Catatan 23

2922 Words
Suara berdecit ban mobil yang kukendarai dengan ugal-ugalan terdengar cukup keras di depan Seaside Bar. Ban yang bergesekan dengan aspal menciptakan garis yang cukup panjang akibat aku mengerem ketika kecepatan mobil masih cukup tinggi. “Isac, tutup kedaimu, kita berangkat ke Pusat Kota sekarang!” teriakku kepada Isac yang tengah termenung di salah satu kursi pengunjung ketika aku membuka pintu dengan kasar. Isac yang tengah hanyut dalam alam khayal seketika tersentak dan menoleh ke arah pintu masuk di mana aku melangkah cepat ke arahnya. “Semua baik-baik saja, Madame?” Isac yang bingung segera berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan cepat mendekatiku. Aku menghentikan langkah ketika Isac berada tepat di sampingku. Aku dan Isac saling menatap lekat, tatapan Isac mengisyaratkan ada rasa khawatir dalam pikirannya dan tatapanku terlihat jelas jika aku tengah panik. “Aku sangat berharap semuanya baik-baik saja, tapi sayangnya keadaan berkata lain. Kita harus bertemu langsung dengan Nova, dan kau harus ikut. Aku butuh bantuanmu!” Aku menarik tangan Isac keluar dari kedai menuju mobil yang terparkir secara sembarangan di depan Seaside Bar. Mungkin jika ada kendaraan yang berpapasan, pengendara mobil lain itu akan berteriak dan menghajarku karena mobilku menghalangi jalan. Isac mengikuti langkahku dengan cepat, ia menutup kedai dengan terburu-buru karena aku telah masuk ke dalam mobil dan membunyikan klakson berkali-kali. “Iya sebentar!” Isac berteriak sambil berlari ke arah mobil. “Ah sial! Tunggu sebentar, Madame!” ucap Isac ketika membuka pintu depan sebelah kiri. “Hei!” Aku berteriak marah kepada Isac yang berlari masuk kembali ke dalam kedai. Aku hanya bisa mendengus kesal melihat Isac yang berlari terburu-buru. Kenapa ketika diburu waktu seperti ini semua terasa berjalan begitu lambat? Sebenarnya waktu yang Isac habiskan ketika berada di dalam kedai tidak terlalu lama, mungkin sekitar dua atau tiga menit, tetapi aku yang menunggu di dalam mobil merasa seperti Isac berada sangat lama di dalam kedai. Detik demi detik terasa berjalan sangat lambat. Setelah bosan menunggu, akhirnya Isac keluar sambil membawa ransel yang menggantung di punggungnya. Ia segera masuk ke mobil seperti tanpa dosa. Dengan wajah polos, Isac memberikan senyum kepadaku yang tengah berwajah kesal di belakang roda kemudi sambil berkata, “Aku sudah siap, ayo jalan.” Menerima kalimat seperti itu membuatku memutar bola mata kesal. Bahkan karena merasa kesal, aku tidak menjawab kalimat Isac dan segera tancap gas menuju Pusat Kota. Di tengah jalan, beberapa kali Isac berteriak karena aku hampir menabrak mobil lain yang berpapasan denganku. “Madame! Aku masih belum ingin mati! Aku masih perjaka dan belum pernah merasakan surga di dunia! Aku masih ingin hidup, Madame!” Teriakan Isac ketika panik sempat sedikit membuyarkan fokusku, aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Isac. Aku tidak menyangka seorang Isac yang terlihat polos ternyata dapat mengeluarkan kalimat konyol seperti itu. Namun meski aku sempat tertawa, kecepatan mobilku tidak turun sama sekali. Perkataan Isac justru membuatku bersemangat untuk memacu mobil ini lebih kencang lagi. Ketika hampir tiba di depan Red Coffee, aku tidak lagi memacu mobil dengan kencang. Mobil yang kukendarai berjalan santai dan aku memarkirkannya dengan rapi di depan kedai milik eksekutif presiden The Barista ini. Aku melihat ke arah Isac ketika berhenti, wajahnya terlihat pucat dan tangannya gemetar hebat. Isac seperti sedang benar-benar takut akan kematian. “Madame, tolong jika mengemudi berhati-hatilah. Kau hampir membuat nyawa seorang perjaka melayang!” Isac terlihat kesulitan ketika membuka pintu mobil. Berkali-kali ia gagal membukanya karena gemetar. Aku hanya terkekeh sambil membuka pintu sebelah kanan dan meninggalkan Isac di dalam mobil. Senyum hangat terpancar dari wajah Nova ketika aku masuk ke dalam Red Coffee. Sore ini Red Coffee telah sepi dari pengunjung dan Nova tengah sibuk membersihkan peralatan bar. “Hai, Lilia. Sepertinya kau terlihat sedikit kacau hari ini. Ada apa?” sapa Nova ramah dari belakang bar. “Benar, bahkan kau sampai tidak menyadari kehadiranku di sini. Kau jahat sekali, Madame,” sahut Bianka dari kursi pengunjung. Di kedai ini memang masih ada satu atau dua pengunjung, tetapi aku tidak menyadari jika salah satu di antaranya adalah Bianka. Aku menoleh ke belakang, ke arah suara Bianka berasal. Gadis itu tengah menggunakan celana panjang berwarna hitam dengan kaos yang cukup ketat berwarna putih ditemani satu gelas es berwarna hitam yang aku taksir adalah americano. Aku tersenyum canggung kepada Bianka, aku malu karena kecerobohanku yang tidak menyadari ada Bianka di sini. “Untuk apa kau memintaku hadir di sini, Madame?” sahut Bianka melanjutkan kalimatnya. Ketika dalam perjalanan, aku memang meminta Isac untuk menghubungi Bianka karena aku membutuhkan sesuatu dari gadis itu. Untuk apa aku membutuhkan orang yang menjadi rival sekaligus generasi selanjutnya dari Madame Lilia? Aku akan memberitahukan itu ketika rapat berlangsung nanti. Tapi aku cukup salut kepada Isac, karena ketika ia sedang panik di tengah perjalanan tadi, ia masih dapat menghubungi Bianka meski dengan kalimat yang cukup terbata. “Maafkan aku, Sayang. Aku sedang panik sehingga tidak menyadari kecantikanmu yang terpancar di tempat ini, hehe.” Aku menggaruk belakang telinga yang tidak gatal, Bianka hanya terkekeh melihat tingkahku. Memang tidak biasanya aku bersikap seperti ini, hanya satu atau dua kali ketika menyangkut sesuatu yang penting baru aku merasa panik. Obrolan canggungku dengan Bianka harus terusik karena lonceng pintu Red Coffee kembali berbunyi yang membuatku dan Bianka menoleh ke arah pintu dengan serentak. Isac yang dari tadi tertinggal di mobil, masuk ke Red Coffee dengan langkah gemetar. Wajahnya terlihat pucat seperti orang yang akan pingsan. Ia melangkah sempoyongan sambil membawa tas yang terlihat cukup berat. Setelah akhirnya Isac masuk, lengkap sudah agen yang menangani kasus penculikan di pusat kota. Aku, Nova, Bianka dan Isac saling pandang, saling memberikan kode untuk memulai rapat. Sebenarnya aku ingin melakukan pertemuan di ruang depan Red Coffee, tetapi keadaan kedai yang belum sepenuhnya sepi membuat rapat harus dilakukan di ruang belakang. Tapi aku juga berpikir, jika terus menerus melakukan rapat di saat kedai tengah ada pengunjung, maka akan ada kemungkinan jika pengunjung mulai curiga, “kenapa setiap ada orang-orang ini berkumpul, mereka selalu berbincang secara pribadi di ruang belakang?” Aku takut ada pikiran seperti itu dari pengunjung Red Coffee. Akhirnya aku mencoba untuk tenang, mengambil nafas panjang, lalu duduk di depan Bianka meregangkan pikiranku yang tegang. Aku dan Isac memesan kopi, bersikap seakan-akan menjadi pengunjung Red Coffee pada umumnya. Obrolan ringan mengalir di antara empat orang agen yang tengah menunggu seorang pengunjung untuk pulang. Setelah sekitar dua puluh menit aku menunggu pengunjung tersebut keluar dari Red Coffee, akhirnya kedai milik Nova ini kosong dan ia menutup pintu depan kedai setelah pengunjung yang baru saja keluar sudah tidak terlihat lagi dari kedai. Maksudku, bukan hanya keluar dari kedai, melainkan juga telah melangkah jauh hingga ia tidak dapat melihat jika Red Coffee ditutup setelah ia meninggalkannya. “Kenapa kau harus menunggu pengunjung terakhir pergi, Madame? Seharusnya kita dapat memulai rapat dari tadi bukan? Aku lihat ketika sampai di Seaside Bar tadi sore kau terlihat panik?” tanya Isac. Nova dan Bianka yang sadar akan apa yang aku lakukan hanya tersenyum tipis. Mereka melirik ke arahku tanpa kata, namun tatapan mereka mengisyaratkan jika aku harus menjelaskan sendiri kepada Isac tentang tindakanku. “Tidak ada sesuatu yang istimewa, Isac. Aku hanya tidak ingin membuat pengunjung kedai ini curiga. Aku harus mengalahkan egoku dan belajar menyesuaikan diri dengan keadaan. Ketika para agen rapat di kedai ini, kebanyakan mereka memilih waktu ketika kedai baru saja buka di pagi hari atau malam ketika kedai telah tutup. Red Coffee berbeda dengan Seaside Bar yang sepi, atau Spice Bar milik Adam yang memiliki banyak ruang di belakang,” terangku. Isac hanya menganggukkan kepala, aku tidak tahu apakah dia benar-benar paham atau tidak dengan ucapanku. Tapi setidaknya aku telah berusaha menjelaskan kepadanya. “Baiklah, Lilia. Sekarang tunjukkan apa yang kau dapatkan sehingga merasa panik,” ucap Nova yang tengah duduk di samping Bianka. Tanpa aku suruh, Isac segera membuka tas berat yang ia bawa, lalu mengeluarkan laptop miliknya dan meletakkan di atas meja. “Aku tahu kau akan membutuhkan benda ini, Madame. Karena itu aku berlari ke dalam Seaside Bar ketika akan berangkat ke sini.” Isac tersenyum lebar seakan puas bahwa pemuda itu menemukan celah keteledoranku. Aku semakin merasa malu karena tidak mengingatkan Isac jika aku akan membutuhkan laptop miliknya. “Ah, kau sangat peka, Isac. Malam ini tidurlah denganku sebagai hadiah,” sahutku manja. “Maaf, Madame. Aku tidak berminat, hahaha.” Aku terkejut, Isac ternyata sudah mulai berani menjawab leluconku. Pemuda ini tidak lagi canggung dan merasa takut, bahkan mungkin sudah mulai terbiasa dan mulai tahu cara bersikap di depanku. Satu sisi aku senang, karena aku tidak ingin selamanya menciptakan ketakutan di dalam pikiran Isac. Aku hanya ingin mengajarkan cara bersikap dan menjaga batas antar tanggung jawab kepada agen muda ini. "Madame, lepaskan lensa kontakmu," ucap Isac yang membuatku sadar jika selama ini aku tengah mengenakan lensa kontak pintar buatannya. "Ah, aku benar-benar ceroboh hari ini," batinku. Aku segera mengeluarkan wadah lensa kontak dari dalam tas, melepas lensa kontak yang terpasang di mataku lalu meletakkannya ke dalam kotak. Sebuah lampu berwarna hijau berkedip pelan ketika lensa kontak perekam telah masuk ke dalam cairan khusus yang ada di dalam wadah pertanda lensa itu sedang diisi ulang. Aku takjub dengan pemandangan futuristik yang ada di depanku, lagi-lagi aku dibuat kagum dengan hasil kerja Isac. "Madame, berikan padaku kotak lensa itu!" seru Isac membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan segera memberikan kotak itu kepada Isac dengan canggung. Dua orang yang lain juga tidak kalah takjub, mereka belum pernah melihat benda yang kupakai ini sebelumnya. "Alat baru, Isac?" tanya Nova antusias. "Benar, masih prototype. Aku masih harus menyempurnakannya," jawab Isac datar sambil menyambungkan kotak lensa pada komputer miliknya. Kotak lensa tersambung ke dalam komputer milik Isac. Ketika dibuka, terdapat banyak rekaman yang telah aku ambil dari markas Hook. Aku berdiri di belakang agen lain yang duduk di depan komputer. Dari punggung mereka, aku dapat melihat jika para agen sangat antusias dengan bukti yang aku dapatkan dari sana. Tapi baru rekaman pertama dimainkan, aku melihat tangan Isac bergetar hebat. Tangan Nova dan Bianka sama-sama mengepal erat, dari belakang punggung mereka aku dapat melihat jika tatapan mata para agen tampak sangat marah ketika memperhatikan rekaman yang aku dapatkan. “Gila! Ini gila! Video ini jauh lebih jelas dari rekaman CCTV yang kita dapatkan dari informanmu, Madame!” Bianka tampak sangat marah. Video yang tengah diputar adalah ketika aku berdiri di depan sel dan merekam satu persatu tatapan kosong tanpa nyawa dari para tahanan. “Tidak bisakah kita menyelamatkan mereka semua? Aku tidak sanggup melihat semua ini,” ucap Isac. Pria polos itu masih berpikir naif, mungkin di dalam kepalanya, ia merasa menjadi pahlawan yang mampu menyelamatkan semua orang. “Sayangnya tidak, Isac. Untuk menyelamatkan dua korban saja, kita harus mengeluarkan uang sebesar 20 juta dolar. Jika kita ingin menyelamatkan semuanya, mungkin kita harus menggunakan seluruh anggaran The Barista dari pemerintah selama beberapa tahun,” sahut Bianka yang telah menggunakan uang pribadinya sebanyak 20 juta dolar untuk menyelamatkan dua orang korban. Rekaman berlanjut di mana aku menyorot dengan jelas sudut-sudut ruang tahanan yang penuh dengan kotoran manusia, dan juga tembok-tembok yang penuh dengan bekas darah. Di beberapa sudut juga terdapat bangkai busuk yang aku perkirakan merupakan mayat manusia yang dibiarkan ada di sana. Entah apa maksud dari anggota Hook yang tidak membuang atau mengurus mayat korban dengan layak, aku juga belum mengetahui hingga serinci itu. “A-aku tidak sanggup!” Isac menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kiri, lalu ia berjalan sempoyongan menuju toilet yang berada tidak jauh dari ruangan Nova. Dari luar aku dapat mendengar jika Isac memuntahkan isi perutnya beberapa kali. Kali ini, aku tidak akan mengejek Isac, karena aku dan para agen pun merasakan mual yang sama. Hanya saja, pengalaman di lapangan membuat mentalku dan dua agen lain lebih kuat daripada Isac. Aku dan dua agen lain saling tatap dengan pandangan penuh rasa prihatin ketika Isac berada di kamar mandi. Bukan, bukan prihatin kepada Isac, melainkan prihatin dengan kondisi para korban. Tidak berapa lama, akhirnya Isac kembali duduk di depan komputer. “Kau sanggup melanjutkan ini, Isac?” tanya Nova sambil menepuk bahu Isac. “Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Agen Nova,” jawab Isac lemas, mungkin isi perutnya terkuras habis di kamar mandi. “Kita tidak perlu melanjutkan rekaman ini, setidaknya kita semua sudah tahu apa yang terjadi di sana dan bukti-bukti ini sudah cukup untuk menjatuhkan mereka ke dalam penjara seumur hidup. Aku ingin kalian melihat gambar yang berhasil aku tangkap. Isac, aku minta tolong kepadamu.” Aku menunjuk ke arah layar komputer, di bagian luar pemutar video di mana ada sebuah folder yang bernama Photo. Isac segera membuka folder itu dan menemukan ada banyak gambar lembaran dokumen yang aku tangkap. “Coba kau periksa satu persatu foto itu,” ucapku ketika menunjuk salah satu foto di dalam folder itu menggunakan tanganku. Isac segera mengarahkan pointer mouse ke arah gambar yang aku tunjuk dan membukanya. “Ini...” Nova mendekatkan wajah ke layar komputer. “Zayn tidak mengizinkanku membawanya. Aku rasa dokumen itu sangat penting,” sahutku yang berdiri di belakang Nova. “Isac, biarkan aku melihat dokumen itu sendiri!” Nova mendorong perlahan tubuh Isac hingga membuat Isac berdiri, lalu Nova duduk menggantikan Isac di depan komputer. Dengan cepat, Nova menggeser satu persatu gambar. Hal itu membuat agen lain tidak dapat melihat dengan jelas isi dokumen yang aku tangkap. “Mereka tidak hanya berasal dari Pusat Kota, melainkan dari seluruh negeri. Ini mengerikan, korban mereka sangat banyak. Mereka telah banyak melakukan transaksi!” Nova menggerutu seakan tidak peduli dengan agen lain di sekitarnya. “Kau membutuhkan waktu sendiri, Kak Nova?” sahut Bianka sambil memperhatikan wajah Nova yang terlihat sangat fokus dan serius. “A-ah, iya, maafkan aku. Aku butuh waktu sebentar,” jawab Nova terbata. Sepertinya ia sedang benar-benar fokus hingga tidak dapat diganggu. Akhirnya aku, Bianka dan Isac menyingkir dan mengambil tempat duduk lain di Red Coffee. Sejenak, kami bertiga memperhatikan Nova yang terus fokus pada layar komputer. Aku pun hanyut dalam lamunan kala melihat Nova. Tapi Bianka tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Hei, Madame, apa yang membuatmu tiba-tiba bersikap seperti ini? Kenapa kau berubah? Bukankah kau biasa bermain dengan nyawa manusia?” Aku terkejut ketika Bianka memanggil namaku. “Ada sesuatu yang tidak terekam, Bianka. Aku melihat seseorang yang masih memiliki nyawa di tempat itu. Maksudku, ada seorang gadis muda dengan tatapan mata yang masih memancarkan harapan. Aku tidak ingin menghancurkan harapan gadis muda itu untuk tetap hidup. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar dua anak yang telah kita selamatkan?” “Mereka masih ada di bawah pengawasan Arena, Madame. Sebentar lagi mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Tapi aku dan para anggota Arena harus memastikan bahwa mereka tidak akan terculik lagi nantinya. Karena itu, aku harus memberikan bekal yang cukup kepada mereka,” terang Bianka. Isac yang duduk di sampingku hanya diam, ia tidak terlalu mengerti ke mana arah obrolanku dengan Bianka. “Ketemu! Sudah ketemu!” Suara kencang Nova membuyarkan suasana syahdu yang tercipta dari obrolanku bersama Bianka. Aku, Bianka dan Isac segera berlari ke arah Nova. Ketika melihat ke arah layar komputer, aku menyadari jika dokumen-dokumen yang aku foto kini hanya tersisa sedikit dan berada di folder lain. “Kemana semua dokumen lain?” tanyaku. Aku khawatir jika Nova menghapus berkas yang lain. “Tenanglah, aku sudah menyalin berkas aslinya. Ini, perhatikan!” Nova membuka salah satu berkas foto itu, dan aku melihat jika foto itu berisi data dari korban yang sedang kuselidiki. “Aku sudah memilah data korban yang harus kita selamatkan. Sayangnya dari tujuh orang korban penculikan di pusat kota, hanya tiga orang yang masih ada di sana.” Nova menggeser tampilan ke berkas selanjutnya. “Dalam dokumen ini kita bisa melihat status para korban. Sayangnya, beberapa korban yang kita cari telah meninggal dan organ dalam mereka telah diambil. Lihatlah!” Nova menunjukkan data korban yang telah meninggal. Di sana tertulis jika jantung korban itu telah dijual. Aku hanya dapat mencengkram sandaran kursi yang ada di depanku karena merasa marah pada para tersangka. Korban harus merelakan nyawa mereka demi keuntungan pribadi tersangka. Marah, aku benar-benar marah. “Lilia, sekarang sudah jatuh korban yang tidak sedikit, kau akan menunggu berapa lama lagi? Apa kau menunggu semua orang mati di sana?” tanya Nova tanpa menoleh ke arahku. Tangan Nova berhenti, ia tidak lagi menggerakkan pointer mouse atau menekan keyboard. Ia benar-benar berhenti bergerak. “Tapi, jika kita harus menyelamatkan mereka, kita tidak memiliki uang yang cukup, Nova!” Aku membentak Nova dengan nada tinggi. Aku tahu, aku cukup naif kali ini. Aku seakan menjadi penjahat yang tidak memikirkan nasib para korban. “Kau bilang jika aku memiliki cara kerja yang lambat, Lilia! Tetapi lihat dirimu sekarang! Kau juga lambat! Kau naif! Jika seperti ini, lebih baik aku segera meminta kepolisian untuk menggerebek tempat itu. Kita sudah mendapatkan informasi yang cukup bukan?” Nova balik membentakku. “Tapi jika kita menangkap mereka sekarang, rantai besar di belakang akan putus, Nova! Kita akan kehilangan kesempatan untuk menangkap ikan besar!” Aku masih bertahan pada pendirianku yang ingin menangkap para penjahat itu hingga ke akarnya. “Apa kau punya cara?” Ucapan terakhir Nova membuat suasana menjadi hening. Tidak ada jawaban dariku, maupun argumen lain dari Bianka dan Isac. Dua agen muda itu hanya menonton para tetua ini memperdebatkan ego masing-masing. “Beri aku waktu tiga hari. Jika dalam tiga hari aku tidak dapat menyelamatkan para korban, kau boleh menggerebek tempat itu.” ucapku sambil melangkahkan kaki keluar dari Red Coffee. Mungkin Nova dan yang lain akan berpikir jika aku mencoba lari dari masalah, aku merajuk karena kalah dari debat melawan Nova. Tapi tidak, aku keluar dari Red Coffee, berjalan kaki menuju ke satu tempat yang aku yakin akan memberikan bantuan kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD