Pembulian, Sabina berusaha sabar.

2860 Words
PERINGATAN : DILARANG KERAS UNTUK MEMBAGIKAN ISI CERITA WALAU HANYA 1 EPISODE ATAU BAHKAN DUA PARAGRAF!! MEMBAGIKAN ISI CERITA KE TEMAN, SOSIAL MEDIA, KELUARGA ATAU KE SIAPAPUN SAMA SAJA MEMBAJAK CERITA INI YANG MANA AKAN DIKENAKAN PASAL PEMBAJAKAN! LEBIH BAIK, AJAK TEMAN, SAUDARA, KELUARGA ATAU YANG LAINNYA MEMBACA CERITA INI DI APLIKASI INI. Yang diperbolehkan adalah membagikan judul atau link cerita ini. Selain itu, sangat dilarang keras!! SEKALI LAGI, PEMBAJAKAN ADALAH PELANGGARAN HUKUM YANG AKAN DIKENAKAN SANGSI APABILA DILANGGAR. _______________________________________ Sabina menahan sesak ketika keluar dari kelas. Ia tidak menyangka, seluruh teman kelasnya akan bersikap tidak menyenangkan. Bagaimana bisa, saat ia berusaha untuk datang dengan cara baik-baik--mereka justru membuli dirinya. Seolah, kedatangannya di kelas XII IPA itu adalah kesalahan. Andai bisa jujur di depan mereka, masuk ke kelas IPA bukanlah keinginannya. Ia sempat berpikir setelah kejadian pembulian tadi, kemungkinan Bu Erika sengaja mengirimnya ke kelas IPA yang merupakan sekelas dengan Elang--agar Elang mau melindunginya. Jangankan melindunginya, Elang justru membulinya juga. Dengan kepala menunduk Sabina keluar dari kelas. Sepertinya, semua murid di sini sudah tau bahwa ia adalah pembantu Elang. Apa yang Elang katakan tadi pasti cepat sekali tersebar, rasanya ia tidak tau harus bagaimana. Pelan-pelan ia melangkah melewati murid-murid yang julid kepadanya. Bahkan ia sampai menempelkan badannya ke dinding-dinding kelas agar tidak terlalu berdekatan dengan mereka. Bukan apanya, ia sadar diri, mereka tidak mau dekat-dekat dengan dirinya. Sampailah ia di tangga yang Brent maksud, cowok itu sudah menunggu dengan duduk di pertengahan anak tangga. Terlihat sendirian, Brent seperti sudah menyiapkan waktunya untuknya. Sabina sampai di anak tangga, ia berdiri di belakang Brent dengan jarak satu anak tangga. Ia memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang yang memperhatikannya. Sudah cukup ia dibuli perihal statusnya, ia tidak mau lagi dibuli tentang dirinya yang dekat dengan Brent. Sebisa mungkin ia mengatur jarak. "Brent," panggil Sabina pelan. Brent yang sedang duduk membelakanginya sembari memperhatikan murid-murid lewat--berbalik. Ia mundur dua langkah berdiri di samping Sabina, bersejajar. Brent langsung menoleh, ia menangkap raut wajah Sabina yang tidak seperti tadi pagi. "Lo kenapa, Na?" Brent masih menilik raut muka Sabina. "Ah, gak papa Brent. Kita jadi keliling sekolahan ini kan?" tanya Sabina mengalihkan percakapan. Ia juga sesekali mengalihkan wajahnya ke arah lain agar Brent tidak bisa menilik raut mukanya. Sabina mengulas senyum selembut mungkin. "Yaudah ayok," putus Brent, meski sebenarnya ia masih ragu. *** Bersih dan sejuk. Itulah kesan pertama yang Sabina dapatkan setelah berkeliling sekolahan Barrek ini. Para penjaga sekolah di sini juga sangat ramah. Dua satpam yang bernama Paijo dan Sugeng itu amat ramah kepada Sabina begitupun kepada Brent. Sabina suka berada di sini. Walaupun ia agak belum terbiasa dengan hal-hal mewah, tapi semuanya terasa indah dipandang mata dan ia akan mencoba beradaptasi. Ia dan Brent sudah mengunjungi beberapa tempat, salah satunya adalah kelas seni. Di sana, ada beberapa lukisan yang bisa memanjakan mata. Tidak heran, para murid di sana diajar dengan sangat baik, itu kata Brent. Bahkan setiap minggunya terkadang mengadakan acara seni. Kelas seni yang sering membuat sekolah Barek ramai. "Nah, kalau yang ini ruang perpustakaan. Dari luar emang sepi, tapi kalau udah masuk ... beeh!! Makin sepi," kata Brent sambil terkekeh, Sabina tau Brent mencoba melucu, untungnya ia juga ikut terkekeh karenanya. Sekarang, mereka berdua sudah berada di depan pintu Perpustakaan. Letaknya di lantai 3, karena ini perpustakaan khusus untuk kelas 3 saja. Setiap tingkatan kelas memiliki ruang perpustakaannya sendiri. Untuk kelas 1 dan 2 berada di lantai mereka masing-masing. Sabina memandangi pintu perpustakaan yang tertutup. "Boleh masuk, gak?" satu alisnya terangkat. Ia tidak tau pasti, setiap jam berapa perpustakaan ini boleh dikunjungi. Atau siapa saja yang boleh mengunjungi perpustaan ini. Dari sudut mata Sabina, ia bisa melihat Brent yang memutar bola matanya. "Boleh lah, Na. Inikan bukan toko buku. Bahkan toko buku aja bolehin orang masuk," jawab Brent agak kesal. Sabina menoleh dengan satu tangan yang menggaruk kepalanya. "Ya, maaf aku gak tau," jawabnya lirih, juga apa adanya. Brent menghela napas pelan. "Yaudah ayok masuk." Lebih baik langsung mengajak gadis ini untuk masuk. Kasian juga, Sabina mungkin sudah terlanjur penasaran. Ia ingat dengan jelas, Sabina menyukai buku. Dulu ia pernah membelikan buku untuk Sabina, entah masih disimpan atau diberikan kepada anak panti yang lain. "Sabina," panggil Brent pelan sebelum ia membuka pintu perpustakaan. "Kenapa, Brent?" Sabina menunggu Brent yang akan mengatakan sesuatu. "Cuma mau bilang kalau lo bisa ke perpustakaan ini kapanpun. Walaupun malam juga bisa." Sabina mengangguk, walaupun sedikit tak mengerti. "Oh, gitu ya. Penjaganya rajin banget," sahut Sabina apa adanya. "Bukan rajin, emang udah ditugasin gitu. Jadi, kapanpun murid mau pinjem buku bisa pinjem di sini. Semua ruangan, kayak ruangan musik atau lapangan in door kayak tadi, juga bisa digunain di luar jam sekolah," tutur Brent, kali ini ia serius. Sabina mengangguk-angguk paham, ternyata enak juga sekolah di sini. Meski, Sabina tau pasti biayanya sangat mahal. Jika bukan karena mertuanya sekarang, mungkin ia tidak akan sanggup sekolah di sini. Bahkan hanya untuk berjualan saja kemungkinan tidak bisa, karena para penjual di kantin sekolah ini adalah chef-chef handal yang sengaja di kontrak oleh kedua orang tua Elang-selaku pemilik sekolah Barrek ini. Karena mereka bekerja dengan sistem kontrak, jadi setiap tahun mereka akan diganti. Itu yang Sabina dengar dari Brent. Brent selesai menjelaskan, satu tangannya terulur lagi untuk mendorong gagang pintu di depannya. Ia menarik tangan Sabina untuk masuk, Sabina hanya ikut saja, ia pasrah. Berada di dalam perpustakaan, Sabina langsung terpesona akan suasana di dalam ruang perpustakaan ini. Sungguh luas dan juga sangat rapi tatanan rak-rak buku dan juga buku-bukunya. Sabina hampir menganga kalau saja ia tidak ingat tempat. Disalah satu sisi dindingnya seperti dilukis dengan gambar pemandangan alam yang sangat bagus, sisi itu seperti bisa menyejukan ruangan ini. Ia bisa menduga, lukisan itu adalah karya anak seni dari sekolah ini. Ada juga sisi yang lain, hanya dibiarkan polos dengan warna biru muda dan beberapa bingkai bertuliskan kata-kata motivasi yang terpajang rapi. Rata-rata berbahasa Inggris tapi juga tidak sedikit yang menggunakan bahasa Indonesia. Satu hal lagi yang membuat Sabina semakin kagum adalah, para murid membaca dengan sangat tenang. Mereka seperti tidak terganggu dengan suara apapun dan suara dari luar juga tidak terdengar. Kemungkinan kedap suara atau bagaimana? Entahlah .... Tidak ada keributan, suara orang berbisik pun tidak ada. Jika ingin menajamkan pendengaran, kemungkinan suara halaman kertas yang dibalik pun tidak terdengar karena mereka membuka halaman demi halaman sepelan mungkin. Penjaga perpustakaan tidak perlu repot-repot menegur jika begini. Brent menggerakan dagunya ke samping di mana jejeran bangku-bangku panjang beserta meja panjang berjejer rapi. Sabina tau, Brent menyuruhnya duduk karena sedari tadi penjaga perpustakaan memperhatikan mereka berdua yang masih asik berdiri. Sabina menurut. Tapi dugaannya salah, ia kira Brent akan menyuruhnya duduk tapi laki-laki itu justru mengajaknya ke deretan rak-rak yang berisi banyak buku-buku novel. Kedua mata Sabina terbelalak, ia tidak pernah melihat buku sebanyak ini. Apalagi buku novel, tidak pernah. Hampir semua genre novel ada di sini. Brent sampai tersenyum lebar melihat ekspresinya. Segera, saat sudah ia temukan satu buku yang menurutnya menarik. Sabina duduk di bangku panjang, dengan meja panjang di depannya. Penyusunan di ruangan ini cukup menarik menurutnya. Satu sisi diisi oleh seluruh rak, dan sisi sebelahnya bangku serta mejanya. Tapi tetap memberi celah sebagai jalan. "Lo, mau baca di sini?" tanya Brent seraya berbisik. Bahkan, ketika Brent berbicara dengan suara sangat pelan pun sepertinya masih bisa terdengar oleh yang lain. Terbukti saat Brent berbicara yang lain meliriknya sekilas. Tau akan kondisi dan situasi, Sabina menggeleng. Tapi sayang sekali, jika ia tidak bisa membaca novel yang baru saja diambilnya. "Udah, lo pinjem aja. Waktunya 3 hari." jelas Brent masih dengan suara berbisik sepelan mungki. Tanpa sadar Sabina tersenyum, kalau di sini tidak ramai mungkin Sabina akan menjerit kesenangan. Brent lantas berdiri, disusul oleh Sabina. Sejujurnya, ia hanya ikut-ikut saja akan apa yang Brent lakukan. Brent ternyata berhenti di meja penjaga perpus. Ia mengambil buku yang ada di tangan Sabina. Penjaga perpus tersebut menunjuk layar monitor di atas meja. Bermaksud agar Sabina ataupun Brent mengisi formulir peminjaman buku. Karena hanya Sabina yang meminjam, tetapi Sabina belum tau bagaimana prosedur peminjamannya, akhirnya Brent-lah yang mengisikan formulir tersebut, Sabina hanya mengamati, agar kedepannya ia paham. Setelah selesai, mereka berdua keluar dari perpustakaan. Kembali indera pendengaran mereka di sapu oleh suara riuh dari berbagai sumber suara. Sabina mencoba tidak menajamkan indera pendengarannya karena ia tahu apa yang akan ia dengar. Ia juga mencoba untuk acuh, karena semua murid hampir memperhatikan mereka berdua. Semoga saja Brent juga begitu. Semoga Brent tidak mendengar tentang status Hoax yang tersebar mengenai dirinya. Semoga Brent menganggap mata-mata yang memperhatikannya hanya karena iri dengan Sabina yang bisa dekat dengannya. Brent mengajak Sabina ke taman sekolah yang terletak di samping kiri gedung sekolah. Taman yang luas, dengan bunga-bunga yang ditanam rapi, juga sedang mekar-mekarnya. Mereka berdua memutuskan duduk di bangku yang terletak di bawah pohon cukup rindang dan memberi suasana sejuk. "Na, lo ngerasa nggak sih kalau semua murid ngelihatin kita?" tanya Brent tiba-tiba. Sabina yang baru akan membuka buku, lantas menegang mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh ke arah Brent. "Gak pa-pa," jawabnya berbohong, ia langsung menjatuhkan tatapannya pada buku di pangkuannya. "Lo yakin? Gue ngerasa ada hal yang lo sembunyiin, Na." Kalimat itu membuat Sabina menoleh dan menggeleng cepat. "Gue juga denger Na, tadi ada yang bilang lo pembantu, maksudnya apa ya?" Brent kembali menelisik ekspresinya. Sabina menutup buku di pangkuannya. Ia tidak tau harus menjawab apa. Ia tidak bisa berbohong pada Brent tapi juga tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya. Ini situasi paling sulit saat kamu tidak bisa jujur tapi kamu juga takut untuk berbohong. "Ada yang lo sembunyiin kan, Sab?" terka Brent tepat sasaran. Cowok itu bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Sabina. Sabina menggigit bibir bawahanya, ia kebingungan kali ini. "Apa sih! Nggak Brent," jawabnya sedikit membentak. Brent tertegun, semakin curiga dengan Sabina. "Jangan sampai gue tau dari orang lain," kata Brent dengan tangan terlipat di depan d**a. Ia sudah tidak menatap Sabina melainkan menatap lurus ke hamparan bunga. Dalam hati Sabina bersyukur, akhirnya Brent tidak ingin mencari tau lebih dalam lagi. Sabina memukul bahu Brent pelan. "Tenang aja, Brent. Aku bakal ngomong ke kamu kalau ada apa-apa sama aku," jawabnya, Sabina menampilkan senyum seolah menenangkan Brent untuk tidak khawatir. "Oke, gue pegang omongan lo, kalau lo sampai bohong ke gue, awas aja!" Brent lalu menghela napas panjang. Ia menoleh sekali lagi pada Sabina. "Jaga diri baik-baik lo kalau di Jakarta. Lo nggak tau kota ini sedikit kejam untuk gadis polos kek lo," kata Brent, yang entah sebagai peringatan ataupun menjelaskan bahwa di sini banyak orang jahat. Sabina hanya bisa mengangguk dan tersenyum lagi. Untunglah, ada sosok Brent yang cukup peduli padanya. "WOI! BERDUAAN AJA LO PADA!" teriak seseorang membuat Sabina dan Brent menegakan kepala dan mendapati laki-laki yang lari menghampiri mereka. Sabina sempat menoleh ke Brent untuk bertanya siapa laki-laki itu. "Ngapain lo di sini?" tanya Rama, sudah ada di depan mereka berdua. Sabina bisa melihat sosok cowok dengan hidung imut, ya menurutnya cowok yang kenal dengan Brent ini hidungnya imut. Tatanan rambutnya juga cukup keren, tidak keriting seperti milik Brent. Tapi rambut milik Brent juga tak kalah keren. Semua rambut ataupun style rambut itu keren menurutnya, hanya saja tergantung bentuk wajah yang menggunakan style rambut tersebut. Brent menampilkan ekspresi tak suka. "Kepo, lo ah! Ngapain ke sini, ganggu aja!" kesal Brent melirik sinis pada Rama yang hanya bisa menampilkan wajah cemberut. Tapi sedetik kemudian Rama tak menanggapi perkataan Brent, ia justru memperkenalkan dirinya, "Kenalin, gue Rama," sapa Rama pada Sabina, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Sabina ragu-ragu untuk menjabat tangan Rama, bahkan ia sampai melirik Brent untuk meminta solusi harus dijabat kembali atau tidak. "Sabina," jawabnya sambil menjabat tangan Rama karena Brent seperti mengizinkannya. "Bener ya yang cowok-cowok bilang, ternyata lo cantik." Sabina melongo mendengar penuturan Rama. Tidak menyangka Rama tipe cowok yang frontal. Sementara itu, Brent melirik Rama tak suka. "Dasar kutil onta lo! Main gombalin anak orang!" cibir Brent. Rama tak menggubrisnya. "Gue tau lo anak baru, banyak yang ngomongin lo," sambung Rama lagi. "Maksudnya?" Bukan Sabina yang bertanya melainkan Brent. "Lo tanya aja, sama Sabina," sahut Rama sambil memukul lengan atas Brent pelan--kemudian berlalu begitu saja, seolah memberikan semua jawabannya pada Sabina. Tapi sebelum terlalu jauh, Rama berbalik dan berteriak, "SABINA, JANGAN MAU KALAU DIAJAK JALAN BRENT, DIA PACARNYA BANYAK!!!" Rama langsung lari kencang saat Brent hampir melemparkan batu yang dia ambil di sisi kursi taman. Langsung saja karena penasaran Brent menatap Sabina dengan tatapan penuh tanya. "Sab, lo jangan bikin gue marah juga kayak Rama ya. Sekarang lo ngomong ke gue ada apa?" pinta Brent suaranya terdengar memaksa. Cowok itu bahkan menatapnya tajam. Sabina merasa terintimidasi, menunduk karena takut. Meski begitu, ia berniat untuk menjawab. Mungkin ia harus jujur. Sabina menghela napas, menegakan kepalanya tapi tidak berani menatap balik Brent. "Tadi, waktu aku ngenalin diri ... Elang langsung nyeletuk kalau aku ini pembantu dia," cicitnya, berusaha pelan agar Brent tidak marah. Seperti dugaanya, Brent langsung melebarkan matanya dan berdiri dengan kedua tangan terkepal erat-erat di samping badannya. "Kenapa Elang ngelakuin itu sama lo, Na?" tanya Brent dengan suara dingin. Dari sudut matanya Sabina tau Brent menahan amarah, rahangnya yang mengatup berkedut dan semakin tegas. "Ak-- aku ...." "SABINA JAWAB!" Brent berteriak, Sabina terkejut, ia semakin menunduk. Ia sudah menduga bahwa Brent pasti akan marah pada siapapun yang melukainya. "Ayo cari dia, Na. Minta dia buat minta maaf sama kamu!" Brent menarik tangannya dan berniat membawanya kepada Elang. SRAK!!! "Nggak Brent, itu bukan solusi!" jawab Sabina dengan suara keras. Ia hampir menangis kalau saja ia tidak bisa menahan air matanya. Ia tidak peduli perihal Elang yang mengejeknya, yang terpenting status pernihakannya tidak sampai terbongkar. "Aku nggak pa-pa Brent kalau aku diejek sama Elang kayak gitu aku juga gak peduli. Kamu gak usah ngelakuin itu ya, karena aku nggak mau dikeluarin dari sekolah ini Brent, aku tau Elang itu siapa," jelas Sabina kali ini dengan suara pelan dan lebih sabar. Sabina dapat melihat iris mata Brent yang berkilat karena amarah. Digenggamnya jari-jari Brent yang mengepal, satu tangannya mengelus lengan atas Brent. "Brent, udah ya? Kamu nggak usah mikirin itu, aku gak pa-pa kok." Brent menatapnya, melirik sinis kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain sembari menarik tangannya yang digenggam oleh Sabina. Ia tidak tau dengan jalan pikir Sabina. Bagaimana bisa memaafkan laki-laki seperti Elang? Orang itu memang tidak pernah menghargai orang lain. "Dari dulu aku nggak pernah suka sama dia, Na. Aku gak suka sama sifat dia yang terlalu arogan," tutur Brent dengan emosi yang mulai reda. Sabina kembali mengusap bahu Brent agar cowok itu tidak marah lagi. Brent menoleh ke arah Sabina. "Pokoknya, kalau lo diapa-apain sama Elang lagi, lo harus bilang ke gue jangan pernah lo sembunyiin apapun dari gue, Na," pinta Brent. Sabina mengangguk pelan meski ia tidak yakin bisa atau tidak sedangkan melihat Brent seperti ini saja ia sudah bertekad untuk tidak mengatakan apapun yang bisa membuat sisi menakutkan seorang Brent keluar. Sabina berdeham, ia tidak mau Brent marah lagi. "Kalau gitu, kamu senyum dong," bujuk Sabina dengan jari yang menarik dua sudut bibirnya sendiri, bermaksud mencontohkan Brent agar melakukan hal serupa. Brent tersenyum, tapi tidak seperti apa yang Sabina harapkan. "Gini, bukan gitu!" protes Sabina, menarik dua sudutnya lagi. Pada akhirnya, Brent menarik tinggi-tinggi kedua sudut bibirnya, hingga senyum lebar mewarnai wajahnya yang semula hampir merah padam karena amarah. "Nah gitu dong!" seru Sabina, senang. Sabina tersenyum, merasa puas dengan sudut bibir Brent yang tertarik sempurna bahkan matanya sampai menyipit. "Yaudah, Brent ayo ke kelas. Murid-murid ngelihatin kita," ajak Sabina, ia merasa cukup risih dilihat seperti itu oleh murid-murid yang ada di sekitar mereka. Brent mengangguk. Sabina melangkah lebih dulu dan diikuti oleh Brent. "Sab, tapi kok Elang bisa ngejek lo kayak gitu?" tanya Brent ketika langkahnya sudah sejajar dengan Sabina. "Apa sebelumya kalian pernah kenal?" sambung Brent penuh selidik. Sabina melirik singkat, ia kembali menegang akan pertanyaan tiba-tiba itu, ia pikir Brent akan melupakan pertanyaan-pertanyaan mengenai itu. Sambil melangkah, Sabina terdiam mencari alasan yang cocok. "Aku juga nggak tau Brent," jawabnya. Brent belum puas akan jawaban itu. "Pulang sekolah kita bareng, kan?" tanya Brent, ini bisa jadi alasan untuknya mencari tau yang sebenarnya. Mereka berdua menaiki anak tangga yang lengang. "Hm, Brent aku naik ojek aja, ya?" jawabnya, ini alasan agar Brent tidak bisa tau di mana ia tinggal sekarang. Jika tahu, cowok itu tidak akan segan untuk terus mengunjunginya. Jika itu benar terjadi, maka Bu Erika pasti akan curiga. Dan memintanya untuk menjauhi Brent, mengingat statusnya dengan Elang adalah sebagai suami istri. Dan lambat laun nanti Brent juga akan tau tentang hubungannya dengan Elang. Sungguh, ia tidak mau itu terjadi, lebih kepada tidak mau menjauhi Brent. Brent menghentikan langkahnya saat sudah berada di anak tangga terakhir. Sabina ikut berhenti. "Nggak, lo yang bilang sama gue buat nunjukin rumah lo yang sekarang, Na. Jadi, lo ga bisa menolak." *** MENURUT KALIAN, CERITA INI BAGUSNYA UPDATE SETIAP HARI APA DAN JAM BERAPA? YUK, BANTU TAP LOVE UNTUK CERITA INI DAN I'M PSYCHOPATH GIRL ?? Penasaran sama Cast cerita ini? Kepoin di ** @rizkamursinta31 ya??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD