Catatan 40

1906 Words
Melihat seseorang mati di hadapanku sebenarnya sudah biasa bagi agen intelijen sepertiku. Namun ketika melihat rekan satu profesi membunuh orang lain tanpa merasa berdosa, jujur aku belum berpengalaman tentang hal itu. Belum lagi Max justru mengukir senyum sombong setelah melempar dagger ke arah Zayn meski meleset. Suasana tegang semakin terasa intens saat ini. Namun ketika aku melirik ke samping, Alea dan Alex terlihat menikmati sajian di hadapan mereka. Dua orang wanita ini seperti sudah kehilangan empati, padahal orang yang meninggal di hadapan mereka adalah rekan yang bekerja bersama selama ini. Saat aku melihat ke arah luar bar, orang pertama yang datang ke tempat ini dengan sempoyongan mulai berdiri dan berjalan bergabung dengan bawahan Zayn di dalam bar meski tertatih. Setelah menghindari serangan dari Max, Zayn juga segera berdiri menatap Max tanpa memedulikan bawahannya yang meregang nyawa. Miris, sungguh miris. Zayn yang berkata kepadaku jika ia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Hook ternyata dapat bersikap tidak acuh kepada orang yang sudah loyal kepadanya. Empat orang yang ada di belakang Zayn terpaku, rekan seperjuangan mereka mati tepat di depan mata. Aku tidak dapat bereaksi apapun melihat pemandangan di hadapanku. Aku harus menahan diri sekuat mungkin dan bersikap layaknya tuan putri bersama dua orang wanita di sampingku. Zayn dan Max saling tatap penuh intimidasi, raut wajah kesal yang ditunjukkan Zayn berbanding terbalik dengan Max yang merasa di atas angin. “Letakkan rekan kalian, jangan buat pengorbanannya sia-sia!” perintah Zayn kepada bawahannya. Tanpa mengatakan sepatah kata, empat orang bawahan Zayn segera menjauhkan mayat rekannya lalu mengambil posisi berdiri di belakang Zayn. “Kalian masih tetap berdiri tegak ya? Apakah kalian tidak khawatir ada serangan lanjutan, ha?” gertak Max sambil mengangkat sebelah alisnya. Zayn dan bawahannya hanya diam sambil tetap menatap Max dengan tajam. “Ah! Apa kalian sekarang menjadi tuli dan bisu setelah kehilangan rekan kalian? Sayang sekali!” Max melompat dari belakang bar menuju ke arah Zayn. Tanpa kusadari, tangan kanan Max ternyata membawa sebilah katana. Max mengayunkan katananya tepat mengarah ke leher Zayn. Pria timur tengah itu tidak bergerak sama sekali, hanya diam sambil tetap menatap ke arah Max yang saat ini berdiri dengan jarak kurang dari dua meter di depannya. Sayangnya katana yang diayunkan tidak dapat mengenai leher Zayn karena salah seorang bawahan Zayn menangkis serangan itu menggunakan senjata tajam yang ia pegang beberapa puluh sentimeter dari leher Zayn. Dua orang pemegang senjata tajam itu saling adu otot, Max masih berusaha mengayunkan katananya menembus pertahanan di hadapannya dan bawahan Zayn berusaha menahan serangan Max agar tidak mengenai atasannya. Tiga orang bawahan Zayn yang ada di belakangnya segera berlari dan berusaha menyerang Max dengan sekuat tenaga. Dengan tenang, Zayn segera mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri sehingga ia tidak terlibat langsung dengan pertarungan. Ayunan golok dan katana yang menari indah menjadi makanan penutup malam ini. Suara logam yang beradu menyanyikan alunan nada merdu yang memekakkan telinga. Di depan sana, Max terlihat lihai menghindari setiap serangan dan ayunan golok yang dilancarkan oleh bawahan Max. Satu lawan empat bukanlah pertarungan yang adil, namun Max menunjukkan kualitasnya sebagai seorang agen yang memang pantas berada di daerah hitam seperti ini. Perlahan namun pasti, satu persatu bawahan Zayn menerima serangan. Sayatan-sayatan kecil berhasil mengenai bawahan Zayn dan memperlambat pergerakan mereka. Memang tidak dapat dipungkiri jika seorang agen yang sangat terlatih akan mengatasi situasi seperti ini dengan mudah. Meskipun sama-sama menggunakan senjata tajam, tetapi empat orang bawahan Zayn rupanya bukan tandingan dari pria afro yang masih tetap tersenyum meski sedang bertarung mati-matian. “Satu.” Aku menghitung di dalam hati ketika Max berhasil menghunuskan katana kepada salah satu bawahan Zayn tepat di perut sebelah kiri orang tersebut. Satu detik kemudian, Max menebas katananya ke arah kanan, merobek perut sasarannya sehingga membuat cairan merah pekat memuncrat ke segala arah dan mengeluarkan isi perut pria tersebut. Beberapa tetes darah bahkan mengenai wajah pria afro yang menebasnya. Cahaya redup Bounti Bar menciptakan kilatan merah pada katana yang dipegang oleh Max di mana darah bekas tebasan mengucur deras dari ujungnya. Max tersenyum semakin lebar di atas mayat anak buah Zayn yang tergeletak tanpa nyawa di bawah kakinya dengan darah yang menggenang di lantai. Tiga orang yang tersisa menjadi sedikit ragu, golok yang ada di tangan mereka tampak sedikit bergetar, tatapan mata mereka mulai terlihat bingung, mereka mundur perlahan mengisyaratkan jika tiga orang yang tersisa ingin menyerah. Seakan tidak memiliki rasa ampun, Max justru mengambil langkah secepat kilat menyerang bawahan Zayn yang tersisa. “Dua, tiga, empat,” batinku ketika Max berhasil menebas tiga orang di hadapannya tepat pada leher mereka, memuncratkan cairan merah yang membuat wajah Max semakin samar tertutup banyaknya darah yang mengenainya. Tiga orang bawahan Zayn seketika itu tergeletak di hadapan Max, menyisakan Zayn sendiri dan tiga orang bidadarinya yang dari tadi menonton. Langkah Max terhenti ketika Zayn yang saat ini berdiri dengan jarak sekitar lima langkah di hadapannya mengacungkan pistol ke arahnya sambil memberikan tatapan kesal pada pria afro tersebut. “Seorang bartender biasa tidak mungkin memiliki kemampuan beladiri sebaik ini. Berarti benar informasi yang aku dapatkan, kau adalah agen mata-mata pemerintah!” Zayn mengeluarkan kalimatnya dengan suara pelan namun tegas. Di hadapan Zayn, Max hanya terkekeh. Moncong pistol yang mengarah padanya tidak membuat Max gentar. Ia hanya menundukkan kepala sambil tertawa perlahan, lalu ia kembali menatap Zayn dengan tawa yang masih belum reda. Max justru menatap rendah ke arah Zayn, padahal seharusnya ia menyadari jika peluru yang ada di dalam pistol milik Zayn dapat sewaktu-waktu meluncur ke arahnya dalam kurun waktu sepersekian detik. “Jika aku memang agen pemerintah, lalu kenapa? Apa kau takut padaku? Kau takut aku akan menangkapmu? Hahahaha…” ejek Max. “Wah, rupanya nyalimu benar-benar besar ya, Max? Padahal seharusnya kau sadar jika kau dapat mati sewaktu-waktu,” ancam Zayn dengan pistol yang masih tetap mengacung. “Benar, kau memang benar, Tuan Zayn yang terhormat, hahaha! Tapi sayangnya, aku bukan orang yang takut akan kematian. Lagipula, tugasku sebagai seorang agen sudah selesai, tugas terakhirku juga sudah aku laksanakan dengan baik. Jika ingin membunuhku, aku mempersilakanmu!” Max merentangkan kedua tangannya, di mana darah yang ada pada katana pada tangan kanannya mulai terlihat mengental. Mungkin kali ini katana tersebut sudah tidak setajam ketika bersih. Lagi, dalam sepersekian detik, Max kembali melirik ke arahku seakan ingin mengucapkan salam perpisahan. Pria itu sudah terlihat pasrah, ia benar-benar siap untuk mati. Meski begitu, ia masih tidak melepaskan katana dari tangannya. Zayn tersenyum, tampaknya ia bersungguh-sungguh ingin menghabisi Max. Sebenarnya aku hendak mengalihkan pandanganku, tetapi jika aku melakukan itu, maka penyamaranku akan segera terbongkar karena dua wanita di sebelahku bukanlah orang yang bodoh, terutama Alea yang sama sekali belum percaya kepadaku. Akhirnya aku terpaksa menyaksikan eksekusi yang dilakukan Zayn kepada Max. Tapi sesuatu yang di luar dugaan tiba-tiba terjadi. Dalam satu kedipan mata, tiba-tiba aku mendengar Zayn berteriak, “Aaargh!” Pistol yang ada di tangannya terjatuh, bersamaan dengan pergelangan tangannya yang ikut terpotong. Kejadian ini berlangsung begitu cepat, benar-benar hanya satu kedipan mata. Zayn menunduk, ia mengerang menahan sakit pada tangan kanannya yang terpotong. Ia terus menerus memegang tangannya, wajahnya memerah dan tampak ada air mata yang menggenang pada kelopak mata Zayn. Dalam sekejap mata, Max benar-benar berhasil membalikkan keadaan. Saat ini ia sedang berdiri sambil mengacungkan katananya pada Zayn yang tertunduk di hadapannya. Ia tersenyum, benar-benar tersenyum puas setelah memastikan kemenangan atas Zayn. “Ada kata-kata terakhir?” Kali ini bukan hanya menggertak, Max benar-benar mengancam Zayn. Setelah membunuh lima orang bawahan Zayn, aku sama sekali tidak berpikir jika Max akan memberi ampun kepada Zayn, pasti pria afro itu akan membunuhnya. Dalam situasi seperti ini, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Berdasarkan kemampuan beladiri dan senjata yang digunakan oleh Max, aku sangat yakin jika ia berada pada divisi itu. Aku sempat mendengar desas-desus yang beredar di kalangan agen intelijen, terutama The Barista. Sebuah kabar mengatakan jika badan intelijen membentuk sebuah divisi terlarang yang hanya dimasuki oleh orang-orang dengan dilatih secara khusus. Assassin, adalah nama divisi terlarang yang aku dengar berdasarkan rumor yang beredar. Divisi khusus yang berisi orang-orang dengan kemampuan membunuh dalam senyap dengan fisik serta kemampuan bertarung yang di atas rata-rata agen biasa, bertugas untuk melakukan eksekusi terhadap target operasi yang sangat sulit ditangkap oleh agen intelijen biasa. Umumnya, target operasi divisi assassin adalah orang-orang yang dapat lolos dari jeratan hukum karena kurangnya bukti atau gagalnya agen yang ditugaskan untuk menyamar. “Bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Aku menggerutu di dalam pikiranku menyesali kecerobohanku bertindak semena-mena terhadap Max. Aku mengira jika divisi assassin hanyalah rumor, tetapi pemandangan di hadapan mataku menunjukkan jika assassin benar-benar nyata. Aku kembali menatap ke depan setelah beberapa saat pandanganku kosong karena aku hanyut di dalam lamunanku. Di hadapanku, Max masih tetap menodongkan senjata ke arah Zayn yang tertunduk. Namun kali ini tidak ada teriakan yang terdengar dari mulut Zayn. Meski begitu, terlihat jika wajahnya masih tetap menahan sakit sementara tangan kanannya masih tetap mengucurkan darah. Max terlihat menikmati penderitaan yang dirasakan Max di hadapannya. Pria itu tidak segera membunuh Zayn dan justru terdiam sambil terus tersenyum. Lagi-lagi sebuah kejadian tidak terduga terjadi. Max tiba-tiba tersungkur ke samping setelah suara tembakan terdengar keras dari sampingku. Sebuah peluru berhasil menembus kepala Max tanpa dapat ia hindari. Dalam sekejap, pria afro itu meregang nyawa. Aku terkejut dan tidak dapat bereaksi apapun melihat kejadian itu. Aku melihat ke kiri di mana Alex sedang mengacungkan pistol ke depan. Rupanya perempuan pirang inilah yang membunuh Max. Sedih, aku merasa sangat sedih. Rasanya aku ingin berkabung, rekan satu organisasiku meregang nyawa tepat di hadapanku. Seorang assassin, satu personil dengan nilai setara dengan 50 orang harus gugur karena kecerobohanku. Aku ingin berteriak sekarang. Telingaku seakan sudah tidak dapat mendengar apapun kali ini, hanya dengungan panjang yang dapat aku dengar. Pandanganku juga tiba-tiba perlahan menjadi kabur. “Tidak, aku harus tetap bertahan,” pikirku. Aku masih tetap berusaha mempertahankan kesadaranku. Beberapa detik kemudian, penglihatanku kembali pulih. “Max, maafkan aku, aku tidak dapat menangis untukmu. Aku harus tetap bersikap selayaknya anggota Hook yang sejak awal memang berniat membunuhmu. Untuk menjadi seorang mata-mata, aku terkadang memang harus membuang sisi manusiaku dan berubah menjadi monster. Selamat jalan, Max. Aku tahu kau adalah agen yang sangat berharga, meski baru beberapa saat mengenalmu.” Aku hanya dapat berdoa di dalam kepalaku, pemandangan di depan mataku benar-benar tidak mengizinkanku untuk menjadi manusia. Saat ini, secara mendadak pikiranku menjadi kosong, aku hanya menatap ke depan tanpa mampu melihat apapun. Keadaan di hadapanku sedang kacau, tetapi pikiranku melayang entah ke mana. Sayup-sayup aku dapat mendengar kalimat, “berikan kepada Foxy, angkat semua mayat dan kirim kepada Foxy!” keluar dari mulut Alex. Aku tidak tahu dan tidak peduli dengan orang yang dipanggil Foxy. Pikiranku masih sangat kacau, aku masih tidak dapat berpikir. Perjalanan pulang ke Kota Nelayan pun kulalui dalam keheningan. Beberapa kali anggota Hook yang ada di kursi depan mengajakku berbicara, namun aku tidak menanggapi kalimat mereka. Meski begitu aku dapat mendengar jika mereka berkata bahwa aku masih mengalami trauma karena melihat begitu banyak orang meregang nyawa di hadapanku. Mereka memang tidak salah, karena menurut mereka, aku adalah anggota baru di dalam organisasi Hook. Namun sejujurnya, sebenarnya aku tidak peduli dengan apa itu Hook, aku tidak peduli dengan tangan Zayn yang terpotong, aku bahkan tidak tahu pria itu dibawa ke mana. Aku juga tidak tahu, dari mana anggota Hook ini datang. Tiba-tiba saja aku melihat mereka memenuhi Bounti Bar dan membereskan semua kekacauan yang terjadi. “Lihat saja, Alex. Suatu saat, aku akan membuat perhitungan denganmu,” batinku saat tanpa sadar ingatanku mundur ketika ia menembak tepat di kepala Max.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD