Catatan 12

2018 Words
Suara lonceng pintu yang berbunyi cukup keras ketika aku masuk ke Red Coffee membuat beberapa pengunjung kedai menoleh ke arahku. Mobil milik Isac yang sedikit kotor terkena debu jalanan terparkir cantik di depan kedai. Tatapan yang aku terima dari warga Pusat Kota terasa lebih bersahabat daripada Kota Nelayan, padahal aku berpakaian sedikit terbuka hari ini. Celana hot pants berwarna navy dan kaos crop top berwarna putih aku pilih supaya terlihat sedikit mencolok di keramaian. Warga Pusat Kota mungkin sudah cukup terbiasa melihat perempuan berpakaian sedikit terbuka berjalan santai di kota ini tanpa takut terlecehkan, itu sebabnya banyak orang tidak acuh terhadap penampilanku. Nova yang tengah berbincang dengan salah satu pengunjung segera berdiri dan menyambutku. “Selamat siang, Tuan Putri yang cantik, what can I get for you today?” sapanya sambil melempar senyum ramah kepadaku. “Kau terlihat ceria sekali hari ini, Nova. Iced Japanese Lemon Coffee untukku, dan…” aku menoleh ke belakang, ke arah di mana Isac tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai kopi milik Nova ini. Isac terlihat seperti anak kecil yang baru pertama kali pergi ke taman bermain dan menikmati pemandangan yang ada. Matanya terlihat berbinar, pandangannya menatap lekat kepada tiap ornamen dan dekorasi kedai ini. Aku hanya tersenyum kecil, ikut bahagia melihat kesenangan yang ia rasakan di dalam dirinya. “Hei Isac, apakah kau ingin mencoba kopi buatan Nova?” ucapku membuyarkan lamunan pria lugu itu. Isac tersentak karena terkejut lalu menjawab pertanyaanku dengan sedikit terbata, “E-eh, iya? Aku… Aku ingin Hot Americano house blend dengan rasio 7 banding 3,” sahutnya sebelum kemudian ia kembali mengagumi kedai milik Nova ini. Nova segera berjalan ke belakang bar dan mulai membuat kopi pesananku dan Isac yang diikuti oleh aku yang mengambil satu tempat duduk di depan bar. Aku sengaja membiarkan Isac berkeliling kedai, melihat dari dekat satu persatu dekorasi milik Nova. “Kenapa kau mengajak bocah itu ke sini, Lilia?” Nova masih sempat mengajakku berbincang ketika kedua tangannya sibuk dengan mesin espresso. “Aku hanya sedikit kasihan kepadanya. Sejak direkrut oleh The Barista, ia merasa tidak bisa bebas keluar untuk bermain. Bocah itu selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bekerja. Aku hanya ingin sesekali mengajaknya keluar menikmati udara segar. Aku juga ingin ia beradaptasi dengan atmosfer dunia luar agar tidak terkejut jika suatu saat terjadi sesuatu dengan kedai miliknya.” Aku memerhatikan Isac sambil tersenyum tipis dari depan bar. Nova juga sesekali menoleh ke arahnya di mana ia tengah memegang sebuah miniatur mobil klasik yang dipajang di sudut ruangan. “Padahal kita tidak pernah mengekang anak itu, Lilia. Tetapi ia merasa terkurung di sana. Isac adalah orang yang selalu berpedoman pada textbook, sehingga ia tidak melakukan apapun di luar apa yang diperintahkan,” ucap Nova sambil memberikan satu cangkir minuman berwarna hitam dengan asap yang mengepul tipis di atasnya. “Hei Isac! Kopi milikmu sudah siap!” Aku sedikit berteriak kepada Isac, lalu pemuda itu segera meletakkan miniatur mobil yang ia pegang dan berjalan pelan mengambil satu tempat duduk di depan bar tepat di sebelahku. “Lama tidak berjumpa, Isac,” sapa Nova sambil berlalu. Seakan tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Nova, Isac tidak menjawab dan segera meminum perlahan kopi yang disajikan untuknya. Tidak lama kemudian, sebuah minuman disajikan dalam gelas tinggi, berwarna coklat kehitaman dan berhiaskan potongan lemon di atasnya mendarat di atas mejaku seiring dengan Nova yang berkata, “Apa yang membawa kalian ke sini hari ini? Aku tahu jika Lilia tidak akan datang dengan tangan kosong.” Lagi, ucapan yang hampir selalu aku dengarkan setiap bertemu dengan seseorang. “Apakah kau yakin akan berbincang di sini?” Aku menatap tajam ke arah Nova, sudut bibir sebelah kananku sedikit naik membuat wajahku mengundang rasa penasaran siapa saja yang melihat. Nova yang mengerti dengan apa yang aku ucapkan, segera berjalan menuju ke arah pengunjung kedai miliknya lalu membisikkan sesuatu kepada mereka. Pengunjung kedainya hanya mengangguk pelan dan memberikan acungan jempol kepada Nova. Barista tampan itu kemudian membalik tanda buka yang menggantung cantik di tengah pintu kedai sehingga berubah menjadi tutup, kemudian mengajakku dan Isac memasuki sebuah ruangan yang tidak memiliki kursi selain sebuah kursi yang diduduki oleh Nova sehingga dua orang tamu agung dari Kota Nelayan ini harus berdiri di hadapannya. Daripada berdiri, aku lebih memilih untuk duduk dengan tidak sopan di atas meja. Isac yang baru pertama kali datang ke tempat ini merasa canggung akan sikapku dan memilih berdiri mematung di tengah ruangan. Dua gelas minuman yang disajikan oleh Nova kepadaku dan Isac sengaja ditinggalkan di meja depan bar agar tidak mengganggu jalannya perbincangan. “Isac, di mana kau letakkan amplop coklat? Sepertinya ketika memasuki kedai, kau tidak membawanya.” Aku mengulurkan tangan kananku, memberikan isyarat agar Isac memberikan amplop coklat kepadaku. “Maafkan aku, Madame. Sepertinya amplop itu tertinggal di mobil,” sahutnya sebelum ia beranjak dari ruangan ini untuk mengambil benda itu dari mobil. Aku dan Nova hanya menggeleng perlahan melihat tingkah polos pemuda itu. Tidak lama kemudian, Isac kembali dengan membawa sebuah amplop coklat yang menjadi petunjuk penting kasus yang tengah aku coba pecahkan. Nova segera membuka amplop itu sesaat setelah mendarat di tangannya. Sambil membolak-balik tiap foto yang ada di dalamnya, wajah datar Nova berubah perlahan. Sebuah senyum sinis mulai terukir di wajah tampannya. “Dari 15 foto, hanya ada 3 orang yang merupakan korban dari kasus yang tengah kita jalankan. Sisanya adalah korban yang kita tidak ketahui identitasnya. Sekarang, apa yang ingin kau lakukan, Lilia?” Tatapan Nova berubah tajam, pandangannya terhadapku seakan memberikan tantangan kepadaku untuk menyusun rencana. “Aku jelas tidak akan bekerja sendirian, karena aku sangat suka memanfaatkan orang lain.” Aku membalas tatapan Nova dengan senyuman yang tidak kalah licik. Nova hanya terkekeh ketika melihatku menatapnya seperti menatap sebuah mangsa. “Bisakah kau menghubungi Bianka? Aku ingin sedikit berbincang dengannya,” sahutku sambil berdiri dari posisi duduk di atas meja. Nova mengambil ponsel yang ada di kantong celana sebelah kiri, kemudian terlihat mengetik sesuatu di sana. Tidak lama kemudian, ponsel di tas kecil yang aku bawa terasa bergetar. “Aku telah mengirimkan kontak Bianka kepadamu. Lebih baik kau sendiri yang menghubunginya, jangan selalu merepotkan orang lain,” ucap Nova sedikit ketus. Aku tidak merasa kesal terhadap Nova, karena aku justru suka jika seorang laki-laki bersikap seolah mereka tidak membutuhkan perempuan. “Andai saja kau dapat kujamah di tempat tidur, Nova. Pasti kau akan bertekuk lutut padaku,” pikirku sambil membuka ponsel dan menyimpan kontak milik Bianka pada ponselku. Tanpa terasa, hari berubah menjadi sore seiring aku menikmati minumanku di Red Coffee bersama Isac. Pemuda itu sejak tadi selalu asyik meneliti satu persatu dekorasi kedai milik Nova ini. Bahkan ketika kedai dalam keadaan ramai, Isac terlihat tidak terganggu dengan kehadiran banyak pengunjung kedai. Sore ini, aku berencana untuk bertemu dengan Bianka. Perempuan cantik itu menyarankan rumah miliknya untuk menjadi tempat pertemuanku dengannya. Sekitar jam 5 sore, aku beranjak dari Red Coffee menuju kediaman Bianka sesuai dengan petunjuk arah yang ia kirimkan kepadaku. Sebuah rumah mewah serba putih bak istana dengan gerbang yang menjulang tinggi terpampang jelas di kompleks perumahan elit Pusat Kota. Tidak salah jika ia memiliki rumah sebesar ini, sebab agen yang baru dua tahun bergabung dengan The Barista ini adalah pemilik dari perusahaan konstruksi dan persewaan alat berat kelas multinasional bernama Airconst. Sapaan ramah dari petugas keamanan rumah mewah ini menyambut kedatanganku. Ia segera mempersilakan aku masuk karena Bianka atau Rin, sapaan Bianka di rumah ini, telah menitipkan pesan kepadanya bahwa aku akan datang ke rumah ini. Bianka menyambutku di depan pintu rumahnya ketika aku memarkirkan mobil tidak jauh dari pintu masuk. “Hai, Isac, Selamat datang, Madame,” sapanya ketika aku dan Isac keluar dari mobil. Tidak lupa Isac membawa amplop coklat karena aku telah memperingatkan padanya agar tidak meninggalkan amplop itu di dalam mobil. “Hai, Cantik. Rumahmu indah sekali,” jawabku sambil memberikan pelukan selamat datang kepada Bianka. Sama seperti ketika berkunjung ke Red Coffee, Isac terlihat sibuk memerhatikan sekeliling. Bianka kemudian mempersilakan aku masuk ke rumahnya dan duduk di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, tiga gelas minuman dingin disajikan oleh asisten rumah tangga kepada kami. Mata Isac terlihat lebih berbinar dibanding ketika berada di Red Coffee. Aku memiliki sebuah ide menarik untuk disampaikan kepada Bianka, “Sepertinya agen muda kita yang satu ini sangat antusias, sejak berada di Red Coffee, matanya tidak berhenti menelisik ke segala hal yang ia lihat. Apakah kau tidak keberatan jika Isac melihat-lihat rumahmu?” “Tidak masalah, asal jangan merusak sesuatu,” jawab Bianka dengan senyum ramah yang terlukis di wajahnya. Tatapan matanya terlihat elegan dan berkelas, berbeda denganku yang terlihat seperti wanita jalanan. Isac terlihat sangat senang ketika mendapatkan izin untuk melihat-lihat rumah ini secara lebih dekat, ia tersenyum gembira dan segera berkeliling melihat satu persatu dekorasi rumah milik Bianka mulai dari lukisan, guci, dan segala ornamen serba mewah yang ada di rumah ini. Isac juga terlihat berhati-hati agar tidak merusak barang-barang di rumah ini. Bianka dan aku seperti dua keping koin yang saling bertolak belakang, namun masih merupakan satu kesatuan. Aku dan Bianka sama-sama licik, kotor, kejam, keras, dan dapat bertahan di jalanan. Tetapi Bianka terlihat sangat berkelas, anggun, elegan dan sangat terlihat jika ia adalah perempuan mahal. Berbeda denganku yang tampil mirip dengan tikus jalanan yang menggoda dan seakan mudah untuk didapatkan. Bianka yang selalu tampil dengan riasan minimalis, dapat membuat pria yang ada di luar sana menjadi segan ketika akan menggodanya. Berbeda denganku yang selalu tampil dengan riasan tebal untuk menutupi kerutan wajah yang mulai terlihat jelas. Melihat langsung di depan mataku membuatku seakan tidak percaya jika The Barista memiliki agen dari kalangan elit yang ahli dalam penyusupan. Dasar Nova, dia tahu di mana ada aset bagus seperti ini?! “Apa yang membuatmu ingin menemuiku secara langsung, Madame? Info yang aku dengar adalah, Madame Lilia bukanlah orang yang akan datang dengan tangan kosong, hahaha. Aduh, kau pasti sudah lelah dengan kalimat itu.” Cara tertawa Bianka juga terlihat sangat elegan di mana ia tidak tertawa secara terbahak-bahak dan berusaha menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. “Caramu menyapaku menunjukkan jika beberapa waktu terakhir kau mencari tahu beberapa hal tentangku, Sayang. Aku ingin kau melihat ini.” Aku menyodorkan amplop coklat itu kepada Bianka. Perempuan anggun itu segera membuka dan melihat isinya satu persatu. “Okay, apa yang harus aku lakukan dengan ini, Madame?” sahutnya sambil membolak-balik lembaran foto itu. “Apa yang kau pikirkan ketika melihat foto-foto itu?” “Aku tahu jika mereka adalah korban penculikan, bahkan beberapa di antara mereka adalah korban yang sedang kau cari. Tapi aku tidak memiliki ide apapun di dalam kepalaku.” Berbeda dengan Nova yang terlihat antusias dengan apa yang ia lihat, Bianka hanya memberikan ekspresi datar, seakan hal seperti ini sudah biasa baginya. “Benarkah The Barista membesarkan seorang monster di dalam tubuh gadis lugu ini?” pikirku. “Aku ingin kau membeli satu atau dua orang dari mereka, tapi jangan kau beli korban penculikan yang sedang kita cari. Aku tidak ingin Zayn berpikir jika aku tengah menyelidikinya.” “Baiklah, aku akan membeli dua orang, tetapi salah satu di antara mereka adalah korban yang kita cari,” sahutnya dengan senyum ramah yang ia tujukan kepadaku. Baru pertama kali dalam hidupku, aku bertemu dengan orang yang lebih tidak memiliki hati jika dibandingkan denganku. Untuk urusan manusia seperti ini, Bianka seperti tidak memiliki rasa empati terhadap korban. “Kenapa kau justru mengambil salah satu korban kita?” “Karena jika aku menghindarinya, Zayn akan menjadi waspada.” “Waspada?” “Ya, karena kita terkesan menghindari korban dari penculikan yang terjadi di Pusat Kota. Hal itu semakin membuat kita terlihat sedang menyelidiki penculikan itu.” “Ternyata kau memiliki cara berpikir di luar kotak, Bianka.” Aku memberikan senyuman hangat padanya dan tatapan seakan menemukan seorang partner yang dapat kuandalkan yang memiliki cara berpikir yang sama denganku. Bukan hanya negosiator handal, Bianka juga memiliki nalar yang di luar rata-rata. Bianka kemudian beranjak dari tempatnya duduk, menghampiri Isac dan mengajaknya berkeliling. Bianka terlihat sangat ramah terhadap orang yang baru dikenalnya, seakan tidak memiliki rasa curiga terhadap orang itu. Aku juga masih belum mengetahui motif Isac meneliti apa yang ia lihat. Apakah hanya karena rasa antusias, atau ia memiliki maksud lain?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD