Catatan 28

1621 Words
Perjalanan menuju Kota Nelayan aku lewati dengan perasaan gundah. Selama perjalanan aku lebih banyak diam menyaksikan pemandangan alam yang indah di luar jendela karena ketika keluar dari apartemen milik Jacob pikiranku mulai melayang menuju ke seorang gadis kecil yang menjadi tawanan Zayn. Aku tetap berusaha berpikir positif, “dia pasti akan baik-baik saja.” Kalimat itu selalu aku tanamkan ke dalam kepalaku agar merasa sedikit tenang. Masyarakat Kota Nelayan memang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat kota metropolitan seperti Pusat Kota. Ketika berada di Pusat Kota, aku akan merasa aman membawa barang berharga dengan nominal besar di dalam koper seperti ini. Tetapi ketika aku berada di Kota Nelayan, seketika aku merasa seperti sedang diintai oleh pencuri jalanan. Koper yang mencolok membuat beberapa orang menatapku dengan tatapan penuh nafsu. Bukan nafsu untuk melecehkanku, melainkan nafsu untuk merampas tas ini dariku. Beberapa orang bahkan tertangkap mataku sedang mengikuti langkahku dalam diam dan pelan. Aku mempercepat langkahku menuju Seaside Bar, karena tidak ingin ada drama pertarungan yang tidak perlu di stasiun kereta Kota Nelayan. Ketika sampai di luar pintu Seaside Bar, aku lagi-lagi melihat Isac tengah termenung di kursi pengunjung. Entah apa yang menjadi beban di dalam pikirannya hari ini, tapi wajahnya terlihat murung. Aku termenung beberapa saat di depan pintu sambil melihat Isac yang bermain dengan asbak yang ada di atas meja. Sesekali ia geser asbak itu, sesekali juga ia putar-putar. Tapi ketika aku ingat bahwa Isac kemarin meninggalkanku di Pusat Kota seorang diri, seketika rasa peduli dan kasihan kepadanya lenyap. Aku mengernyitkan dahi, lalu membuka pintu Seaside Bar dengan kasar. “Madame?!” Isac terkejut dengan suara pintu yang terbuka dengan keras lalu menatapku dengan mata melotot. Aku berjalan cepat ke arah Isac, lalu berdiri tepat di depannya. Aku menatap lekat mata Isac yang terlihat mulai salah tingkah. Isac tidak berani bertemu mata denganku, ia menundukkan pandangan terhadapku dan menggerakkan matanya ke kanan dan kiri dengan canggung. “Ke-kenapa kau menatapku seperti itu?” ucap Isac terbata sambil tetap membuang pandangannya dariku. “Tega sekali kau meninggalkanku di Pusat Kota seorang diri? Bukankah kita berangkat ke sana bersama-sama?” sahutku ketus. Aku letakkan koper yang aku bawa ke atas meja. Isac mengernyitkan dahi bingung dengan apa yang ada di depannya. “Apa ini, Madame?” tanya Isac sambil menyentuh koper itu dan sesekali memutarnya. Wajah Isac terlihat antusias seakan rasa ingin tahunya tiba-tiba bangkit melihat mainan baru yang ada di depannya. “Hei! Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku sedang kesal padamu, Isac! Kenapa kau meninggalkanku di Pusat Kota sendirian?” Aku menggebrak meja. Isac tersentak lalu menatapku dengan sorot mata yang penuh rasa takut. “Ma-maafkan aku, Madame. Kemarin kau tiba-tiba keluar dari Red Coffee tanpa berpamitan dengan yang lain. Agen Nova memintaku untuk pulang ke Kota Nelayan karena menurutnya kau adalah orang yang selalu bisa bergerak sendiri. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, aku hanya…” Suara Isac terdengar bergetar, padahal kemarin pemuda ini mulai dapat berlagak sombong di depanku. Apa karena ia merasa bersalah sehingga ia menjadi takut kepadaku? “Ah sudahlah! Aku masih dilanda serangan panik sejak kembali dari Hook! Aku butuh mobilmu dan lensa kontak perekam yang aku pakai kemarin!” Aku mengulurkan tangan kepada Isac yang disambut dengan Isac yang berlari ke belakang. Setelah dua menit menunggu, Isac datang dengan membawa apa yang aku minta darinya. Sebuah kunci mobil dan satu kotak lensa kontak perekam sudah ada di tanganku saat ini. “Sebenarnya aku memiliki masukan untuk lensa kontak ini, Isac. Mungkin kau harus menambahkan lensa cadangan, karena 15 menit menurutku waktu yang terlalu singkat untuk mengumpulkan bukti.” Isac berjalan melewatiku, lalu duduk di kursi pengunjung di mana koper berisi uang milikku terpampang rapi di atas meja. “Aku sudah melakukan beberapa penyesuaian dan peningkatan pada lensa kontak itu, Madame. Sekarang kau dapat merekam hingga 30 menit. Aku sedikit memperbaiki sistem yang terpasang di sana yang membuat lensa kontak itu hanya menggunakan daya dari satu sisi ketika merekam, sehingga daya yang dihabiskan untuk merekam menjadi lebih hemat. Ketika daya satu lensa kontak habis, maka daya akan otomatis dialihkan ke lensa kontak sebelahnya.” Isac mulai tersenyum, suasana hatinya terlihat mulai membaik setelah aku memarahinya karena ia memamerkan hasil pekerjaannya. Setelah mendapatkan lensa kontak dan kunci mobil dari Isac, aku segera menuju ke garasi dan menghidupkan mobil. Di dalam mobil, aku memasang lensa kontak itu ke mataku dan menemukan bahwa tampilan di dalamnya berbeda dari sebelumnya. Ada satu indikator yang menampilkan jika lensa kontak itu sedang menggunakan daya dari salah satu lensa. Aku lihat indikator itu berkedip di sebelah kanan pertanda sedang menggunakan daya lensa sebelah kanan. Lensa ini terasa lebih nyaman dari sebelumnya, tampilan layarnya juga terasa lebih lembut sehingga tidak menyiksa di mata. Tulisan di dalamnya lebih kecil sehingga terasa hampir seperti tidak memakai sesuatu di mataku. Aku segera menjalankan mobil menyusuri Kota Nelayan yang mulai terasa terik hari ini. DI tengah jalan, aku mengambil ponsel yang kuletakkan di dalam tas kecil sembari mengemudi. Aku segera mencari kontak dengan nama Zayn dan melakukan panggilan suara kepadanya. Tidak berapa lama, panggilanku telah terhubung kepada Zayn. “Halo, Nona Lilia. Wah, sepertinya kau membawa kabar untukku,” sapa Zayn dari seberang telepon. “Haha, kau sangat peka, Tuan Zayn. Ya, aku memiliki penawaran kecil untukmu. Lima orang, 50 juta dolar. Jacob tertarik dengan beberapa koleksi milikmu dan memintaku untuk mengaturnya. Uang tunai sudah ada di tanganku dan kita dapat segera bertemu untuk bertransaksi.” Aku mencoba tetap berkonsentrasi mengemudi, mataku tetap fokus melihat ke jalan sementara tangan kananku berada di roda kemudi dan tangan kiriku memegang ponsel yang bertengger di telinga kiri. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang karena belum membuat janji dengan Zayn. “Bagaimana ya, Nona? Wah ini mendadak sekali, kau sedang berada di mana sekarang?” Zayn terlihat terkejut dengan kabar yang aku bawa. “Aku sedang menuju Atlantic Harvest saat ini. Jacob berkata jika ia menginginkan koleksi darimu secepatnya, Tuan.” “Tidak bisakah kita membuat janji lain kali? Aku sedang sangat malas hari ini, Madame.” Jacob menyeret suaranya. Sepertinya pria panas namun ganas satu itu sedang berada di atas tempat tidur saat ini. Tapi entahlah, itu hanya asumsiku belaka. Aku mulai khawatir tidak dapat membuat janji dengan Zayn dan gadis kecil yang aku lihat di penjara beberapa hari lalu mengalami hal yang buruk. Bagaimanapun, aku harus dapat bertransaksi dengan Zayn hari ini untuk menuntaskan rasa panik yang aku rasakan sejak keluar dari markas Hook. Jadi bagaimanapun caranya, aku harus dapat memperdaya Zayn. “Maafkan aku, Tuan. Aku sendiri juga sedang berada di bawah tekanan. Jacob tidak suka jika keinginannya tertunda, ia memintaku untuk mendapatkan beberapa koleksi milikmu hari ini juga. Jika tidak, aku akan kehilangan separuh dari hutangku. Tolonglah, Tuan, aku tahu kau dapat membantuku.” Aku mencoba merayu Zayn dengan nada rendah, mencoba mengambil simpati darinya. “Hahhh… Baiklah Nona. Jika bukan demi uang 50 juta dolar, aku tidak akan menuruti permintaanmu. Tunggu aku di markas Hook, setelah ini aku akan segera pergi ke sana.” Dari balik telepon, suara Zayn terdengar kesal dan sedikit terpaksa menerima permintaanku. Tapi bagaimanapun, meskipun ia menerima dengan terpaksa, aku harus mengeksekusi penyelamatanku hari ini. Jujur saja, aku tidak terlalu peduli dengan korban yang lain, aku hanya ingin menyelamatkan gadis kecil pemilik mata penuh harapan itu. Aku mungkin juga harus sedikit meminta maaf karena apa yang tertulis di catatanku kali ini sedikit berantakan. Jujur saja aku benar-benar masih dilanda kepanikan akut. Setelah mendengar jawaban dari Zayn, aku mempercepat laju mobil ke arah wilayah tengah Kota Nelayan, kembali melewati perkampungan primitif untuk menuju markas Hook di tengah daerah terpencil. Berbeda dengan Bianka yang membawa bala bantuan secara tersembunyi ketika datang ke tempat ini, aku hanya datang seorang diri dan siap mengorbankan nyawa. “Demi gadis itu, aku rela jika mati di tempat ini,” pikirku yang menjadi semakin khawatir ketika sudah semakin dekat dengan markas Hook. Keadaan masih sangat sepi saat aku sampai di depan gubuk kecil yang merupakan markas Hook. Aku melangkahkan kaki berdiri di samping pintu mobil dan menyalakan sebatang rokok menthol. Udara di tempat ini terasa cukup bersih dan segar, banyak pepohonan di sekitar membuat cuaca pesisir yang panas dan lembab tidak terasa hingga ke tempat ini. Sudah cukup lama aku menunggu Zayn datang ke tempat ini. Tiga batang rokok terbakar habis selagi menunggu kemunculan orang dari Hook itu. Aku mulai merasa bosan, mungkin Zayn tidak akan datang ke tempat ini. Aku melirik jam di tangan kiriku, dan menyadari jika waktu telah berjalan 40 menit sejak aku datang ke tempat ini. Sejenak, ingin rasanya aku menerobos masuk ke dalam penjara dan langsung menyelamatkan para korban dengan tanganku sendiri, tapi jika aku melakukan itu maka ikan besar yang menjadi targetku tidak akan pernah aku dapatkan. Aku merasa sudah sangat putus asa, pikiran bahwa Zayn tidak akan datang menjadi semakin kuat. Wajahku sudah sangat masam, sama sekali tidak enak dilihat. Bahkan di tengah hutan dengan udara sejuk seperti ini pun, keringat mulai menetes dari dahiku karena pengaruh stres. Secercah harapan muncul ketika satu jam sejak aku datang, aku mendengar suara mobil yang bergerak mendekat ke arahku. Aku melihat ke arah asal suara itu dan menemukan bahwa mobil sedan hitam milik Zayn telah sampai di tempat ini. Mobil itu parkir tepat di sampingku, lalu seorang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam mobil itu dengan pakaian rapi dan senyum lebar yang terukir dari wajahnya. “Sudah lama menunggu, Nona?” ucap Zayn yang keluar dari pintu sebelah kanan. Alea yang keluar dari pintu sebelah kiri hanya diam dengan tatapan sinis seperti yang biasa ia tunjukkan kepadaku. Sekarang aku dapat bernafas lega karena harapanku untuk menyelamatkan para korban, atau lebih tepatnya gadis kecil dengan tatapan mata penuh semangat hidup itu mulai terlihat. “Tunggulah aku, gadis kecil! Aku akan segera datang!” pikirku ketika Zayn mengajakku masuk ke dalam markas Hook.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD