Perceraian Sabina

1829 Words
Sebelum membaca FOLLOW Zaynriz Ig : rizkamursinta31 *** Terdiam dengan kebingungan menyertai. Apa yang harus dilakukan Wiliam sedangkan ia sungguh tidak mau mengurusi kehidupan adiknya? Bukan tidak peduli, hanya saja pasti Elang akan marah padanya jika tau Wiliam akan mengurus perceraian cowok itu dengan Clarista. Cukup hubungan mereka tidak pernah baik. Dengan adanya perintah semacam itu. Pasti akan semakin buruk. Wiliam mencoba mendekat pada ayahnya yang masih setia berdiri dengan sisa-sisa amarahnya. Mengamati tiga orang di atas ranjang sesaat sebelum kembali pada Ayahnya. Kali ini, Wiliam akan seperti biasa. Sopan, dan berujar sebagai mana mestinya. "Apa gak sebaiknya dipertimbangkan lagi, Pa? Lagi pula, Elang belum sadar. Nanti, kalau dia udah sadar, barangkali dia bisa bilangin Clarista buat jaga sopan santun. Wiliam yakin, Clarista akan nurut." Panjang lebar Wiliam berkata dengan kegugupan yang melanda. Setidaknya, Wiliam tetap mencoba meski ia tau, keputusan ayahnya tidak bisa diganggu gugat. Pak Susiono duduk di sofa dengan wajah tegas. Wiliam mengikutinya dan mendudukkan diri di sebelah ayahnya. "Elang saja gak punya sopan santun, Wil. Jadi itu gak akan mungkin. Kalau begini, citra keluarga kita bisa rusak." Tatap Pak Susiono lurus ke depan. Sementara itu, Sabina yang berada di atas ranjang asik mengobati Elang dengan sabar. Bu Erika pandangannya tidak luput dari anak dan menantunya. Elang wajahnya penuh lebam bahkan sudut bibirnya berdarah. Entah apa yang sudah terjadi pada cowok itu. Clarista saja tidak menceritakan apapun. "Sab, harusnya setiap hari kamu ada di sisi Elang. Kasih dia nasihat atau semacamnya," sesal Bu Erika. Sabina berhenti mengobati Elang. "Ma, mungkin saatnya Sabina harus jujur ke Mama," ujar Sabina menatap mertuanya. Dapat ia lihat pula, Wiliam dan Pak Susiono juga menatapnya. Menghela napasnya sesaat sebelum akhirnya Sabina berkata, "Elang gak pernah suka sama Sabina. Aku gak tau kenapa, tapi aku yakin Elang gak suka sama pernikahan kita." Kedua mertuanya nampak terkejut, sementara Wiliam dia biasa saja karena memang sudah tau kebenarannya. Mau tidak mau, Sabina harus mengatakan semuanya. Agar tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Masa bodoh dengan Elang yang akan marah padanya. Cowok itu akan selalu tidak suka padanya, 'kan? Jadi, untuk apa ia berdiam diri sedangkan ia bisa menceritakan semuanya. Nampak Bu Erika semakin menyesal sepertinya. Sedangkan Pak Susiono memilih masih terdiam. Mungkin dadanya sudah berkecamuk marah kalau saja dia tidak menyadari anaknya sedang terbaring tak sadar diri. "Perceraian Elang sama Clarista itu bakal memperburuk masalah, Ma. Selama ini, Elang cuma nurut sama Clarista. Dan, nggak sama aku. Jadi, keputusan Mama kurang tepat kalau berharap aku bisa merubah Elang," jujur Sabina pada akhirnya. Ia kembali mengobati luka Elang. Entahlah, memang itulah kenyataan yang ada. Dan, semoga saja kedua mertuanya bisa mengerti keadaanya. Memaksakan diri untuk tetap berada di sini Elang memang tidak salah, kecuali Sabina memang siap untuk terluka. Ya, selama ini Sabina berpikir. Keputusan mertuanya bukanlah keputusan yang tepat sasaran. Semakin Elang ditekan, maka semakin memberontak pula cowok itu. Kunci utamanya adalah, membebaskan Elang dari semua tekanannya dan membiarkan cowok itu melakukan apapun yang dia mau. Meski, harus menceraikan dirinya sekalipun. Apa yang harus dipertahankan dari pernikahannya dengan Elang? Rasa sakit? Kekecewaan? Kekerasan? Hanya itu yang selalu dipertahankan, sementara setiap harinya sama sekali tidak ada perubahan. Sabina juga tidak akan kuat. Jika dipikir, dirinya hanya menjadi alasan agar Elang berubah. Tanpa dicintai. Tanpa mendapatkan kasih sayang. Nyatanya, Sabina bukanlah alasan, justru laki-laki itu tetap menjadi dirinya. Bu Erika mengusap pundak Sabina, kedua matanya nampak berkaca-kaca. "Maafin Mama, Sab. Selama ini Mama pikir, Elang bisa bahagia sama kamu." Bu Erika menatap sesal pada Sabina. Menggenggam tangannya lalu memeluknya. "Mama kira juga kamu bisa bahagia sama Elang." "Aku gak bilang gak bahagia sama Elang, Ma," sahut Sabina lembut, di pelukan Bu Erika. "Apa kamu menyesal, Sab?" Pak Susiono sudah berdiri di sisi ranjang, menatap menantunya dengan dua tangan yang masuk ke saku celana. Perlahan Sabina mengurai pelukannya, lalu dia menggeleng. "Nggak ada yang patut untuk disesali, Pa," jawabnya. Itu semakin membuat Bu Erika dan Pak Susiono menatapnya bangga. Tidak salah pilih menantu. Sabina tidak pernah menyesal. Setidaknya, ia sudah berniat merubah Elang menjadi lebih baik. Meski ia belum mencobanya secara langsung. "Terus mau kamu apa?" Bu Erika mengelap air matanya. "Sabina gak tau, Ma. Tapi, kalau tujuan Mama cuma untuk buat Elang berubah. Lebih baik, jangan pisahin Elang dan Clarista." Apa daya. Jika itu jalan terbaik. "Emangnya kamu rela kalau harus dicerain sama Elang?" Wiliam angkat suara dan Sabina langsung menoleh ke arah Kakak iparnya itu. Meski tidak yakin, Sabina harap dirinya akan menerima semuanya. Sebelum semuanya berlangsung lama. Menjauhkan diri dari keluarga Elang akan lebih baik, sepertinya. Kembali ke panti asuhan lalu bahagia dengan keluarga tak sedarahnya. Berhenti sekolah dan berubah status menjadi ... Janda? "Mungkin, Kak." Agak tak yakin dia menjawab. Wiliam serta orang tuanya tidak menanggapinya. Memilih memandangi Elang yang masih setia tertidur. Cowok itu tidak hanya babak belur, bau alkohol juga menyeruak hidung mereka. *** "Sab, tunggu!" panggil Wiliam memberhentikan langkah Sabina paksa. Sabina menoleh. Berdiam diri menunggu Wiliam mengeluarkan perkataan lagi. "Pertahanin pernikahan kamu, Sab." Ini sudah ia duga. Wiliam akan membujuk dengan kalimat itu. "Setidaknya dua bulan setelah kamu pastiin kalau kamu gak akan hamil anak Elang." Perkataan itu membuat Sabina menegakan kepalanya. Menatap iris biru milik Wiliam, lekat. Pertanyaan dalam benak Sabina muncul seketika. Dari mana Wiliam tau? Bahkan ia kira, Elang akan malu jika seseorang mengetahui hal itu. Dan jelas, bukan cowok itu yang memberitahu siapapun. "Nanti Sabina pikirin lagi, Kak," jawabnya singkat, lalu Sabina berlalu setelah mengulum senyumnya. Tidak berkenan lebih lama mengobrol dengan Wiliam. Ia harus punya waktu untuk memikirkan itu. Jika benar terjadi, kehamilannya. Maka, ia butuh sosok yang akan menjadi ayah untuk bayinya, kelak. Tapi, ia berharap semuanya tidak mungkin. Sabina mengecek ponselnya. Sudah sangat larut malam. Dan, Brent juga tidak kunjung mengabarinya. Tapi kemungkinan Brent memang sudah tidur. Segera, Sabina menidurkan dirinya. Besok ia juga harus sekolah. Tidak mau telat. *** Pagi ini, Elang belum juga bangun dari tidurnya. Di meja makan hanya cowok itu yang tidak bergabung. Orang-orang pikir, Clarista juga tidak akan memberangkatkan dirinya ke sekolah dan memilih menemani Elang di rumah. Ternyata apa yang mereka pikirkan salah. Clarista hari ini justru nampak ceria sekali wajahnya. Dengan kalung baru yang dapat terlihat jelas kilauannya. Sabina yakin itu pemberian Elang. Bukan menginginkan sesuatu yang sama dari orang yang sama. Hanya saja, dia merasa Clarista beruntung. Lagi pula, seumur hidupnya ia tidak pernah punya benda semacam itu. Jadi, baginya itu bukan sesuatu yang ia inginkan. Hari ini, ia juga sebenarnya ingin menemani Elang. Ya, sekadar mengambilkan apapun yang cowok itu mau. Tapi, jika diperbolehkan. Bu Erika menyuruhnya untuk tetap ke sekolah. Dan, membiarkan Elang bersama asisten rumah tangga yang lain. Lagi pula, pasti cowok itu tidak akan mau ditemani olehnya. "Sabina, Clarista. Kalian naik mobil bareng ya. Elang hari ini gak masuk sekolah, jadi kalian harus bisa akrab dan saling bantu. Karena Clarista yang bisa nyetir ja--." "Maaf, Ma. Clarista dijemput sama temen," jawab gadis itu memotong perkataan Bu Erika. Jelas, Pak Susiono langsung menatap gadis itu tajam. Tatapan tidak bersahabat. "Kamu memang gak bisa sopan, Kla. Percuma kamu anaknya Suseno kalau kelakuan kamu kayak gini!" bentak Pak Susiono. Sedangkan Clarista, gadis itu diam saja. Tapi tidak menampakan rasa bersalahnya. Sudah berulang kali, setiap sarapan pagi. Atau berkumpulnya keluarga ini. Maka percekcokan akan terjadi. Rasanya, Sabina mulai jengah. "Pa, udah ...." Wiliam mencoba angkat suara. "Ya sudah kalau kamu dijemput sama temen kamu. Biar Sabina Kakak yang anter. Ya, Sab?" Sabina segera mengangguk. Ia tidak mau hanya karena penolakan maka Clatista akan menilainya lebih buruk. Lagi pula, ia bisa meminta Wiliam untuk memberhentikannya di halte. "Nanti malam kosongkan jadwal kalian semua, ada yang mau Papa bicarakan." *** Clarista berjalan cepat. Menghampiri mobil yang sepertinya sudah menunggu lama. "Aduh, maaf ya Brent. Pasti bosen nunggu ya?" Clarista seolah merasa bersalah. Brent tersenyum tipis. Meski memang bosan, tapi tidak akan ditunjukkan wajah itu. "Kamu kenapa nyuruh aku jemput di sini? Kenapa gak di rumah kamu aja?" "Gak papa. Lagian tadi aku sekalian beli roti buat ganjal perut," bohong Clarista. Tentu alasannya bukan itu. Ia hanya tidak ingin Brent tahu, jika ia sudah menikah dan tinggal serumah dengan Elang. Mudah sekali Brent untuk percaya pada Clarista. Dan, sepertinya bukan hanya Brent saja. Hampir semua cowok yang terpikat pada Clarista menaruh percaya penuh pada gadis itu. Padahal, Clarista adalah pembohong ulung. Hanya saja, tidak ada yang tahu. "Oh iya, gimana jawaban kamu soal Sabina?" Clarista memulai percakapan mereka saat mobil juga mulai berjalan pelan. "Kamu ada masalah apa sama Sabina?" "Ya gak ada. Cuma aku lihat, kamu terlalu dekat sama pembantu itu," jawabnya tanpa rasa bersalah. Brent tersulut. Namun mencoba menahannya. Padahal, dalam hatinya. Ia tidak bisa mendengar kalimat seperti itu. Ia tidak rela jika sahabatnya dihina buruk. "Dari mana kamu tau kalau Sabina pembantu?" Brent belum tau itu benar atau hanya kepalsuan belaka. Selama ini, Sabina juga banyak menutupi hal-hal baru darinya. Bahkan tentang kediaman gadis itu saja sulit sekali Brent mencari tahu. Dan Sabina bagai bersekongkol dengan ibu panti. Menyebunyikan kebenarannya. Siapa orang yang mau dibohongi? "Aku dekat sama Elang. Dan, aku sering lihat Sabina di sana. Bersih-bersih rumah dan sebagainnya. Tugas pembantu lah," jawabnya sungguh tanpa rasa bersalah. Setidaknya Clarista merasa bersalah karena sudah menjelekkan nama Sabina. Atau setidaknya merasa bersalah karena sudah bohong pada Brent. Siapa yang tidak terkejut. Hidup Sabina seakan semakin buruk. Jika tau kebenarannya seperti itu. Maka Brent saja yang akan membawa Sabina untuk tinggal di rumahnya. Lebih layak dan terjamin. "Sejak kapan?" Ingin sekali Brent menanyai segala pertanyaan. Tapi ia sadar, Clarista tidak suka pada Sabina. Dan, Brent hanya akan bertanya seolah itu tidak mengejutkannya. "Gak tau pasti. Tapi kamu jadi kan, jauhi dia?" "Alasannya apa, Kla?" Brent perlu alasan itu. Menjauhi Sabina hal paling sulit baginya. Hari ini saja, ia harus susah payah meninggalkan Sabina tanpa kabar di halte biasanya gadis itu menunggu dirinya. Entah, Sabina akan kecewa padanya atau tidak. "Gak ada alasan, Brent. Kalau kamu mau jadi pacar aku. Kamu harus bisa jauhin siapapun yang bisa bikin aku cemburu." "Termasuk Sabina?" Dan Clarista mengangguk. *** Untungnya, Kakak Iparnya mau menurunkannya di halte. Meski harus beberapa kali meyakinkan Wiliam dan laki-laki itu berulang kali memaksanya untuk tetap berada dalam mobil sampai tiba di depan sekolah. Sudah hampir lima menit lamanya Sabina menunggu Brent. Tapi cowok itu tidak kunjung datang. Tidak mengirim pesan atau sejenisnya. Sejak kemarin, Brent seperti menghilang. Padahal, ia punya berita bagus untuk cowok itu. Sekarang Sabina masih mencoba menunggu dengan sabar. Barangkali Brent hanya terlambat bangun dan sedang terburu-buru menuju halte. Atau cowok itu sedang mampir di toko dan kemungkinan tempat lainnya. Sudah berulang kali menghubungi Brent. Tapi tidak di jawabnya. Sepertinya, meneguhkan diri untuk tetap menunggu akan membiarkannya di hukum. Dengan pasrah, Sabina memesan ojek online. Agar tidak terlambat ke sekolah. Nanti, ia bisa menanyai Brent perihal mengapa cowok itu tidak menjemputnya seperti biasa. *** Hai, DIAA IS BACK! Tetap tinggalkan komentar kalian ya! Spam komentar juga bisaaww! Yang paling penting jangan lupa tap love! Dont be silent readers, please! See you next time!! Follow me! Best regards Zaynriz
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD