belgia. Tapi…” Aku menghentikan langkahku. Jacob ikut menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. “Kenapa hari ini kau sering sekali memotong kalimat, Madame?” Jacob terlihat kesal. “Maafkan aku, aku masih belum bisa sepenuhnya menjadi diriku hari ini.” Aku melanjutkan langkahku, lalu duduk di sofa yang ada di ruang tengah. “Kau tahu? Ini adalah kali pertama aku kembali ke Pusat Kota sejak hari itu, hari di mana Nugraha keluar dari The Barista. Aku berpikir jika ini adalah kesempatanku untuk memperbaiki semua yang telah rusak.” Jacob ikut merebahkan diri di sampingku, kakinya ia naikkan ke atas meja yang ada di depan sofa. “Mungkin jika kau bersikap lemah di depanku, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu, karena aku sudah mengenalmu sejak buah dad*mu belum tumbuh. Tapi kau harus ingat untuk selalu bersikap selayaknya Madame Lilia di luar sana.” “Haha, kau benar, Jacob. Dan saat aku pertama kali bertemu denganmu dulu, rambut di kepalamu juga masih hitam mengkilap, belum banyak rambut berwarna putih seperti saat ini.” Aku tersenyum getir. “Benarkah? Rambutku sudah banyak yang berwarna putih?” Jacob menarik beberapa helai rambutnya. Matanya melihat ke atas, meski ia tahu jika ia tidak dapat melihat rambutnya sendiri jika tidak melalui cermin. Kerutan di dahinya justru terlihat jelas ketika bola matanya mengarah ke atas, membuat Jacob semakin tidak dapat berbohong dengan usianya. “Aku belum setua itu, Madame,” protes Jacob. “Aku masih sangat mengingat bagaimana kau menemukanku dulu, Jacob.” Ah benar, kejadian 19 tahun lalu, ketika aku berusia 10 tahun. Ketika kecil, aku hidup di lingkungan keras Pusat Kota. Menjadi warga bawah tanah karena kemiskinan, membuatku tidak dapat menikmati masa kecil seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan aku tidak dapat mengenyam pendidikan formal sejak kecil karena tidak memiliki biaya. Orang tuaku hanya seorang buruh rendahan yang bekerja di kantor pemerintah dengan gaji yang tidak layak. Banyak orang-orang kalangan atas di Pusat Kota yang mempekerjakan orang bawah tanah karena menganggap jika orang bawah tanah tidak membutuhkan gaji yang besar, asuransi kesehatan dan fasilitas-fasilitas lain yang biasa didapatkan oleh pekerja dari kalangan atas. Upah yang tidak layak, suasana tempat kerja yang penuh tekanan, diperlakukan secara tidak manusiawi dan sering mendapatkan pelecehan adalah makanan sehari-hari orang tuaku. Aku memiliki seorang… Aku tidak ingin menceritakan orang itu, anggap saja ia tidak pernah ada dalam hidupku. Aku akan menceritakan sesuatu tentang diriku, dan hanya tentang diriku. Masa kecil, aku tidak memiliki banyak teman sebaya, karena di bawah tanah anak-anak harus ikut bekerja membantu orang tua agar dapat bertahan hidup, begitu juga denganku. Aku bekerja sebagai pengantar barang dari seseorang. Namun anehnya, orang yang memberikan barang tersebut tidak mengizinkan aku untuk mengetahui isinya. Setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab jika itu adalah urusan orang dewasa. Ada macam-macam barang yang aku antar, ada barang berbentuk kotak yang cukup besar, ada juga barang yang hanya berupa kotak sangat kecil yang dapat masuk ke dalam saku celanaku. Semua barang itu selalu dibungkus dengan lakban tebal berwarna hitam, baik itu barang yang kecil maupun yang besar. Tapi aku lebih suka jika diminta untuk mengantar barang yang kecil, bukan karena barang itu mudah dibawa, melainkan karena upah yang aku dapatkan dua kali lipat jika dibanding dengan barang yang besar. Namun tidak jarang juga, barang yang aku antar tidak langsung diterima oleh seseorang, tetapi harus kuletakkan di bawah pohon, di dekat tong sampah, atau di tempat-tempat lain yang sulit untuk dijangkau. Kala itu aku masih belum tahu barang apa yang aku antar, tetapi di usiaku yang sudah matang seperti sekarang, aku jadi paham jika barang yang aku antar adalah narkoba. Setelah aku dewasa juga, baru aku paham alasan para bandar menggunakan anak kecil sebagai kurir. Selain karena mereka masih polos, menggunakan anak kecil sebagai kurir narkoba juga menjauhkan bandar dari endusan polisi. Tapi ada satu kejadian yang sangat membekas di dalam ingatanku. Saat itu aku sedang mengantarkan barang berukuran kecil, yang dewasa ini aku tahu jika barang itu adalah s*bu-s*bu. Aku mengantar barang itu ke sebuah rumah kecil di salah satu kawasan bawah tanah Pusat Kota. Rumah yang kecil, kumuh dan lebih terlihat seperti gudang daripada rumah. Bahkan pintu rumah itu terlihat rusak, tidak dapat mengunci dengan sempurna. Saat tiba di depan rumah itu, aku merasa bingung. Tidak biasanya aku mendapatkan lokasi seperti ini untuk transaksi. Biasanya penerima akan menungguku di tempat terbuka yang sepi. Aku menepis perasaan curiga dari pikiranku, maju perlahan dan mengetuk pintu rumah itu. “Siapa?” Suara lelaki dewasa terdengar keras dari dalam rumah. Selain itu, aku dapat mendengar suara sayup-sayup beberapa orang yang tidak terdengar jelas. “Aku mengantar makan siang!” Aku mengucapkan kata sandi sebagai tanda jika aku adalah pengantar paket narkoba untuk mereka. Tidak lama kemudian, pintu di depanku terbuka. Dari balik pintu, seorang laki-laki bertubuh gemuk muncul. Laki-laki yang memiliki tato di tangan kirinya memintaku untuk masuk. Aku ragu, tidak biasanya aku diminta masuk oleh orang asing. Tapi karena saat itu aku masih polos, aku menuruti perintah lelaki tersebut. Di dalam sana, aku melihat sekitar empat orang lelaki paruh baya yang tengah asyik berpesta minuman keras. Tanganku gemetar hebat, keringat dingin mulai mengucur di kepalaku melihat tatapan dari empat orang di depanku. Mereka menatapku dengan tatapan nafsu, seakan ingin mendapatkan tubuhku. Padahal saat itu usiaku masih 10 tahun dan belum masuk puber, namun pikiran polosku berkata jika aku akan mendapatkan pelecehan di tempat itu. Aku melangkah menjauh, ingin keluar dari tempat itu secepat mungkin. Tapi pintu di belakangku dihalangi oleh lelaki gemuk yang tadi membukakan pintu untukku. Jika orang tersebut ikut dihitung, maka total di dalam rumah ini ada lima orang. Aku tidak akan bisa melakukan apapun melawan lima orang. “Hei Anak Kecil, mana barang pesananku?!” Seorang lelaki kurus di antara empat orang yang duduk di lantai mengulurkan tangan kirinya kepadaku. Aku segera mengambil kotak kecil yang ada di saku celanaku dan kuberikan padanya. “Pesta!!!” sahut seorang lelaki yang lain. Aku ingin segera pergi dari tempat itu, aku sudah ketakutan setengah mati. Tapi tiba-tiba satu orang yang lain berkata kepadaku, “hei Anak Kecil, mau berpesta bersama kami?” Badanku semakin gemetar mendengar kalimat itu, pikiranku sudah melayang ke seluruh kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Aku menggelengkan kepala, berbalik arah dan berlari. Namun baru tiga langkah aku berlari, tanganku ditahan oleh orang gemuk yang membuka pintu. Saat aku menoleh ke belakang, tatapan pria itu seakan ingin mengulitiku, tajam dan penuh nafsu. Pria itu lalu menarik tanganku dan melemparku ke arah empat temannya yang sedang membuka paket yang aku antar. “Ah!” Aku mengaduh keras. Beruntung aku mendarat di salah satu lelaki, sehingga benturan yang aku rasakan tidak terlalu keras. Ketika aku membuka mata, aku dapat menyaksikan dengan jelas jika empat orang di sekelilingku tengah menatapku lekat. Salah seorang di antaranya menyodorkan satu butir obat kepadaku, namun aku berusaha keras menolaknya. Ketika pria itu memaksa untuk memasukkan obat tersebut ke dalam mulutku, aku berusaha menutup mulut rapat-rapat dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun sayang, pria itu sepertinya tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Ia mendorong dengan paksa obat tersebut ke wajahku, dan menamparku dengan keras. Pipiku terasa panas, sangat panas. Gadis berusia 10 tahun menerima pukulan dengan tenaga orang dewasa. Aku menangis terisak, air mata mengalir deras dari mataku. “Lihatlah, gadis ini menangis, hahaha!” Pria yang menamparku justru kegirangan melihatku menangis. “Pasti anak itu tidak melawan sekarang!” seru pria lain. Pria yang memukulku kembali menyodorkan obat kepadaku. Keinginanku untuk bertahan masih kuat, aku terus menutup mulut dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun sekali lagi, pria tersebut kembali menamparku dengan keras. Lalu pria itu menarik rambutku sehingga wajahku terangkat. Aku menangis semakin kencang, kepalaku terasa sangat sakit seakan seluruh rambutku akan tercabut dari akarnya. Tapi pria di depanku justru tertawa kencang dan diikuti oleh pria yang lain. “Anak ini menarik, aku juga suka gadis ini,” seru pria yang lain. Aku semakin ketakutan. Bukan lagi takut akan dilecehkan, melainkan takut jika tidak dapat pulang dalam keadaan selamat. “Huwaaa!!” Aku menangis semakin kencang. Aku sudah putus asa, aku berharap kencangnya suaraku dapat terdengar hingga ke luar dan membuat siapapun yang mendengarnya datang menolongku. Namun apa yang aku lakukan ternyata salah, pria yang memegang obat justru memanfaatkan kesempatan itu untuk memasukkan obat tersebut langsung ke tenggorokanku. Seketika tangisanku terhenti, aku menutup mulutku karena terkejut sambil terus terisak. “Jahat! Paman-paman ini semuanya jahat!” batinku. Namun para pria di sekelilingku justru tertawa kegirangan karena berhasil memasukkan obat ke dalam mulutku. Awalnya aku tidak merasakan apapun. Para pria itu juga tidak menghiraukanku, dan lebih memilih untuk menikmati serbuk putih yang aku antar kepada mereka. Saat itu aku masih belum paham dengan apa yang mereka lakukan, kenapa mereka menghirup serbuk itu dari hidung, bukannya dari mulut? Dalam diam aku terus memperhatikan para pria itu, di mana satu persatu dari mereka tumbang karena mabuk. Tapi tidak lama setelah itu pandanganku kabur, seluruh dunia terasa berputar. Aku tidak lagi dapat merasakan pijakanku, badanku terasa bergoyang ke kanan dan kiri, beberapa saat setelah itu kesadaranku berangsur menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD