Catatan 22

1774 Words
Suasana perkampungan pesisir yang panas dan gersang, tidak banyak tumbuhan yang tumbuh, warga desa yang melihat dengan lekat ke arah mobil yang melintas dan anak-anak yang bermain memainkan permainan sederhana tanpa gawai mengiringi perjalananku menuju tempat yang aku masih belum mengetahuinya. Suasana aku rasakan sangat berbeda jika dibandingkan dengan tempat lain, entah itu di Pusat Kota maupun di Kota Nelayan secara umum. Suasana yang terlihat sedikit primitif seakan aku tengah memasuki zaman lain di mana rumah-rumah warga terbuat dari kayu. Entah di mana aku sekarang berada, yang aku ketahui saat ini adalah aku sedang berada di wilayah tengah Kota Nelayan yang merupakan wilayah perkampungan. Di kanan dan kiri tempat ini aku juga melihat aktivitas warga yang tengah memperbaiki jaring dan beberapa ibu-ibu tengah menjemur ikan. Aroma amis ikan tidak kalah pekat aku rasakan di tempat ini, bahkan cenderung lebih pekat jika dibandingkan dengan pelabuhan ikan. Ah tidak, aroma di sini berbeda dengan pelabuhan ikan. Di pelabuhan, aroma yang tercium adalah aroma ikan segar. Meski memang amis, tetapi tidak terlalu menyiksa hidung. Sedangkan di tempat ini, aroma ikan busuk sangat pekat tercium, bahkan untuk sekelasku sekalipun aku merasa cukup tersiksa dengan aroma tersebut. Mungkin faktor perutku yang belum sepenuhnya pulih juga menjadi pemicu aku mulai merasa mual. Setelah cukup lama mengemudi di jalanan yang rusak dan bergelombang, akhirnya aku tiba di sebuah gubuk kecil dengan tembok yang terbuat dari kayu dengan cat berwarna biru muda. Zayn dan Alea turun dari mobil dan mempersilakan aku untuk masuk ke dalamnya. Aku sangat terkejut ketika masuk ke dalam gubuk itu di mana hanya ada datu ruang kosong tanpa furnitur apapun. Aku melihat ke arah Zayn dan Alea dengan wajah bingung, lalu Zayn dan Alea membuka sebuah pintu yang berada di bagian belakang gubuk tersebut. Di balik pintu, terdapat sebuah tangga menuju ke bawah tanah yang terlihat gelap. Zayn menuntunku masuk lebih jauh ke dalam gubuk itu, menuruni tangga hingga tiba di satu tempat yang terlihat seperti neraka. Lagi, aku ingin menjelaskan jika aku adalah orang yang sudah terbiasa dengan lingkungan dengan aroma mengerikan yang bermacam-macam. Tetapi ketika memasuki tempat ini, aku merasa perutku yang telah kosong ingin kembali mengeluarkan asam lambung melalui mulutku. Hal itu disebabkan karena aroma mengerikan yang ada di tempat ini, aroma darah bercampur kotoran manusia yang busuk terasa menusuk hidung. Bahkan ketika aku memasuki sebuah ruangan besar tepat setelah menuruni tangga, aku sampai batuk beberapa kali karena tidak sanggup menghirup aroma neraka tersebut. Busuk, sangat busuk, sebuah lingkungan dengan aroma terbusuk yang pernah aku temui selama karirku sebagai agen intelijen. Aku harus menutup hidung dan bernafas menggunakan mulut untuk mengurangi aroma busuk masuk ke dalam tubuhku. “Lingkungan ini seperti lingkungan limbah beracun, tidak mungkin ada manusia yang sanggup tinggal di tempat seperti ini,” pikirku. Tetapi aku sadar, ketika aku membandingkan lingkungan yang aku masuki dengan rekaman CCTV dari yang dikirim oleh Z kepadaku, para korban memang buang air di dalam sel karena tidak ada toilet di sana. Ketika ingat hal itu, aku sadar jika para korban memang tinggal di tempat beracun seperti ini. Aku terus berjalan terbatuk sambil memicingkan mata karena udara di tempat ini sangat pengap. Alea yang berjalan bersama Zayn di depanku menoleh ke arahku dan tersenyum sinis melihatku yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan. “Si*l, bagaimana bisa orang-orang ini bersikap biasa saja di dalam lingkungan beracun seperti ini?” Aku menggerutu pelan. Suasana remang-remang cenderung gelap dan udara pengap yang memiliki aroma beracun yang pekat, menjadikan tempat ini sangat cocok jika digunakan sebagai tempat penyiksaan. Setelah melewati lorong sempit yang cukup panjang, akhirnya aku sampai di satu ruangan besar di mana terdapat ruang tahanan di bagian kanan dan kiri. Di sinilah alat yang diberikan Isac mulai kugunakan. Aku melihat ke setiap ruang tahanan, ketika mataku menyorot ke dalam sel, aku menghidupkan perekam pada lensa kontakku, dan ketika aku mengalihkan pandangan dari sel, aku akan mematikan mode perekam. Hal itu aku gunakan untuk menghemat daya agar tidak kehabisan baterai di saat yang tidak tepat. Aku melihat ada sekitar empat ruang tahanan, di mana Zayn memberiku kesempatan untuk melihat ke masing-masing sel. Miris, sangat miris apa yang aku lihat di dalam sel itu. Aku tidak sanggup memberikan komentar apapun, aku hanya bisa diam melihat Zayn mempermainkan nyawa manusia seperti ini. Sebenarnya aku ingin berteriak, menangis, memukul dan bahkan membunuh Zayn, namun aku harus menahan emosi dan perasaanku karena aku tidak ingin menghancurkan misi. Tanganku bergetar hebat ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri pemandangan mengerikan yang ada di depan mata. Manusia dari segala usia, dikumpulkan menjadi satu di tempat ini. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, anak-anak dan dewasa, semua dikurung menjadi satu dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Aku harus tetap menjaga citra sebagai seorang mafia, aku tidak boleh menunjukkan jika membenci tempat ini. Bahkan aku harus menahan tangan agar tidak mengepal, karena sekali mengepalkan tangan, Zayn dan Alea akan seketika itu sadar jika aku membenci tempat ini. Aku hanya dapat menggertakkan gigi di belakang Zayn dan Alea. Aku bahkan harus menahan air mata yang mulai akan jatuh dari kelopak mataku. Tidak, tidak boleh ada ekspresi benci dan emosi di mataku. Ketika berada di ruangan ini, aroma kotoran manusia yang bercampur darah terasa semakin pekat dan menusuk, jauh lebih pekat jika dibandingkan dengan ketika berjalan di lorong menuju ke ruang tahanan ini. Bahkan aku sampai merasakan perih di mata seperti menghirup aroma cabai. Dan aku heran, Zayn dan Alea merasa biasa saja dengan lingkungan beracun seperti ini. “Nona Lilia, aku lihat kau terbatuk-batuk dari tadi?” ucap Zayn yang melihatku tengah memperhatikan satu persatu ruang tahanan. “Uhuk, maafkan aku, Tuan. Aku baru memasuki tempat mengerikan seperti ini seumur hidupku. Bagaimana kalian dapat bersikap seakan tidak mencium apapun?” sahutku dengan suara sengau karena tanganku menutup hidung. Aku masih tetap melihat ke arah Tahanan sambil merekam satu persatu tahanan dengan rinci, aku berusaha mendapatkan informasi tentang mereka tanpa melewatkan satu orang pun. “Kukira kau seorang wanita yang tangguh, Nona. Ternyata kau juga lemah, hahahaha,” ledek Alea. Aku menoleh ke arah kiri, melirik ke arah Alea yang berdiri di belakangku berkacak pinggang. “Hei sudahlah, Alea. Tamu istimewa kita memang belum pernah masuk ke tempat seperti ini,” sahut Zayn. Alea hanya menaikkan sebelah bahu sambil melirikku sinis, gadis polos itu meremehkanku rupanya. Aku kembali memfokuskan pandanganku ke arah ruang tahanan, karena harus berpacu waktu dengan kapasitas baterai lensa kontak yang terbatas. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Alea? Kenapa ia terlihat sangat membenciku?” Aku bergumam di dalam pikiranku. “Apakah kau sudah puas melihat-lihat koleksiku, Nona Lilia?” ucap Zayn yang berjalan pelan mendekat ke arahku. Ia berdiri di sebelah kananku, tangan kiri Zayn merangkul pundak sebelah kiriku. “Koleksi yang bagus, Tuan. Ada lagi sesuatu yang ingin kau perlihatkan kepadaku?” Aku melipat tangan ke depan dad* dan menyandarkan bahu pada dad* bidang Zayn. “Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu, Nona. Mari ikut aku.” Zayn menarik bahuku, berjalan sambil tetap merangkulku masuk ke ruangan yang berada di belakang ruang tahanan ini. Ketika berjalan melewati kumpulan manusia di dalam sel yang memiliki tatapan mata kosong tanpa nyawa, aku sempat melirik ke salah satu anak remaja perempuan yang aku perkirakan berusia awal belasan tahun, aku bertemu mata dengan remaja itu sebelum kemudian aku menghilang dari pandangannya menuju ke ruangan lain. Ruangan yang berada di belakang ruang tahanan adalah sebuah ruangan kecil yang memiliki satu meja dan beberapa kursi yang mengelilinginya. Di belakang meja, terdapat sebuah lemari kecil yang berisi map yang tersusun rapi. Zayn berjalan ke belakang, mengambil sebuah map dan diletakkan di atas meja. Zayn mempersilakan aku untuk duduk di salah satu kursi, sementara Alea berdiri sambil merangkul Zayn yang duduk di kursi yang berseberangan dengan tempatku duduk. “Silakan kau baca ini, Nona.” Zayn memberikan map yang tergeletak di atas meja kepadaku. Aku buka isi map tersebut, satu persatu aku perhatikan dengan seksama sambil aku mengaktifkan mode penangkap gambar pada lensa kontak milikku. Mode ini memakan lebih sedikit daya dibandingkan dengan mode perekam sehingga aku dapat mengambil banyak bukti ketika menggunakan mode penangkap gambar. Map yang Zayn berikan kepadaku berisi identitas para korban penculikan Hook serta status mereka. Aku perhatikan satu persatu dengan rinci, aku dapat mengenali beberapa korban yang ada karena sebagian dari mereka adalah para korban yang tengah aku cari. Aku melirik ke arah Zayn, sepertinya ia tidak curiga denganku. Senyum di wajahnya mengisyaratkan jika Zayn secara tersirat mulai tertarik untuk merekrutku masuk ke dalam Hook. “Bagaimana, Nona Lilia? Apakah kau tertarik untuk mencarikan pembeli untukku?” tanya Zayn dengan antusias. Aku melirik ke arah Alea, memastikan jika perempuan itu tidak curiga jika aku berbuat macam-macam di belakangnya. “Menarik, aku melihat banyak koleksi bagus yang kau miliki. Ketika melihat mereka secara langsung, aku sudah merasa jika koleksimu sangat bagus. Tetapi ketika melihat data mereka, aku semakin tertarik dengan koleksi yang kau miliki. Ah, aku bisa gila, Tuan Zayn. Bisa saja aku beralih profesi menjadi tangan kananmu setelah ini, pasti orang-orang di luar sana banyak yang tertarik dengan apa yang kau miliki.” Aku berusaha menahan gemetar di tanganku, aku tidak menyangka jika Hook sekejam ini. “Apakah aku boleh membawa dokumen ini, Tuan?” Bagaimanapun, aku harus menunjukkan sikap antusias dan tertarik dengan bisnis yang dijalani oleh Zayn. “Maafkan aku, Nona Lilia. Aku tidak bisa membiarkan kau membawa dokumen-dokumen ini. Aku bisa memberikan foto mereka jika kau mau, tapi tidak untuk dokumen itu.” Zayn merebut map yang tengah aku baca dari tanganku. Aku sempat berusaha sedikit menahan tangan Zayn, tetapi ia tetap berhasil mengambil kembali map tersebut. Lalu Zayn berdiri dari tempatnya duduk, mengembalikan map itu ke tempatnya, lalu mengambil satu amplop coklat dari sisi lain lemari. “Kau bisa membawa ini, Nona. Setidaknya kau sudah melihat secara rinci apa yang aku miliki di sini. Ingatlah, kau berada di tempat ini karena aku ingin membantumu menyelesaikan hutang. Kau harus berterima kasih kepada Sheera, karena ia berhasil meyakinkanku jika kau adalah orang yang tepat untuk diajak bekerja sama.” Zayn menyerahkan amplop coklat itu padaku. Aku yakin jika amplop ini berisi foto-foto para korban, tepat seperti amplop yang aku terima sebelumnya. Senyum hangat aku ukir di wajah ketika menerima amplop itu. Tapi sebenarnya, ketika melihat wajah para korban di tempat ini, hatiku benar-benar teriris. Zayn, aku harap suatu saat aku dapat membunuhmu dengan tanganku sendiri. Setelah menerima amplop coklat, aku segera berpamitan dengan Zayn dan Alea. Saat kembali melewati ruang tahanan, aku lagi-lagi bertemu mata dengan gadis remaja yang sempat aku lihat sebelum masuk ke ruangan yang berada di belakang ruang tahanan. Tatapan mata gadis itu berbeda jika dibandingkan dengan orang lain, gadis itu seperti memiliki harapan hidup, pancaran di matanya tidak redup. Gadis itu mengingatkanku dengan seseorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD