Sabina Pembantu

2542 Words
Brent tersenyum sembari satu alisnya terangkat, menunggu tanggapan atau ekspresi dari Sabina setelah melihat kelasnya. Semenit berlalu, tidak ada reaksi ataupun ekspresi yang Sabina berikan. Ia terlihat biasa saja. Seperti pernah melihat sebelumnya. "Lo pernah ke sini?" tanya Brent. Sabina menoleh, lalu menggeleng kemudian tersenyum. "Belum pernah. Aku suka kelasnya. Cuma, aku takut aja orang-orang di dalam belum tentu suka sama aku," jawabnya. Ada ketakutan yang terlihat dari ekspresi Sabina kali ini. Brent paham apa maksud Sabina. Murid baru biasanya akan bergejolak bimbang ketika memasuki kelas. Banyak pertanyaan yang seakan-akan langsung hinggap dan menari-nari dipikiran. Semisal, apa mereka akan bisa diajak berteman? Atau apa mereka menyukai kehadirannya dan pertanyaan-pertanyaan lain yang justru membuat insecure. Sudah lama bersahabat dengan Sabina, Brent tahu bagaimana sahabatnya itu. Ia menepuk pundak Sabina pelan. "Udah gak usah dipikirin. Lo masuk aja, anggap aja semuanya adalah temen lo," katanya, menenangkan Sabina. Sabina tersenyum tipis. Ia tidak yakin mereka bisa dianggap sebagai teman. Sabina menghela napas, ia akan mencobanya. Tidak akan menolak juga, toh tidak mungkin ia pulang karena takut dengan hal yang belum pasti. Terkadang hal seperti ini yang kerap membuat orang gagal. Takut memulai. "Yaudah sana masuk, ntar istirahat gue ke sini lagi. Atau kita ketemu di tangga aja," putus Brent. Sabina mengangguk lagi. Kelasnya terletak di lantai 3 begitupun kelas Brent. Hanya saja, mereka berbeda lorong kelas. Kelas Sabina berada di lorong pertama, sementara kelas Brent di sebelahnya. Satu dua orang yang kebetulan lewat memperhatikan mereka. Terlebih lagi, mereka mendapati Brent sang Most Wanted sekolah berbincang dengan gadis yang sangat asing di sekolah ini. Sabina menunduk karena malu dan tidak terbiasa diperhatikan seperti itu. Brent yang tahu, segera memberi tatapan tajam pada setiap orang yang memperhatikan mereka. Tatapannya itu seolah berkata, "Mau mati, lo?" Dan itu berhasil membuat mereka semua berhenti memperhatikan mereka kemudian berlalu dengan melangkah secepat mungkin. Tidak mau menjadi korban amukan Brent. "Udah sana masuk. Lo gak mau dilihatin terus kan?" "Iya, Brent," jawabnya pelan. "Brent, nanti kita ketemu di tangga aja," putus Sabina. Bukan bermaksud apa-apa. Untuk saat ini, ia membutuhkan Brent. Lingkungan sekolah ini masih asing untuknya. Bahkan ia saja tidak tau toilet di mana, ia juga tidak tau perpustakaan di mana. Masih banyak tempat yang belum ia kunjungi. Satu-satunya orang yang ia kenal hanyalah Brent, beruntung sekali ketika Brent dengan senang hati mau menemaninya. "Iya, siap!" seru Brent. Brent berlalu bersama dengan senyum manis khasnya, Sabina melambai lalu menghembuskan nafasnya gelisah. Jarinya lebih menggambarkan betapa gelisahnya ia dengan terus bergerak di tali tas punggungnya. Sebelum masuk, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Menatap daun pintu kelas yang tertutup di depannya. Dengsn mantap, Sabina melangkah memasuki kelasnya yang bernuansa biru muda dan putih. Saat memasuki kelas, ia disambut oleh banyak murid yang memperhatikannya dengan tatapan keheranan. Juga ada yang bersiul-siul tak jelas. Entah apa maksudnya. Beberapa gambar tentang Pertumbuhan Makhluk hidup hingga tentang Evolusi tertempel di dinding dengan rapi. Kursi-kursi tersusun rapi, kelas juga bersih. "Eh, siapa lo main masuk kelas kita aja? Lo salah kelas?" Satu pertanyaan terdengar tak bersahabat. Sabina tidak berani menoleh ke arah sumber suara itu. Ia hanya bisa menelan air liurnya dengan susah payah. "Hei! Kalau ada orang nanya dijawab, tuli lo? Kalau tuli jangan sekolah di sini!" Itu perkataan yang lain, bukan dari mulut laki-laki seperti tadi, tapi kali ini perempuan. Perkataannya lebih menyakitkan. Sabina yang berdiri di depan kursi-kursi berdiri dengan sekuat mungkin. Kakinya sedikit demi sedikit bergetar tangannya mencengkeram pinggiran roknya. Astaga, kenapa atsmosfer di sini seketika menyeramkan. Ia ingin segera keluar dari kelas. "A--- aku ... aku murid baru di sini," jawabnya, memberanikan diri. "Apa? Lo ngomong apa sih? Kalau ngomong itu yang jelas, terus kepala lo juga harus tegak!" bentak perempuan yang duduk di depan, dekat dengannya. Sabina menelan ludahnya sekali lagi, dengan pelan-pelan dan takut-takut ia menegakan kepalanya. "Aku---" Kalimatnya seketika terpotong saat kedua bola matanya tak sengaja mendapati satu orang yang duduk di pojok paling belakang. Tak sengaja tatapan mereka bertemu, ia merasakan tatapan tajamnya begitu membuat jantungnya lemah. Kakinya seakan tak bertulang. Sungguh, auranya bisa memberi efek tersendiri untuk tubuhnya. "Kenapa lo ngelihatin, Elang?!" tukas perempuan yang duduk di depan. Entah siapa dia, tapi yang jelas gadis ini tidak ramah dan sepertinya tidak suka dengannya. Sabina memutuskan kontak mata mereka berdua. Ia segera melangkah mencari tempat yang kosong, mengabaikan tatapan-tatapan yang mengintimidasinya. Seolah ia berpakaian paling mencolok di kelas ini. Padahal, tidak sama sekali. Keributan semakin menjadi-jadi, saat ia memutuskan untuk duduk di bangku depan. "Pinter lo? Dengan percaya diri duduk di depan?" sindir salah satu murid cewek. "Ya elah, palingan mau ngambil perhatian guru! Biasa murid baru banyak banget akal bulusnya!" "Punya apa lo berani masuk kelas ini? Gak lihat? Yang masuk di sini orang-orang kece semua? Gak ada yang buluk kek elo? Juga gak ada kan yang cupu kayak elo?!" Sabina memejamkan kedua matanya erat-erat. Ia hanya bisa menelan pahit-pahit hinaan itu. Ia tahu, itu termasuk bulian untuknya. Ini awal dia sekolah tapi mereka sudah tidak bersahabat. Rasanya, ia ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi ia tidak ingin dianggap lebih lemah lagi, sebisa mungkin ia menahan air mata yang terbendung di pelupuk juga hati yang terasa begitu nyeri. Suara hinaan terus mengalun begitu berirama di telinganya. Ia yakin, sampai pelajaran belum di mulai pun, mereka tidak akan berhenti. Seolah mereka menemukan target yang empuk. Sabina menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan. Ia hanya bisa pura-pura tuli dan memilih mengambil buku dari dalam tasnya. Barangkali membaca sesuatu bisa mengalihkan fokusnya. Sesekali Sabina menatap keluar jendela yang berada di sebelahnya. Keadaan di bawah sana cukup ramai. Cowok-cowok bermain basket, anak gadis bercengkerama dengan temannya. Juga ada yang berduaan dengan lawan jenis. Jika memiliki teman, sekolah memang menjadi tempat menarik. Tapi jika sendirian, sekolah seperti penjara. Sabina berhenti memandangi aktivitas di lapangan ketika satu wanita berkisar 40 tahunan memasuki kelas mereka. Suara-suara yang semula terdengar mengejeknya berhenti seketika. Mereka tidak mau kena marah hanya karena ketahuan membuli Sabina. Guru 40 tahun itu meletakan buku-buku yang ia bawa ke atas meja, kemudian duduk. Mengambil kaca mata baca, kemudian memakainya. "Kalian sudah tau?" kata guru itu, dengan padangan ke depan. Pertanyaan menggantung itu menyulut gelengan kepala semua murid. "Tidak, Bu." jawab mereka serentak. Tanpa babibu guru itu memanggil Sabina. "Sabina, silahkan ke depan." Guru itu melambaikan tangan, menyuruh Sabina maju. Sabina berdiri dengan sungkan dan melangkah mendekat. Hingga ia berdiri di depan kelas. "Saya Arini, Wali kelas kamu sekaligus guru Fisika untuk kelas 12," jelasnya memperkenalkan diri sembari tersenyum ramah setelahnya. "Sekarang, perkenalkan diri kamu." Sabina mengangguk, ia memutar badanya perlahan. Menghadap ke depan, semua tatapan langsung menatapnya tidak bersahabat. Rasanya tenggorokan Sabina kekeringan, bahkan untuk menelan saja susah. Diam untuk beberapa detik, hingga suara jam dinding digital lebih terdengar bersautan dengan suara detak jantungnya. Ini bukan pertama kali ia mengenalkan diri, yang membuatnya sulit adalah status yang terbentang jelas. Mereka sudah tau, jika ia tidak lebih keren dari mereka. Menghirup napas dalam-dalam, segera ia menghembuskannya pelan. "Nama saya, Sabina Arika. Sebelumnya saya tidak bersekolah." Kalimat bodohnya itu kontan membuat yang lain saling bertanya, memicu keributan. "Kenapa lo bisa masuk SMA kalau lo nggak sekolah?!" Satu murid membernaikan diri bertanya. Sabina terdiam, ia menelan ludahnya sekali lagi. Jantungnya semakin berdegup lebih kencang. Mereka salah paham. "Saya memang tidak lanjut SMA sebelumnya. Tapi saya lulus SMP. Dan saya menghabiskan waktu di rumah dengan belajar," jawabnya. Kali ini sedikit lebih percaya diri. "Terus, lo tinggal di mana?" "Saya ... saya tinggal di ...." Sabina menggantungkan ucapannya. Ia tidak tau harus menjawab apa. Sabina menelan air ludahnya sekali lagi. Ia memandangi sekeliling ruangan kelas, mereka masih menunggu jawabannya. Seketika matanya berhenti, pada sosok Elang yang duduk di ujung tanpa memperhatikannya. Gejolak kebimbangan kembali menghantui hatinya. Bagaimana mungkin ia akan mengatakan bahwa ia tinggal di rumah Elang, sementara mereka saja tidak suka dengan kehadirannya. Apalagi ketika mereka tau jika ia tinggal di rumah Elang. Pasti, semua akan semakin membencinya. "Woi, tinggal di hutan lo?!" teriak cowok yang duduk di bangku pojok kanan paling belakang merasa geram karena Sabina tidak kunjung menjawab. Yang lainnya tertawa karena omongan Zack--nama cowok itu. "Zack, diam!" sentak Bu Arini, cowo berambut awut-awutan dengan kulit gelap itu segera diam tak berkutik. "Baiklah, tidak apa-apa jika kamu tidak memberi tau alamat rumah kamu, sekarang silahkan duduk," suruh Bu Airin. Ia bekerja dengan baik, mengintrupsi muridnya untuk tidak membuat keributan di kelas. Sabina bersyukur dalam hati. Guru Fisika yang satu ini lebih baik dari guru Fisika kebanyakan. Kemungkinan, wanita itu akan menjadi guru favoritnya. Baru saja ia akan melangkah ke bangkunya, penuturan dingin dari seseorang yang sedari tadi mengabaikannya membuat semua murid seketika menjatuhkan tatapan mereka ke arahnya. "Dia tinggal di rumah gue, pembantu gue," tutur Elang tanpa beban, menjelaskan ketidakbenaran yang menyakiti hati Sabina. *** Kelas usai beberapa menit lalu, disambut riuh menggelegar seisi ruangan oleh suara-suara murid yang berteriak kelaparan dan berseru kegirangan. Menjadi tidak peduli adalah pilihan Elang. Ketika sesuatu tidak begitu penting, apa yang harus dipedulikan? Ia sadar dan teramat sadar, penuturannya tadi membuat semua murid mendekatinya dan menanyakan kebeneran. "Bener Lang, Sabina pembantu lo?" tanya salah satu murid cowok yang bernama Reyhan. Dia terkenal nakal juga playboy. Saat yang lain tidak ada yang berani mendekati Brent, dia satu-satunya murid yang berani. "Lo budek? Gak denger gue ngomong apa tadi?" sahutnya teramat judes. Reyhan memanyunkan bibirnya. "Gak asik lo!" cibirnya, memilih pergi keluar kelas. Baginya, perkataannya tadi sudah jelas. Perkataannya tadi juga tidak terlalu buruk untuk gadis menyebalkan seperti Sabina. Ia tidak pusing dan tidak akan risau gadis itu akan sakit hati lalu menangis. Justru itu adalah hal paling bagus. Karena dengan begitu, Sabina akan pergi dari kehidupannya. Tidak akan pernah, ia mau menganggap Sabina sebagai istrinya. Status pembantu lebih bagus untuknya daripada menjadi pendamping hidupnya. Siapa yang mau dijodohkan dengan gadis seperti Sabina? Tidak cantik dan juga cupu. "Pantes aja, muka lo buluk ke gitu ternyata gak lain dan gak bukan lo adalah pembantu Elang!" ejek Sofia lalu tertawa di akhir kalimatnya. Sofia yang bersama teman-temannya mengerumuni Sabina. Seolah Sabina adalah mangsa yang empuk. "Eh, tapi kalian perlu tau, pembantu gue aja gak sebuluk Sabina, gue jadi curiga jangan-jangan Sabina sebelumnya adalah gembel?" imbuh teman Sofia yang rambutnya keriting. Yang lain mengangguk setuju dengan apa yang teman Sofia katakan, mereka laku tertawa keras. Sementara, Sabina hanya menunduk malu. Elang yang melihat itu tetap diam di tempatnya. Memilih menetap di kelas, memandangi gambaran-gambaran yang sudah ia hafal-karena terlalu sering berada di tempat yang sama. Sebagian murid yang lain memilih mengosongkan kelas dan menyisahkan dirinya serta beberapa murid yang memang suka berada di kelas. Meski terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah, tapi Elang bersikeras untuk duduk di pojok kelas. Pojok kelas sebelah kiri, dekat dengan jendela, di mana ia bisa memandang yang lain dari atas. Meksi sebenarnya, ia tidak begitu peduli akan apa yang mereka lakukan. Menjadi pengamat adalah kebiasaannya. Hingga ia tau, kegiatan-kegiatan apa yang sering murid-murid lakukan di jam-jam begini. Jika tidak bermain basket, berkumpul di parkiran, memenuhi kantin ataupun sebagiannya memilih berkumpul di taman sekolah. Kantin, bukanlah tempat favoritnya ketika istirahat. Elang bukan anak yang tidak punya pergaulan. Ia hanya suka menyendiri, suka dengan keheningan. Tidak ada yang boleh mengganggunya, tidak seorang pun. Meski hanya duduk sembari berkutat dengan pikirannya itu adalah kegiatan tidak terbatas. Tidak ada yang bisa membatasinya. Termasuk ke dua orang tuanya. Orang-orang sering menganggapnya Bad Boy. Padahal ia tidak tau, hal apa yang membuatnya di cap sebagai Bad Boy. Di sekolah, ia murid yang rajin mengerjakan tugas. Sebagian murid pintar kadang merasa ia adalah saingan mereka. Tapi Elang tidak pernah menganggap itu. Sebagian guru juga menyukainya karena ia tidak pernah membolos. Entahlah, apa yang membuatnya mendapat julukan itu. Yang mereka tau hanyalah, ia yang suka menghamburkan uang dengan pergi ke kelab malam setiap harinya. Lalu beradu fisik di luar sekolah dengan siapapun yang mengganggunya. Merokok hingga minuman keras, tapi ia lakukan itu semua di luar sekolah. Jujur, ia memang terlihat pendiam di sekolah namun brutal ketika di luar. Itu semua untuk menghindari pihak sekolah melapor kepada orang tuanya. Orang-orang yang mengerumuni Sabina sudah pergi, satu orang datang memasuki kelas dan melempar tatapan ke arah Sabina. "Masuk kelas sini lo," katanya dengan suara tak ramah. Elang menegakkan duduknya saat Clarista mendrkatinya. Elang melempar senyum pada Clarista. Gadisnya itu selalu mempesona untuknya. Dan, ia selalu terpesona. "Ayok kantin," ajak Clarista dengan manja, sembari mengulurkan tangan. Elang menggeleng. "Ajakin Bela," jawabnya datar. Elang bukan marah, hanya saja memang begitu. Clarista merajuk, "Maunya sama kamu," rengek Clarista manja, duduk di kursi samping Elang. "Kamu mau makan apa?" tanya Elang, mengambil ponsel di saku kemejanya. Wajah Clarista yang semula cemberut berubah drastis, menampilkan senyum sumringah. "Aku mau makan salad," jawabnya, melirik Sabina yang bangkit berdiri kemudian keluar kelas. Elang mengambil ponselnya, mengetik beberapa menit sebelum akhirnya kembali diam dan menatap ke luar lewat kaca di sebelahnya. Berkerut dahi, Clarista menarik bahu Elang, hingga Elang kembali menatapnya. "Apa?" tanya Elang malas dengan alis tebalnya yang terangkat satu. "Kantin!" pinta Clarista. "Ga perlu, itu makanan kamu." Elang menunjuk ke dua orang laki-laki yang membawa dua box sterofom, dan dua minuman botol. Panji dan Gusti, dua pesuruh Elang. Masalah fisik, tidak usah dijelaskan lagi. Mereka yang dari kalangan atas selalu memperhatikan fisik serta penampilan. Hanya saja, otak mereka terlalu polos. Selain itu, mereka selalu takut pada Elang yang terkenal pintar bela diri. "Bos, ini makanan kalian." Gusti segera melatakan perlahan makanan dalam kantong kresek ke atas meja. Disusul, Panji meletakan minuman secara rapi dan cekatan. Clarista tertawa pelan. "Kalian, memang pesuruh yang terbaik!" kagum gadis itu, sambil mengacungkan jempol. Keduanya, membusungkan d**a sembari memukulnya dramatis. "Jelas!" sahut Gusti bangga diri, melirik Panji. Sementara itu, Elang memutar bola matanya malas. "Pergi." titahnya, segera keduanya pergi setelah berpamitan padanya. Tertawa, Clarista merasa lucu dengan kedua pesuruh suaminya itu. "Sayang, makasih ya. Kamu romantis banget." Clarista menyenderkan kepalanya pada bahu Elang. Tidak mengangguk, Elang tersenyum tipis. Mengambil dua box di depannya dan memberikan satu kotak pada Clsrista. "Habisin." Clarista menegakkan tubuhnya, mengangguk sebelum menyerbu salad, makanan kesukaannya. "Sayang, kamu tau. Aku denger Brent nungguin anak haram itu di tangga, kayaknya mereka ada hubungan," ungkap Clarista di sela makannya. "Brent?" ulang Elang memastikan. Elang diam, memikirkan sesuatu. "Iya, aku juga gak tau kenapa mereka bisa dekat. Atau mungkin aja, Brent mau deketin Sabina? Kamu tau kan Brent itu kayak gimana kalau ada murid baru?" tanya Clarista, menyuapi mulutnya. Elang masih diam, entah mengapa perkataan Clarista membuatnya seperti ini. "Kayaknya, selain anak haram Sabina juga jalang. Kayaknya juga dia kayak kamu deh Lang, dia nggak pernah menganggap pernikahan kalian ada." "Di mana?" tanya Elang, cukup penasaran. Clarista menoleh, dahinya mengerut. "Di tangga. Kamu kenapa?" tanya Clarista, merasa aneh dengan Elang. Elang menggeleng. "Kamu tau, tadi aku juga denger banyak yang bilang Sabina itu pembantu kamu. Aku nggak tau mereka tau dari mana." "Aku yang bilang," jawab Elang. Clarista terkejut tidak menyangka. "Oya? Wah, kamu hebat banget sih, Lang." Clarista merangkul lengan Elang dengan manja. Sementara itu, Elang masih diam sembari berpikir. Ia tidak menyangka akan Sabina. Gadis polos itu ternyata jalang. Jalang. Batin Elang. **** untuk lanjut ke cerita selanjutnya, tolong bantu ramaikan cerita ini ya. Yang paling penting masukin cerita ini ke library kalian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD