Makan Bersama

2185 Words
Senin. Hari keramat untuk murid pemalas, malas bangun pagi, malas upacara, dan malas lain-lainnya. Padahal, kalau di pikir-pikir kita tidak boleh membenci hari karena adanya aktivitas menyebalkan. Cukup, tidak sukai aktivitasnya tapi jangan berlebihan. Dan, cara terbaik adalah mencoba terbiasa dengan semuanya. Akan lebih bagus bukan, jika bangun lebih awal, mengikuti upacara dan lain-lain. Ya, itulah yang sering Sabina pikirkan. Tidak ada yang lebih indah daripada masih bisa membuka mata di hari esok. "Aku harus bersemangat hari ini," katanya, menyemangati diri sendiri. Setiap hari, ia selalu bangun pagi hari. Terkadang pukul 5 lewat dia sudah mengerjakan semua pekerjaan dapur dan bahkan sudah membersihkan diri, itu dulu saat di Panti asuhan. Tapi sekarang, yang masih Sabina terapkan adalah kebiasaan bangun pagi. Mengingat, betapa sudah banyaknya asisten rumah tangga di rumah megah keluarga Albarek ini. Lalu setelah, ia menyemangati dirinya, Sabina turun dari ranjang. Berniat membersihkan badannya atau lebih tepatnya mandi. Rambut panjangnya ini, mungkin akan sedikit menyusahkannya. Tak sedikit orang yang menyarankan rambutnya untuk dipotong. Hari ini, adalah hari pertama dirinya bersekolah di SMA BARREK. Ia berharap, hari ini akan jadi hari yang menyenangkan dan mendapatkan banyak teman, meski akan hal itu ia kurang yakin. Sabina dulu sempat sekolah, tapi hanya sampai SMP saja. Dan, itupun karena dia mendapat beasiswa. Saat lulus SMP juga dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke SMA. Tapi sayangnya, pihak sekolah tidak memberikan seragam gratis seperti waktu SMP. Karena pihak Panti tak mampu membelikannya, membeli segala perlengkapan sekolah, maka dengan terpaksa dia harus berhenti sekolah. Selain alasan itu, jarak antar sekolah dengan panti asuhan cukup jauh, tidak adanya asrama sangat tidak memungkinkan dirinya untuk pulang pergi berangkat ke sekolah. Selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan benda yang baru pertama kali ia sentuh, yakni Hair Dryer membuatkan kaget saat diawal-awal benda tersebut berbunyi dan mengeluarkan suara cukup bising. Tenang saja, masalah menggunakannya, ia tahu. Ia pernah melihatnya di acara televisi. Semoga saja ia tidak salah, dan tidak akan membuat rambutnya rusak. Ia duduk di bangku bundar di depan kaca rias. Kaca rias berbentuk bundar itu memantulkan dirinya yang sudah memakai seragam lengkap khas SMA BAREK. Seulas senyum terbit, ia tidak menyangka secepat ini ia tumbuh tanpa orang tua. Sedikit memoleskan wajahnya dengan bedak, kini Sabina beralih mengambil tasnya yang tergeletak di atas ranjangnya. Kemudian, Sabina memutar tubuh mendekati lemari bukunya. "Buku apa yang harus aku bawa? Aku juga nggak dapet jadwalnya." Sabina menghela napas dalam. Sabina tidak tau, harus membawa buku apa saja hari ini. Dia murid baru, lagi pula buku tulis masih kosong. Hanya saja kemungkinan ada buku paket yang harus dibawanya. Mengambil beberapa buku tulis, Sabina memasukannya ke dalam tas. Hari ini lebih baik dia tidak perlu membawa buku paket dulu, karena jadwalnya pun dia belum punya. Kemungkinan, itu hanya akan memberatkan punggungnya. Paling-paling, hari ini juga belum akan belajar. Beruntung, adalah satu kata yang Sabina syukuri saat ini. Impiannya untuk melanjutkan pendidikan akhirnya terwujud. Meski, ada satu hal yang membuatnya sedih secaraa bersamaan. Dia tidak pernah menyangka akan menikah di usia muda. Meskipun dia masih dapat bersekolah, tetap saja rasanya berbeda. Duduk di tepi ranjang. Sabina menutup resleting tasnya, meletakannya di samping. Ia melirik jam dinding, masih seperempat jam lagi ia akan meluncur ke sekolah. Entah dengan apa nanti ia akan pergi ke sekolah. Tidak bisa mengharap lebih pada Elang yang sudah jelas pasti tidak mau. Mungkin ia akan naik angkutan umum saja. Toh, mertuanya juga sudah memberikan uang bulanan dalam bentuk cash untuk dirinya. Sabina kembali terbengong, ia memikirkan banyak hal. Apalagi tentang ia yang harus menikah dengan orang asing. Belum lagi, ia harus dimadu. Kalau dipikir itu masalah yang amat menyedihkan. Untungnya, ia punya hati yang sekuat baja. Pak Susiono dan Bu Erika panggilan untuk kedua orang itu--mungkin bukan orang asing baginya. Tapi, lihatlah Elang. Cowok itu hanya sekali saja pernah ia lihat. Yaitu saat ijab qobul. Sebelumnya tidak pernah ada pertemuan antar mereka berdua. Anggap saja, menikah dengan Elang adalah balasan kebaikan yang sudah Pak Susiono dan Bu Erika berikan padanya. Belum lagi, dia harus dimadu. Meski dirinya yakin dialah yang merusak hubungan Elang dan pacarnya, tapi itu bukan benar-benar kemauannya. Meski bukan orang punya, tapi impian untuk menikah dengan orang seperti Elang tidak pernah ada di dalam kamus nya. Baginya, menikmati hidup dengan apa adanya itu sudah cukup. Dan, Clarista. Sabina tau, gadis itu tidak suka dengannya. Tapi, baginya itu wajar. Dia dengan gamblang datang di hubungan mereka. Jelas saja, siapapun orangnya pasti akan marah. Hanya saja, baginya Clarista terlalu berlebihan. Ketidakjelasan adalah jawaban untuk hubungan pernikahannya untuk sekarang ini. Meski pun dia secara agama dan hukum sah menjadi istri Elang, tapi itu sama sekali tidak membuatnya senang. Sungguh, ini rumit untuknya. Remaja seperti dirinya, kebanyakan sedang berada di fase mencari cinta sejati. Seseorang yang akan menemani tanpa memandang situasi dan kondisi. Seseorang yang bisa menerima apa adanya tentang diri kita. Tapi dia, Sabina harus ikhlas dan sabar. Dan di sisi lain, tentu masih ada banyak waktu untuk mengenal Elang. Dan, masih ada banyak waktu untuk merubah persepsi Clarista tentang dirinya. Meski, dia tidak yakin dapat memulai obrolan dengan keduanya mengingat aura mereka sangat kuat. Dan, yang paling membuat Sabina lemah adalah tatapan tajam mereka. Seumur hidupnya, jarang sekali dia bertemu dengan orang yang memiliki tatapan seperti mereka. Terakhir kali, kala seorang penagih hutang datang ke Panti asuhan. Tapi sungguh, tatapannya tetap berbeda dengan Elang dan Clarista. Apalagi Elang, cowok itu punya sisi yang lain. Aura ketampanannya sangat menonjol dan dia tau itu. Ah, apa-apaan ini! Tidak seharusnya dia memikirkan hal ini. Melirik jam sekali lagi di atas meja belajarnya, Sabina segera mengendong tas punggungnya. Menarik gagang pintu, keluar dari kamar super besar dengan nuansa kamar berwarna merah mudah. Warna kesukaannya. Sepertinya, kamarnya ini juga sudah disiapkan oleh Pak Susiono. Hari ini, Sabina menguncir biasa rambutnya yang panjang. Kemungkinan akan lumayan menyusahkan jika dia mengurainya. Disetiap langkahnya menuju ruang makan, matanya selalu memandangi ornamen rumah yang terlihat mewah. Terlalu banyak ornamen khas benua Eropa sepertinya. Langkahnya perlahan memelan, empat orang yang sudah duduk rapi langsung mengarahkan mata mereka pada Sabina. Sabina berusaha menampilkan senyumnya meski terlihat canggung. Bagaimana tidak canggung, ini hari pertamanya, hari pertamanya benar-benar menjadi keluarga Albarek. Semua orang di sana juga membalas senyumannya. "Ayok bergabung, Sab," ajak Bu Erika melambaikan tangan. Kecanggungan membuatnya hanya mengangguk sopan karena malu. Seseorang yang juga baru datangv tidak jauh dari posisi Daviba, memutar kepalanya. Sabina mengalihkan tatapan mereka begitu tatapan mereka bertemu tanpa sengaja. Elang segera duduk di sebelah Clarista. Tidak mau membuat yang lain menunggu, Sabina segera mendudukan dirinya di sebelah Elang. "Pagi Elang, kamu kenapa ditekuk mukanya?" suara Wiliam menyapa Elang. Tentu cowok itu tidak akan menjawab. Wiliam mengangguk samar, baiklah ia tidak akan bertanya lagi. Udara terasa panas padahal masih pagi hari, atau ini karena aura cowok di sebelahnya? Elang diam saja, terlihat menakutkan. Sementara itu, Pak Susiono, segera memerintahkan yang lain untuk segera menyantap hidangan yang tersedia sebelum benar-benar beraktivitas. "Elang, Ayah minta kamu ke sekolah naik mobil. Ajak Clarista serta Sabina dan tidak ada penolakan," ujar ayahnya penuh perintah, sebelum menyantap hidangannya. Jelas, Elang tidak bisa menolak. Sabina, diam sedangkan Clarista terlihat senang dan juga tidak. Tentu, Sabina lah jawaban untuk ketidaksukaan gadis itu. "Dan, nanti kalau sudah berada di sekolah. Tolong, ajak Sabina keliling sekolahan." Pak Susiono, mengaduk makanananya. "Dia murid baru jadi perlu pemandu untuk PLS," sambung Pak Susiono. "Hm." Begitulah jawaban Elang. Menikmati hidangan tanpa gangguan, sayangnya itu hanya hayalan Sabina. Tiba-tiba sebutir nasi seakan masuk ke tenggorokannya secara kasar, membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk. Tidak ada air di gelasnya. Bodohnya, dia tidak mengisinya sebelum makan. Sabina membungkukan tubuhnya ke samping agar batuknya ini tidak terlalu mengganggu orang lain di sekitarnya. "Elang, kasihin minum kamu!" sentak Erika saat mendapati Elang justru diam saja. Elang segera memberikan gelasnya namun tidak menatap Sabina. Terus terbatuk, hingga satu tenggak air bisa mengobatinya. "Makasih." cicit Sabina yang tentu tidak ditanggapi oleh Elang. Baik, dia menerima semuanya. Sadar dirinya siapa. Orang baru seperti dia ini tidak usah terlalu banyak meminta. Segera, setelah itu Sabina melanjutkan makannya. Sunyi, suara sendok yang beradu dengan piring, itupun tidak terlalu terdengar jelas. Karena semuanya makan dengan perlahan, seperti penuh kehati-hatian. Satu orang, yang sepertinya sembrono. Padahal, Sabina pikir gadis itu bisa makan dengan lebih tenang darinya. Clarista memang tidak makan dengan lahap, tapi se-penglihatannya Clarista makan terlalu berisik darinya. Dan benar, satu teguran keluar dari mulut Pak Susiono. "Clarista, lebih tenang sedikit." ujar Pak Susiono tegas. Clarista mengangguk canggung. Entah mengapa sebelum kembali pada hidangannya, Clarista melirik tajam Sabina. "Elang, berangkat," Elang berdiri membuat semua orang menatapnya. "Sabina, Clarista, kalian ikut dengan Elang." perintah Pak Susiono. Mereka berdua segera bangkit dari tempatnya. Ah, sayang sekali padahal makanannya belum habis. Jika di Panti, pasti akan dimarahi oleh ibu Retno. Sebelum pergi keduanya menyalami tangan mertuanya, melihat itu Elang menghembuskan nafasnya lelah sehingga punggungnya terlihat turun. Elang segera menyalami tangan kedua orang tuanya. Setelah itu, ketiganya keluar seraya jalan beriringan. Saat jarak sudah jauh dari pandangan kedua orang tuanya, tas yang semula berada di punggung Elang dilempar begitu saja pada Sabina, karena tak siap tas itu jatuh. "Ambil," titah Elang sebelum berlalu pergi. Sabina membungkuk untuk mengambil tas Elang. Clarista mendekat, senyumnya miring. "Sekalian!" Clarista menyerahkan tasnya secara kasar. Menatap dua orang yang sudah berlalu dengan tatapan sedih, menarik senyumannya agar kembali merekah. Tidak, hari ini bukan untuknya bersedih. Hari ini dia harus ceria, lagi pula tas Elang dan Clarista tidak begitu berat. Bahkan jika dibandingkan dengan miliknya mungkin lebih berat miliknya. Melangkah dengan semangat, Sabina menampilkan senyuman manisnya. Baru saja tangannya akan menarik pintu mobil agar terbuka. Tapi, suara tegas dan penuh perintah mendominasi telinganya, "lo naik taksi." setelah itu, Elang dan Clarista melenggang dengan mobil mewah meninggalkan Sabina yang terdiam tanpa ekspresi. Sepertinya, pagi ini dia harus banyak bersabar. Sabina harus segera pergi, sebelum kedua mertuanya datang dan menanyakan semuanya. Sudah hampir lima menit, Sabina menunggu angkot atau sejenisnya lewat. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depannya membuyarkan lamunan yang mengambil fokusnya beberapa saat. Dia kenal mobil itu, mobil mewah yang selalu mau mengantarkannya ke pasar. "Sabina!" teriak Brent yang masih berada di dalam mobil. Sabina melambaikan tangannya sambil tersenyum. Mobil Brent mendekat pada Sabina. "Kamu, sekolah?" Brent masih berada di dalam mobil, Sabina menggangguk. "Seragam kita sama, berarti kita satu sekolahan?" tanya Brent penuh binar. Sabina hanya mengangguk canggung, dia tidak tau pasti dia akan sekolah di mana. Yang pasti di SMA Barrek. "Satu buku satu tas, Na?" tanya Brent bingung karena Sabina membopong dua tas dan satu tas lagi dipunggung gadis itu. Terkekeh, "iyah nih, buat jaga-jaga." jawabnya mengada-ada. Antisipasi saja, daripada dia menjelaskan semuanya. Lagipula, Brent tidak perlu tau jika dia sudah menikah dengan Elang dan sudah pindah rumah juga. Brent Galih Welborn, anak orang kaya, pengusaha Kelapa sawit. Meski dari keluarga orang kaya, Brent tidak pernah malu berteman dengan Sabina, bahkan anak jalanan juga. Brent anak yang baik, ramah dan konyol tapi juga lemot. Cowok itu selalu mengunjungi Panti asuhan setiap 1 minggu 3 kali. Hari Minggu, Rabu dan Sabtu. Dan, setiap malam sabtu, Brent pasti selalu mengajaknya jalan-jalan. Meski tidak terlalu jauh tempat tujuannya. "Buruan masuk, nanti telat." Brent langsung masuk ke mobilnya," Sabun cuma mengangguk. Untung saja, Brent datang di waktu yang tepat. Dengan masih membopong tas, Sabina segera masuk ke dalam mobil Brent. Menjalankan mobilnya, mereka melenggang meninggalkan tempat Sabina sebelumnya. "Jadi, lo tinggal sama orangtua asuh, sekarang?" tanya Brent memastikan, matanya masih fokus pada jalanan. Sementara itu, Sabina mengangguk. Dia terpaksa berbohong, Brent memang sahabatnya. Tapi, menjelaskan semuanya bukanlah hal yang tepat untuk saat ini. "Terus," Brent membuka dashboard dan mengambil satu cokelat untuk Sabina sebelum melanjutkan ucapannya lagi, "alamatnya di mana?" Sabina tersenyum, Brent selalu memberikannya cokelat. Makanan yang membuatnya lemah, ya dia sangat suka cokelat. Sabina tidak langsung menjawab, dia masih berfikir. Apa Brent harus tau tempatnya tinggal sekarang? "Pulang sekolah bareng lagi, gak?" tanya Sabina, Brent mengangguk. "Kalau gitu, nanti kamu bakal tau aku tinggal di mana." jawabnya, Brent tersenyum, "oke, deh." .... Megah, bersih dan sejuk. Tiga kata yang menggambarkan sekolahan Albarek ini. Sabina pikir Brent memberhentikan-nya di sebuah kampus. Ternyata, mereka sudah sampai di SMA Barrek. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan kata kagum dengan intonasi rendah. Brent, disebelahnya, tersenyum maklum. "Ayok, gue anterin ke kelas lo." Sabina mengangguk. Untung ada Brent, jika tidak mungkin dia akan kesulitan mencari kelasnya. "Lo, kelas apa, IPA, IPS, Sastra atau apa?" di sekolah Barrek ini memang banyak sekali jurusannya. "Em, gue kelas IPA." ya, sepertinya dia kelas IPA. Masalahnya, dia tidak tau dan terakhir dia dengar jika tidak salah, Bu Erika mengatakan jika dia masuk ke jurusan IPA, sama dengan Elang. Mengandeng tangan Sabina, Brent melangkah dengan Sabina di sampingnya. Sama seperti Elang, Brent adalah murid incaran para cewek-cewek di sekolah. Tapi, Brent ramah sedangkan Elang jutek dan dingin. Di perjalanan menuju kelas Sabina, Brent selalu membalas sapaan dari mereka yang menyapanya. Brent juga menjawab pertanyaan dari mereka yang menanyakan tentang siapa yang sedang cowok itu gandeng. Banyak juga yang merasa kecewa karena Brent menggandeng Sabina. Termasuk Iris Prawery, kelas 12 IPS 2 .... Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote, ya! See you~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD