Catatan 39

1637 Words
Suasana benar-benar hening ketika tengah malam datang di Bounti Bar yang terletak di kawasan bawah tanah Kota Industri ini. Namun malam di kota Industri tidaklah gelap, ketika aku melihat ke arah luar, aku menyaksikan langit menyala merah yang tergambar jelas akibat perpaduan dari lampu-lampu pabrik dan polusi udara yang terlalu pekat. Suara lalu lintas yang sepi, hanya satu atau dua mobil yang melintas di jalan raya memecah keheningan malam ini. Suara gelas kaca yang saling berbenturan di belakang bar pun ikut bernyanyi merdu membuat suasana malam ini menjadi semakin mencekam. Zayn dan rombongannya pun masih belum beranjak dari bar ini, masih menunggu saat yang tepat untuk melakukan eksekusi terhadap orang yang mereka duga sebagai agen mata-mata pemerintah yang tengah sibuk membersihkan peralatan bar. Aku yang duduk di antara tiga orang Hook ini hanya dapat menahan nafas, menunggu apa yang akan terjadi setelah ini. Alea yang duduk di sudut terjauh dari tempatku terlihat sedang memainkan ponselnya. Aku tidak tahu, apakah dia sedang menghubungi seseorang atau hanya menggulir sosial media. Alex yang duduk tepat di sebelahku juga diam namun sangat jelas terlihat jika wanita berambut pirang ini sedang gelisah. Ia sibuk memainkan jari tangannya pada gelas alkohol yang ada di genggamannya. Semakin lama aku menunggu eksekusi, udara di sekitarku semakin terasa sesak. Tidak, udara di sini tidak benar-benar sesak, tetapi jantungku yang berdebar semakin kencang membuatku merasa kesulitan untuk menghirup oksigen di sekitarku. Tidak dapat dipungkiri jika aku juga merasa gelisah, detik demi detik terasa sangat lama saat ini. Selang beberapa menit, ada seorang pria paruh baya yang datang ke tempat ini dengan langkah sempoyongan. Pria itu datang ke depan bar sambil menggebrak meja dan berteriak tidak jelas. Aku yang berada cukup jauh dari orang itu merasa terkejut akibat nyaringnya suara meja di antara suasana hening tengah malam. Namun anehnya, Max yang berdiri di belakang bar sama sekali tidak terkejut dan justru terlihat santai. Dari jauh aku memperhatikan tingkah laku pria yang mungkin sedang mabuk tersebut. “Bartender sial*n! Minuman di tempat ini sama sekali tidak enak! Ah… beri aku satu gelas jager bomb!” bentak pria itu. Max yang berdiri di belakang bar hanya tersenyum ramah, lalu berkata kepada pria itu, “maaf, Tuan, tapi bar ini akan segera tutup, kembali lah esok hari.” Pria paruh baya itu terlihat tidak dapat menerima apa yang dikatakan oleh Max. Ia terus menerus menggebrak meja, memaksa Max menuruti permintaannya. Dengan santai Max berjalan keluar dari singgasananya, lalu menuntun pria paruh baya itu keluar dari bar. Langkah Max dan pria itu terhenti sebelum mereka mencapai pintu bar. Semua orang yang ada di dalam Bounti Bar melihat ke arah mereka, kecuali aku yang sibuk memperhatikan sekitar. Aku masih belum tahu apa yang sedang terjadi di depan mata, pandanganku tertutup punggung kedua pria yang tidak bergerak di tengah ruangan itu. Beberapa detik kemudian, secara tiba-tiba Max menendang pria itu hingga tersungkur ke luar bar. Aku mendengar suara sebuah benda logam jatuh tidak jauh dari tempat Max berdiri. Aku memicingkan mata, melihat dalam remang-remang sesuatu yang menetes dari tangan Max. “Darah!” Aku bergumam di dalam pikiranku. Tangan kiri Max mengucurkan darah cukup deras dan ada sebilah pisau tergeletak tepat di bawahnya yang terlihat mulai basah karena tetesan darah dari tangan Max mulai mengenai pisau tersebut. Aku melirik ke arah Zayn di mana pria itu tersenyum tipis sambil melihat lekat ke arah Max. Aku mengikuti pandangan Zayn ke arah Max dan melihat jika pria afro itu masih terlihat sangat santai serta tidak beranjak dari tempatnya berdiri. “Hahhh… dasar! bekerja di tempat para preman seperti ini memang sulit!” gerutunya seraya mengambil sebuah saputangan di kantong sebelah kanan celananya dan ia melilitkan saputangan tersebut ke tangan kirinya. Kemudian dengan santai Max mengambil pisau yang basah dengan darah itu dan berjalan kembali ke belakang bar. Sebuah lirikan tajam mengarah kepada Zayn ketika Max lewat di depannya. Namun langkah Max kembali terhenti ketika langkah kaki beberapa orang terdengar mendekat dari luar bar miliknya ini. Empat orang berpakaian serba hitam terlihat berdiri di depan pintu Bounti Bar sambil membawa senjata tajam di tangannya. Max yang masih tetap berdiri menghadap ke arah bar, sepertinya ia mulai menyadari jika Bounti Bar sedang diserbu. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Max santai tanpa menoleh kepada orang yang ia ajak berbicara. Aku hanya melihat dari tempatku duduk, berlagak seakan aku adalah salah satu dari mereka. Zayn yang dari tadi hanya tersenyum, bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan ke arah Max. Ia mendekat langkah demi langkah dengan santai, seakan ia sudah menguasai situasi di tempat ini. Apa yang Zayn lakukan saat ini tampak seperti ia sudah yakin bahwa Max adalah agen mata-mata. “Entahlah, Max,” ucap Zayn sambil terus melangkah. Max tetap melihat ke depan, tidak peduli dengan Zayn yang berjalan perlahan di sampingnya. “Aku adalah orang yang suka bergurau, namun gurauanku terkadang serius. Aku tertarik dengan bar milikmu yang selalu terlihat ramai. Bagaimana jika kau serahkan bar ini padaku?” Zayn berdiri di belakang Max. “Begitukah?” Max berbalik, dan sekarang ia dan Zayn saling berhadapan. “Bagaimana jika aku menolak?” Max melipat tangannya ke depan, sambil menatap Zayn dengan penuh intimidasi. Para anggota Hook yang dari tadi berdiri di depan bar, perlahan berjalan masuk dan sekarang posisi Zayn benar-benar terlihat sudah menguasai tempat ini. Senjata tajam yang dibawa para bawahan Zayn memantulkan kilatan cahaya tajam dari lampu bar yang menyala redup. “Kau seharusnya tahu apa akibatnya jika menolak,” sahut Zayn sambil mundur perlahan, beriringan dengan anggota Hook yang maju mendekat ke arah Max dan sekarang berdiri tepat di samping Zayn. Suasana di tempat ini terasa semakin tegang. Aku dan dua wanita Hook di sampingku hanya menonton pertunjukan yang tersaji di depan mata. Ada perasaan khawatir yang aku rasakan, sebenarnya aku benar-benar ingin memberi bantuan kepada Max, tetapi jika aku melakukan itu maka penyamaranku akan terbongkar. Dalam tekanan intimidasi yang tinggi di ruangan ini, perasaan gundah di dalam pikiran kembali menguasai kepalaku. “Apakah yang aku lakukan benar-benar tepat? Apakah aku akan menyaksikan kematian rekanku sendiri di tepat di depan mata? haruskah semua ini terjadi?” Aku berusaha tetap bersikap wajar meskipun pikiranku berkata sebaliknya. Di balik jantungku yang berdebar kencang dan tanganku yang gemetar, Max di sana tetap terlihat santai dan percaya diri bahwa keadaan masih berada di dalam kendalinya. Pria afro itu masih tetap tersenyum dan menatap rendah ke arah Zayn yang membawa bala bantuan untuk mengintimidasinya. Di hadapan Zayn, Max tiba-tiba menunduk sambil tertawa perlahan, suara tawanya terdengar dari tempatku duduk. Zayn dan bawahannya terlihat bingung dengan Max yang tertawa. Salah satu bawahan Zayn tampak tersulut emosi dengan apa yang dilakukan oleh Max. Ia berniat maju, tapi dihalangi oleh Zayn yang langsung memberikan isyarat tangan kepada bawahannya. Sepertinya Zayn masih ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh pria afro di hadapannya. Max melirik ke arahku selama sepersekian detik sambil tetap tersenyum, lalu melirik ke arah Alex yang duduk di sebelahku. Sebagai seorang agen, aku tahu apa yang ada di dalam pikiran Max. Dalam diam ia seakan berterima kasih karena telah diperingatkan. Dengan satu tarikan nafas panjang, tiba-tiba Max melayangkan tinju dengan sangat keras yang tepat mengenai wajah Zayn sehingga membuat pria berwajah timur tengah itu terpelanting ke belakang, namun bawahannya dengan sigap menangkapnya. “Maaf saja, Kawan. Aku tidak sudi memberikan tempat ini kepada preman rendahan seperti kalian!” ucap Max sambil mengusap pergelangan tangan kanannya dengan tangan kiri yang terbalut saputangan. Zayn segera berdiri, kemudian mengukir senyum sinis di wajahnya. Bawahan yang berdiri di kanan dan kiri Zayn sudah tersulut, mereka ingin segera maju dan menghajar pria afro yang berdiri sombong di depannya. Namun lagi-lagi Zayn menghentikan bawahannya dengan merentangkan tangan, menghalangi siapapun yang ingin maju. “Aku ingin berbincang baik-baik denganmu, Tuan. Tetapi ternyata kau memberikan sambutan terlalu ramah. Aku bisa saja menghajarmu sekarang, tapi aku rasa tiga wanita yang sedang duduk di sana tidak ingin ada pertunjukan kekerasan di hadapan mereka,” sahut Zayn sambil menunjuk ke arahku. Max kembali melirik ke arahku sambil tetap tersenyum, sesaat kemudian ia berbalik dan berjalan menuju ke belakang bar. “Benarkah begitu? Bagaimana jika kita minum lagi?” Max terlihat sedang mencari sesuatu di belakang sana, ia berjongkok kemudian kembali berdiri, melihat ke kanan kiri kebingungan namun tidak menemukan apapun. Zayn dan bawahannya pun ikut bingung dengan apa yang Max lakukan, ia saling tatap dengan bawahannya, namun tetap tidak melakukan apapun. Dalam sekejap mata, tiba-tiba sebilah dagger (pedang pendek berukuran sepanjang pisau dapur) melayang ke arah Zayn. Beruntung pria berjanggut tebal itu memiliki reflek yang bagus sehingga dapat menghindarinya. Namun sayang, dagger itu justru menancap tepat di dad* sebelah kiri orang yang berdiri di belakang Zayn. Pria itu langsung tersungkur, namun ditangkap oleh rekan yang ada di sebelahnya. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat baju pria yang tertusuk itu mulai basah, aliran darah yang keluar dari tubuhnya mulai tercetak meski warnanya tidak terlihat jelas karena pria itu mengenakan baju hitam. Nafas pria itu tampak mulai tersengal seiring bajunya yang terlihat semakin basah. Tangan pria itu memegang dad* sebelah kirinya sambil gemetar. Rekan-rekan pria itu tidak dapat melakukan apapun, tampak ada raut wajah panik tercetak jelas pada bawahan Zayn. Mereka saat ini sedang dalam posisi serba salah. Jika dagger itu dicabut, maka luka pria itu akan semakin terbuka dan pendarahan akan semakin parah, namun jika tidak dicabut, pria itu akan meregang nyawa perlahan. Tidak lama setelah itu, pria tersebut tidak bergerak lagi. Nyawa seorang manusia meregang tepat di hadapan mataku. Entah aku harus senang atau sedih dengan kematian salah satu anggota Hook itu. Semua orang di tempat ini hanya dapat mematung, tidak menyangka jika sebuah perlawanan akan dilakukan dengan cara seperti ini. Max seakan tidak ragu untuk membunuh orang lain. Pria afro itu hanya tersenyum sambil merentangkan tangan kanannya ke depan. Lagi, Max melirik ke arahku sambil tersenyum. Pria itu seakan ingin membuktikan jika dirinya akan keluar hidup-hidup dari keadaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD