Catatan 38

1483 Words
Dua hari berselang sejak aku datang ke Kota Industri dan hari ini adalah hari eksekusi di mana aku harus bertanggung jawab atas apa yang keluar dari mulutku beberapa hari lalu. Lagi, aku tidak akan bosan untuk mengulang kalimat “bertanggung jawab atas perkataanku” untuk menunjukkan rasa penyesalan yang teramat sangat atas kecerobohanku. Ketika pulang dari Kota Industri kemarin, Zayn marah besar padaku karena lagi-lagi ia menganggap aku bertindak sesuka hati. Belum lagi kemarin aku pulang dengan tangan kosong, menyebabkan Zayn semakin marah padaku. Hari ini adalah penentuan, apakah aku akan dapat masuk lebih dalam di organisasi Hook atau justru misiku gagal karena tidak sanggup mengatasi kekacauan yang terjadi? Aku tetap berharap sesuatu yang terbaik dan keajaiban dapat terjadi hari ini. Pagi ini aku dan Zayn berangkat bersama rombongan Hook dari Kota Nelayan demi menyerbu Kota Industri. Sehari sebelumnya aku sudah memberikan briefing kepada Zayn dan disampaikan kepada seluruh anggota Hook yang akan mengikuti operasi ini mengenai apa saja yang akan dilakukan ketika sampai di Bounti Bar. Aku berangkat satu mobil bersama Zayn dan Alea menggunakan sedan hitam kesayangan Zayn, diikuti oleh beberapa anggota lain yang menggunakan SUV dengan warna senada. Aku yang duduk di kursi belakang memperhatikan Alea dan Zayn yang duduk di kursi depan dengan marah sekaligus khawatir. Aku marah, karena akhirnya aku terjebak pada situasi di mana benar dan salah mejadi rancu. Meski sudah memiliki rencana agar semua berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan seperti memberitahu Max tentang penyerangan ini, tetapi rasa ragu di dalam pikiranku masih saja berkecamuk. Ketika rombongan mobil hitam ini mulai meninggalkan Kota Nelayan menyusuri jalur selatan yang penuh dengan pemandangan indah hutan pesisir dengan hamparan laut indah yang memanjakan mata, jantungku terasa berdebar dan pikiranku jauh lebih gundah. Perasaan ragu yang belum pernah aku rasakan ketika bekerja di luar negeri kini memenuhi pikiranku. Apakah aku melakukan sesuatu yang benar? Apakah memang kebenaran yang sedang aku bela sekarang? Apakah keputusanku untuk menyerbu Bounti Bar itu benar? Apakah membongkar identitas Max sebagai seorang mata-mata juga benar? Apakah jika Max benar-benar mati dan rencanaku berjalan lancar maka Max bisa disebut pahlawan? Apakah jika Max mati dan rencanaku gagal maka pengorbanan Max sia-sia? Kegundahan di dalam pikiran membuatku, seorang Madame Lilia yang biasanya banyak berbicara menjadi diam sepanjang perjalanan. Aku terus memandang ke depan, mengabaikan hamparan pemandangan indah di kanan dan kiri dan hanyut di dalam pikiranku sendiri. Sesekali sayup sayup aku dapat mendengar perbincangan yang terjadi di kursi depan antara Zayn dan Alea, tetapi aku tidak dapat mendengar dengan jelas karena kepalaku masih berputar memikirkan segala kemungkinan. Aku mencoba tenang, tidak ingin orang lain dapat melihat kegelisahanku. Dalam panjangnya perjalanan menuju Kota Industri, sekilas aku teringat ketika aku bekerja di luar negeri, aku dapat dengan mudah mengorbankan warga sipil dan tidak merasa berdosa setelahnya. Tetapi saat aku bertemu dengan orang-orang yang berada di dalam penjara Hook, terutama ketika bertemu dengan gadis bermata terang itu, rasa kemanusiaanku berangsur bangkit dan aku tidak tega untuk mengorbankan orang lain lagi. Meski begitu, ketika aku berada dalam misi “pengumpulan koleksi” beberapa saat lalu, aku merasa lemah, tidak berdaya menyelamatkan para korban. Ada rasa penyesalan di dalam diriku ketika melihat dua orang remaja berteriak di kursi belakang meminta tolong. Apakah sekarang aku menjadi orang yang lembek? Kakiku benar-benar berat untuk keluar dari mobil ketika sampai di Kota Industri. Namun bagaimanapun aku harus tetap keluar karena Alex sudah menunggu kedatanganku dan rombongan Hook dan berdiri di luar mobil. “Yo, Madame Lilia! Ternyata kau bergabung dengan operasi ini ya?” sapa Alex ketika melihatku muncul dari balik pintu mobil milik Zayn. “Aku adalah orang penting di sini bukan? Maka dari itu aku harus ikut,” sahutku sambil mengangkat bahu dan memberikan senyum ramah kepada Alex untuk menutupi perasaan gundah di dalam pikiranku. “Selamat datang, Tuan Zayn.” Alex sedikit membungkuk. “Maafkan aku, ini semua karena kecerobohanku yang tidak menyadari jika Max adalah agen pemerintah. Jika aku mengetahui hal itu sejak awal, aku tidak akan pernah datang ke tempat itu,” ucap Alex sambil tetap membungkuk sopan. Hal itu menunjukkan jika ibu-ibu cerewet ini memang memiliki posisi di bawah Zayn, terlihat juga dari Zayn yang menatap rendah ke arah Alex. “Berdirilah,” sahut Zayn sambil memegang pundak Alex. “Kebenaran tentang rekanmu Max masih belum dapat dibuktikan. Makanya aku datang bersama rombongan hari ini untuk mengetahui kebenaran tentang Max. Tenang saja Alex, jika memang ternyata Max hanyalah seorang bartender biasa, kita sudah memiliki orang yang sanggup bertanggung jawab untuk menyerahkan nyawanya.” Zayn melirik ke arahku tajam. Tatapan Zayn yang tertangkap mataku membuat debaran jantungku menjadi semakin kencang. Aku yang biasanya tidak takut akan kematian, dalam sepersekian detik terbayang akan rasa sakit yang mungkin aku rasakan ketika mendekati ajal. Aku hanya menarik nafas perlahan, meyakinkan diriku jika nanti aku akan pulang dengan selamat dan semua masalah akan selesai tanpa ada korban jiwa. Aku tahu jika apa yang aku katakan ini cukup egois, aku hanya berusaha menghibur diri. Aku tidak menjawab apa yang Zayn katakan kepadaku karena tahu jika apapun yang keluar dari mulutku akan dimentahkan oleh Zayn. Aku hanya membalas lirikan Zayn dengan tatapan mata tajam ke arahnya. Adu ego, adu gengsi, dan adu pride dalam diam sedang terjadi antara aku dan Zayn atas dasar rasa tidak percaya dan perbuatanku yang terlihat semena-mena. Alex yang masih belum mengerti situasi yang terjadi terlihat bingung serta menatapku dan Zayn bergantian sambil mengangkat sebelah alisnya menunjukkan raut muka penasaran dan berusaha ia buat polos. Melihat tingkah laku Alex, aku hanya dapat tertawa kecil dan berkata di dalam pikiranku, “ayolah, Alex. Kau bukanlah anak di bawah umur. Berhentilah bersikap berlebihan dan sesuaikan usiamu dengan tingkah lakumu!” Akhirnya aku, Zayn, Alea, dan Alex berjalan kaki menuju Bounti Bar ditemani dengan suasana Kota Industri dengan langit yang mulai merah karena matahari mulai tenggelam. Merahnya langit di Kota Industri disebabkan karena banyaknya polusi udara akibat dari asap pabrik yang merajalela di kota ini. Rombongan Hook yang lain hanya menunggu di sekitar bar, menunggu perintah dari Zayn jika memang tenaga mereka dibutuhkan nantinya. Beberapa menit berjalan kaki, akhirnya empat orang Hook ini tiba di Bounti Bar. Saat ini keadaan Bar sedang sangat ramai karena akhir pekan. Terlihat dari belakang meja bar, Max tengah kewalahan melayani banyaknya pengunjung yang memesan minuman. Layar televisi di bar ini juga sedang memutar olahraga, namun kerasnya musik membuat suara tayangan olahraga itu tidak terlalu terdengar. Suasana mencekam mulai tercipta di dalam Bounti Bar ketika aku dan tiga orang Hook ini masuk ke dalamnya. Max yang sibuk bekerja di belakang bar menyadari kehadiranku dan tiga orang lain ini. Aku dapat melihat jika Max berusaha sebaik mungkin menutupi perasaan grogi pada dirinya, tetapi mataku dapat melihat jika tangan Max sedikit gemetar ketika memegang peralatan Bar. Alex dan aku yang memang sudah mengenal Max sebelumnya juga berusaha bersikap wajar dengan datang ke depan bar sambil menyapa pria afro tersebut. Max pun masih berusaha menanggapi sapaanku dan Alex dengan ramah, meski tatapan matanya terlihat sedikit berbeda jika dibandingkan dengan biasanya. “Yo, Max. Kau berjanji akan menyajikan Fireball Apple Cider kepadaku dan Madame Lilia tempo hari bukan? Sekarang aku dan Madame Lilia sedang membawa teman dan ingin minuman itu segera tersaji untuk kami as soon as possible. Kau bisa mengatasinya?” Suara Alex masih tetap terdengar centil dan ceria seperti biasa. Tidak tampak ada sesuatu yang mencurigakan dari Alex. Aku cukup salut dengan kemampuannya berpura-pura. Aku dan Max saling beradu pandang dalam sepersekian detik. Sama sepertiku, Max juga menyadari jika ia harus menyembunyikan pertemuan denganku sebelumnya dan berlagak belum pernah menyajikan Fireball Apple Cider padaku. Dengan senyum ramah yang sedikit ia paksakan, Max berkata, “sure, Alex. Aku sudah berjanji kepada kalian bukan?” “Buatkan juga dua gelas untuk temanku di belakang.” Alex menunjuk ke arah meja tempat Zayn duduk. Max melirik sekilas ke arah Zayn dan Alea, kemudian kembali melihat Alex sambil mengedipkan sebelah mata dengan manis pada perempuan berambut pirang di sebelahku. “Semua bisa diatur, Alex. Sekarang tunggulah di sana,” sahut Max. Tidak ada perbincangan serius yang terjadi selama aku dan tiga orang dari Hook selama menunggu waktu yang tepat untuk melakukan eksekusi terhadap Max. Tapi ada satu hal yang terasa seperti waktu berputar kembali hari ini. Aku memang yang merancang rencana untuk menunggu waktu tutup Bounti Bar, agar tidak ada orang lain yang menghalangi dan agar tidak menimbulkan kegaduhan berlebih. Dan hal itu sama seperti ketika aku datang sendiri ke tempat ini, di mana aku menunggu bar akan tutup untuk berbincang dengan Max. Ketika tengah malam tiba, suasana Bounti Bar yang awalnya datar mulai terasa sangat mencekam. Tidak ada pengunjung lain yang tersisa selain Zayn dan kelompoknya. Mulai saat ini, dadaku mulai terasa semakin sesak. Aku benar-benar ada di antara benar dan salah. Aku berdiri di antara The Barista dan Hook yang saling bertolak belakang. Dalam keadaan bar yang kosong seperti ini, sepertinya Max juga mulai bersiap-siap jika ada serangan kejutan yang tertuju padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD