Brent dan Clarista bermain di belakang

1331 Words
Langit semakin cerah. Jalanan lembab dan udara sejuk sirna bersama matahari yang mulai naik ke kaki langit. Namun, perasaan siswi berponi berselimut mendung. Ia telat hari ini. Untuk pertama kalinya. Dan, tidak perlu mencari alasannya karena menunggu Brent-lah jawabannya. Beruntung, satpam sekolah sedang baik hati. "Kalau besok telat, gak ada toleransi lagi ya...," tegur Pak Satpam itu. Bernama Subagio, dari name tagnya. "Saya janji, Pak. Ini kali terakhir. Sekali lagi terimakasih, Pak," ucapnya penuh rasa syukur. Hampir saja, ia harus kembali ke rumah. Sabina segera berlari kecil menuju kelasnya. Hanya tidak ingin mendapat hukuman atau semacamnya. Dan, orang-orang pasti akan semakin memperburuk keadaan. Setidaknya statmen itu yang tercipta di benaknya. "Brent!" panggil Sabina. Dahinya mengernyit, Brent seperti orang kebingungan. Cowok itu seperti menjauh. Dan, mengapa Brent ada di depan kelas Clarista? Cukup bagus ingatannya untuk itu. Brent menarik Sabina. Cukup menjauh dari kelas Clarista. Mereka sempat menjadi perhatian siswa-siswi yang ada. Cukup ramai suasana di sini. Mungkin karena sebentar lagi masuk. "Lo berangkat sama siapa?" Brent menanyai Sabina sambil berjalan cepat dengan kedua tangan masuk ke dalam saku blezernya. Kakinya yang jenjang memudahkan untuk mensejajarkan langkahnya dengan Brent. Meski napasnya cukup terengah. Cepat sekali Brent melangkah, seperti menghindar dari sesuatu. "Aku naik ojek. Kamu ada urusan lain?" Sesekali Sabina melihat di sekitarnya. Agar tidak menabrak orang. Langkah Brent terhenti di lorong kelas Sabina. Menurunkan tangannya. "Iya ada," jawab Brent singkat. Tentu mengundang tanya bagi Sabina. "Kamu kenapa di depan kelas Clarista?" Tenggorokannya menelan ludah dengan susah payah. Kepalanya menoleh ke samping beberapa saat. Sebelum jarinya mengusap hidung singkat. "Gak papa. Ada urusan sama temen." Sabina mengangguk, kemudian tersenyum. "Oiya Brent, aku punya berita bagus. Ini tentang adik kamu!" serunya. Tidak sabar ingin menceritakannya kepada Brent. "Lo serius?" Brent terkejut tidak percaya. "Iya. Jadi gini, kalau berdasarkan tanda lahir yang kamu bilang. Aku bisa simpulin kalau adik kamu itu Elang. Ya, walaupun belum pasti, sih." "Elang?!" Benar-benar Brent terkejut. Sabina membenarkan dengan anggukan. "Tapi, itu baru berdasarkan tanda lahir Brent." "Lo tau dari mana?" Brent semakin menatap lekat Sabina. Dan gadis itu, justru merasa terintimidasi karena tatapan itu. Kegugupan melanda Sabina. Harusnya ia ingat. Ia tidak bisa menceritakan semuanya pada Brent. "Da--dari..., ah iya, aku gak sengaja lihat dia tadi pagi!" serunya. Merasa lega dapat membuat alasan yang entah terdengar masuk akal atau tidak. "Dari mana lo tau, Na?" ulang Brent lagi. "Ya, aku kan udah bilang dia--" "Atau bener, berita kalau lo pembantu Elang?" sinis Brent. Sabina menggeleng pelan. "Dan, itu kenapa lo gak ngasih tau gue alamat rumah lo yang sekarang?!" tukas Brent lagi. Sabina menggeleng. "Bukan, Brent," lirihnya. Ia tidak bisa menjawab jujur. "Jawab iya, atau nggak, Na!" desak Brent dengan tegas. Sabina gelisah sekarang. Tidak mungkin ia mengatakan semuanya. Kemungkinan, berbohong akan lebih baik. Ia menunduk. "Iya Brent," jawabnya berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa ia ungkapkan. Sangat konyol saat ia harus menjawab bahwa dia bukan pembantu Elang karena sebenaenya ia adalah istri laki-laki itu. Pertanyaannya sederhana, siapa yang akan percaya fakta itu? Bahkan dirinya saja tidak percaya. Bagaimana bisa gadis yatim piatu sepertinya disandingkan dengan pangeran seperti Elang? Ini tidak sesuai pikirannya. Brent justru terdiam beberapa saat dengan tatapan lekat saat tak sengaja melirik cowok itu sekilas. Brent menghela napasnya. "Gue kecewa sama lo, Na. Selama ini, gue kira lo bisa lebih terbuka sama gue. Dan, satu lagi, lo gak perlu cari tau tentang Elang adik gue atau nggak. Gue yang akan cari tau itu sendiri. Dan lagi, mungkin kita gak akan dekat kayak dulu lagi," ungkap Brent. "Kenapa, Brent?!" Sabina benar-benar terkejut pada kalimat terakhir yang cowok itu katakan. Jika masalahnya hanya karena Sabina berbohong, apa akibatnya sampai sebegitu nya? Sabina tau, Brent bukan cowok seperti itu. Dia bisa memaafkan kesalahan Sabina dan tidak akan mengambil keputusan secepat itu. "Gue kecewa. Dan, seseorang yang udah kecewa gak akan bisa kayak dulu lagi. Levelnya, lebih tinggi dari rasa marah." Setelah mengatakan itu, Brent berlalu, membiarkan Sabina di sana dengan rasa penasaran. Sabina menatap punggung cowok itu dalam diam. Ia mencerna semuanya dan itu terasa sangat pahit juga menyesakan dadanya. Jujur ataupun tidak, semuanya sama. Brent tetap marah dan merasa kecewa. Kenapa semuanya justru semakin rumit? Semuanya seakan-akan mencekik lehernya. Jika sedikit saja ia lengah, maka itu akan membunuhnya. Tapi, terus-terusan dicekik seperti ini perlahan-lahan ia juga akan mati karenanya. Bersamaan itu, bel masuk berbunyi. Sabina segera masuk ke kelasnya. Dengan kepala yang terus memikirkan bagaimana cara membuat semua ini menjadi lebih mudah. *** Kegiatan berjalan seperti biasanya. Brent dan keempat temannya nongkrong di ruangan khusus untuk pemain game online. Hari ini, waktu istirahat lebih cepat dari sebelumnya. Mereka asik bermain sesekali mengobrol. Dan juga mengemil makanan ringan yang dibelin oleh mereka dari kantin dan di bawa ke kelas game ini. Brent mengambil minuman botol. Meneguknya sampai tiga kali. "Guys, kalian percaya gak kalau Elang adik gue?" tanya Brent tiba-tiba, sambil memasukan kacang ke mulutnya. Dalam semenit tidak ada yang menjawab karena mereka fokus pada game masing-masing. Brent juga melanjutkan permainannya. "Kok bisa mikir gitu, Bos?" Betro membuka suara tapi tetap fokus pada ponselnya. Rama meraih minuman kaleng di dekatnya. "Ram, cepetan jangan ngendok woi!" kesal Yogi menegur rama yang karakternya berhenti karena sedang minum. "Iya-iya sabar!" balasnya ketus. Kembali ke ponselnya setelah meneguk beberapa kali minuman tersebut. Yoga sendiri yang asik dengan game yang berbeda saat di antara lainnya memainkan game yang sama. "Jadi, Elang adik lo?" tanya Yoga cukup tertarik dengan topik yang Brent mulai. Brent meletakan ponselnya setelah mengumpat karena karakternya terkena headshoot dan mati lebih dulu. "Iya. Sabina yang bilang ke gue." "Brent, cepet banget lo mati, dah!" sungut Betro, karena dia satu tim dengan Brent dan harus berjuang sendirian untuk memenangkan permainan tembak itu. Brent berdecak. Tidak menghiraukan omongan Betro. Ia sudah cukup kesal dengan permainan itu. "Lalu gimana?" "Gue sih gak yakin, Ga." Mendengar suara pintu di buka, Brent dan Yoga yang memang tidak fokus pada kegiatan apapun langsung menoleh setelah menoleh ke jam dinding. Sebentar lagi jam masuk. Lalu dari sana, satu gadis masuk. Brent yang terkejut langsung berdiri. "Hai, ada apa?" tanyanya. Clarista sudah mendekat dan mengamati keempat sahabat Brent. Yoga menatap Brent kemudian bergantian menatap Clarista. Seperti keheranan akan interaksi dua orang itu. Sebagai sahabat, Yoga tau Brent suka pada Clarista. Tapi dia tidak pernah tau bahwa Clarista akan merespon rasa suka sahabatnya. "Wih, ada Neng Kla, nih. Nyariin Bang Betro ya?" Betro sudah selesai dari permainannya. Menggoda Clarista dan lalu mendapat tatapan tajam dari Brent yang tak suka dengan kelakuan Betro. "Sorry, Bro ... ya udah ajakin ke kantin atau apa gitu. Kita masih mau mabar di sini. Ya kan?" suruh Betro, dia sengaja mengatakan itu seolah memberi ruang dan waktu untuk dua orang itu. Yoga, Yogi dan Rama berdeham tanpa sependapat dengan Betro. "Kalau gitu gue keluar dulu. Inget kalian jangan ada yang push rank tanpa gue!" ancam Brent lalu meraih tangan Clarista dan mengajak gadis itu keluar. "Ada apa Kla, kok tumben?" tanya Brent bingung. Tumben sekali Clarista menghampirinya. Dan, tumben sekali Elang tidak ada di sisi Clarista. "Elang gak sekolah, ya?" tebak Brent. Dan Clarista mengangguk. "Aku cuma mau tanya. Kamu jadi kan jauhi Sabina?" Brent menghentikan langkahnya dan menatap gadis di sampingnya. Lantas, perasaan bimbang menyertai dirinya. Apa bisa Brent menjauhi Sabina? Tapi, ia juga sudah terlanjur kecewa pada gadis itu. Sabina dengan mudah berbohong padanya. Padahal, selama ini ia berusaha peduli. Mungkin, ia akan memulainya hari ini. "Aku usahain ya. Tapi kamu jangan khawatir, aku pasti jauhi Sabina," jawabnya yakin. Iris mata Brent menatap lekat manik hazel Clarista. "Brent?" Cowok itu dan Clarista segera menoleh pada sumber suara. "Sabina?!" kata Brent cukup terkejut. **** Hai, DIAA IS BACK! Kuuy, spam komentar dan masukan cerita ini ke library kalian juga ya. Aku akan usahakan, untuk update setiap hari! Bantu share cerita ini ke teman atau ke sosial media yang kalian punya ya! Jangan lupa follow Zaynriz Ig saya : rizkamursinta31 Spam komen, ya guys!! See you next part! Best regards Zaynriz
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD