Jalan Bersama Brent

2824 Words
QUOTES : "Percaya atau tidak, menyembunyikan sesuatu itu sulit, meski terlihat mudah." *** Sabina menghela napas panjang saat Brent tetap kukuh untuk mengantarkannya pulang sementara ia tidak bisa beralasan lagi. "Na, gimana kalau pulang kita mampir dulu beli sesuatu?" ajak Brent, mereka melangkah beriringan menuju ke kelas. Sabina melangkah sambil menunduk karena terlalu takut dengan tatapan murid lain. Apalagi murid cewek. "Hm, lihat nanti aja ya Brent," jawabnya. Brent menghentikan langkah. "Lo jangan nunduk gitu lah, Na. Lo malu sama mereka semua?" tebak Brent. Sabina berhenti, dia pelan-pelan menegakan kepalanya, lalu mengangguk pelan. "Ayo ke kelas aku nggak mau dilihatin, Brent." Brent mengamati sekeliling, benar mereka memerhatikan interaksinya dengan Sabina. Resiko most wanted. Ketika dekat dengan orang baru pasti menjadi sorotan. Tanpa izin Brent menggenggam tangan Sabina dan menarik gadis itu untuk pergi ke kelas. *** Belum berjalannya proses belajar mengajar, membuat Elang, malas berada di kelas. Tapi tidak membuatnya memilih tempat lain sebagai tempat untuk berdiam diri. Kelas selalu menjadi tempat favoritnya. Rasa ingin pulang semakin menjadi-jadi, sebenarnya dengan mudah ia bisa membolos. Tapi, senakal-nakalnya Elang, tidak pernah sekalipun ia membolos sekolah. Semua tugas selalu ia kerjakan, tidak pernah absen kelas apalagi membolos. Sebenarnya, ia adalah defenisi good boy. Ada banyak hal yang membuat Elang seperti itu. Salah satunya, ia malas untuk selalu diancam oleh kedua orang tuanya. Sang pengatur hidupnya. Mereka selalu mengatur atas apa yang akan ia kerjakan. Ya, mereka adalah pemilik hidup Elang. Segala sesuatu bedasarkan kemauan mereka. Meski ada beberapa kegiatan berasal dari kemauannya sendiri. Jujur saja, ancaman-ancaman mereka kadang membuatnya jengah, tapi menolak sama saja menjatuhkan diri ke dasar jurang. Tidak pernah ingin terlahir dari keluarga kaya, meski begitu Elang juga tidak ingin terlahir dari keluarga kurang mampu. Ia melakukan apapun yang orang tuanya mau agar fasilitas yang mereka berikan tidak diambil kembali. Ya, sesimple itu tapi ia benar-benar tertekan. Terkadang, ia berpikir ternyata presepsi orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa anak orang kaya selalu hidup enak, itu salah. Mungkin dalam hal finansial itu dibenarkan. Tapi, harus diingat, untuk mendapatkan itu semua, Elang harus mengorbankan kebebasannya. Ya, kebebasan yang sangat disukai oleh anak remaja. Clarista belum kembali ke kelasnya. Gadis itu memang menjadwalkan diri untuk menemani Elang di saat jam istirahat. Tapi tak jarang juga Clarista lebih memilih berkumpul di kantin bersama temannya dan jarang sekali Elang ikut. "Sayang, kamu jangan diem aja dong ...," rengek Clarista. Ternyata gadis itu bosan juga menemani Elang yang menjadi patung sejak makanan mereka habis. "Kamu ke kelas aja," usir Elang terdengar halus tapi suaranya datar apalagi ekspresinya. Kelas Clarista tidak jauh dari kelasnya, satu lantai dengan kelas Elang. Clarista yang memilih jurusan IPS sempat ingin berpindah jurusan agar satu kelas dengan Elang atau setidaknya bisa satu kelas dengan suaminya itu. Tapi, karena peraturan sekolah yang begitu ketat, Clarista tetap berada di jurusan IPS. Cemberut, Clarista merasa diusir oleh orang yang dia sayang. Meski kenyataannya memang begitu. "Ayo pulang aja!" kesal gadis itu sambil berdiri. Dicueki saja sudah cukup, ini ditambah lagi dengan Elang yang mengusirnya. "Pulang duluan," jawab Elang malas. Cowok itu senantiasa menatap keluar jendela. Memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Entah sendiri, berdua atau berkelompok. Clarista menoleh cepat, lebih kepada tidak percaya akan penuturan Elang. Andai saja Elang bukan cowok dengan kekayaan yang menggiyurkan dan bukan cowok dengan tampan bak Dewa Yunani, ia pasti sudah meninggalkannya sejak dulu. Siapa yang betah dengan laki-laki yang tidak pernah peka dan terlalu kaku dalam menjalin hubungan percintaan? Clarista mendengus kesal sambil memelengoskan wajahnya kasar. "Kamu tuh, nggak pernah nyenengin aku, Lang. Selalu aja kek gitu!" kesal Clarista melipat tangan di depan d**a, masih setia berdiri. Karena Clarista yang berdiri, Elang sampai harus mendongak. Ia tau, jika sudah seperti ini, berarti Clarista sedang dalam mode 'ngambek'. "Jangan marah. Nanti malam kita ke butik langganan kamu." Perkataan itu langsung merubah ekspresi wajah Clarista yang semula cemberut menjadi tersenyum sumringah. Baginya, ini adalah kesempatan emas yang diberikan Elang. Clarista kembali duduk dan langsung memeluk lengan Elang. "Janji, ya? Pokoknya aku mau beli pakaian keluaran terbaru!" serunya, masih bergelayutan di lengan Elang. Cowok itu mengangguk samar, apapun yang membuat Clarista senang akan ia lakukan. Bertepatan dengan itu, bel pulang sekolah dibunyikan. Segera, Clarista berdiri menarik lengan Elang agar segera bangkit. Sebelum itu, Elang meraih tas punggungnya. Menyampirkannya di pundak. Keduanya segera keluar dari kelas yang sudah sepi. Kebanyakan dari mereka menunggu jam pulang di kantin sekolah atau tempat lain yang lebih mengasyikan daripada kelas. Sebenarnya bukan begitu, Elang sebagai sang penguasa kelas selalu memerintahakan teman kelasnya untuk meninggalkan kelas dan membiarkan dirinya sendiri ketika jam istirahat ataupun saat tak ada pelajaran. Ia tidak ingin diganggu, apalagi saat sedang berduaan dengan Clarista. Tidak ada yang pernah protes karena takut pada Elang. Mereka berdua memang sudah biasa mempublikasikan hubungan mereka di depan umum, Clarista memeluk manja lengan Elang sambil melangkah. Mereka seakan tidak malu, kalaupun ada yang menganggap mereka sepasang suami istri mungkin mereka tidak akan keberatan. Elang yang berjalan dengan sorot mata tajam nya, tidak pernah memusingkan itu. Kecuali, ada yang mengusik mereka, maka Elang tidak akan diam. "KLA, SALAM DARI GUE!!!" teriak seseorang dari arah belakang mereka. Elang yang mendengar itu lantas berhenti, begitupun dengan Clarista. Segera, Elang berbalik bersamaan dengan matanya yang berkilat penuh amarah. Sudah banyak yang tau, Elang tidak suka momen ini. Saat itu juga, ia menemukan sosok anak lelaki yang sangat ia benci. Melepas kasar tangan Clarista yang masih berada di lengannya, Elang berjalan cepat mendekati cowok yang katanya bernama Seno, itu. Semua orang yang berada di sana berbisik-bisik membicarakan kebodohan Seno dan Elang yang seperti namanya, siap menerkam mangsa yang berada di depannya. Bodohnya, Seno diam di tempatnya tanpa berpikir untuk lari. Seno, memang selalu memancing amarah Elang. Baginya, itu permainan paling menyenangkan. Kejadian yang sedang berlangsung itu tak luput dari tatapan para murid yang berada di sana. Bahkan murid-murid yang lewat memilih berhenti untuk melihat kejadian selanjutnya. Tanpa berniat melaporkannya pada guru ataupun pihak sekolah yang lain. "BACOT!!" sahut Elang dan langsung melayangkan satu pukulan keras yang tepat mengenai rahang kiri Seno hingga membuat cowok itu terhuyung ke belakang. Seno Berusaha tegak lagi, ia berdiri dan menatap Elang yang saat itu sudah sangat marah. Dadanya naik turun dengan mata yang menyala-nyala. Jemarinya di genggam sangat erat membuat urat-urat tangannya terlihat. Seno menarik sebelah sudut bibirnya, menampilkan senyum miringnya. Memancing Elang agar berbuat semakin brutal dengan tujuan agar Elang mendapat hukuman. Ia selalu tidak suka tingkah Elang yang sok-sok an menjadi pendiam padahal Elang sebenarnya menyimpan keburukan. Merasa diremehkan, Elang terpancing hingga menarik kerah cowok di depannya dan memojokan Seno ke tembok. "Jauhi Clarista! Atau gue patahin kaki lo!" ancamnya dengan suara dalam. Seno kembali menampilkan senyum miringnya. Itu sukses menbuat Elang semakin tersulut, Elang menendang keras kaki Seno. DAG! Lalu melepas cengkeraman di kerah cowok itu dengan kasar dan segera pergi sebelum amarahnya benar-benar tidak bisa terkontrol lagi. Diam-diam Elang tau bahwa Seno sengaja mempermainkannya agar ia mendapat hukuman dan orang tuanya datang ke sekolah. Mata tajam Elang menatap sinis setiap orang yang memerhatikannya--membuat mereka segera membubarkan diri sebelum sang predator memakan mangsanya hidup-hidup. Clarista mematung di tempatnya dengan wajah yang cukup terkejut. Elang langsung meraih telapak tangan gadis itu dan mengajaknya pergi. Tapi, baru saja mereka akan melangkah, dua orang yang baru saja datang dari arah lain menatapnya, diam. Ekspresi yang sama sekali tidak bisa Elang cerna. Sabina dan Brent, mereka dari mana? Elang mematung sesaat, menatap gadis yang bersama Brent dan membaca ekspresi gadis itu. Agak terkejut saat ia mendapati Sabina yang seperti khawatir padanya. Ah, atau tidak gadis itu hanya terkejut atas apa yang terjadi. Sabina tidak boleh sampai melaporkan ini ke ibunya. Semoga saja tidak. Kembali tersadar, Elang menarik Clarista untuk pergi. Saat melewati Sabina dan Brent dengan sengaja ia mendecih cukup keras agar Sabina dan Brent mendengarnya. Bisa-bisanya Sabina pergi dengan lelaki lain, dan mengapa Sabina bisa secepat itu kenal dengan lawan jenis? Ia yakin, bahwa Sabina bukanlah perempuan baik-baik. Bayangkan saja, baru sehari masuk sekolah tapi Sabina sudah berhasil memikat hati seorang Brent yang notabennya adalah cowok most wanted dan tajir di sekolah ini. Besok, siapa lagi yang akan dia dekati? Semurahan itu kah Sabina? Mengapa orang tuanya menjodohkannya dengan gadis seperti itu? Tidak habis pikir. *** Brent bersama dengan Sabina memberhentikan diri di toko cokelat sebelum sampai di rumah. Cowok itu tetap menepati janji untuk jalan-jalan bersamanya. Sempat menolak, tapi Brent terus memaksa untuk mampir dan membeli beberapa olahan cokelat. Katanya, Brent mengamati bahwa Sabina terlalu murung hari ini, dan dia mencemaskan Sabina karena hari ini terlalu banyak dibuli. Hari yang melelahkan untuk Sabina, oleh karenanya ia merasa cokelat cukup ampuh untuk membuat perasaan Sabina membaik. Seandainya, Brent tidak mengajaknya. Rasanya, Sabina ingin cepat pulang. Bukan apanya, ia sedikit khawatir pada Elang yang katanya sempat beradu fisik dengan seangkatan. Pantas saja, saat tidak sengaja berpas-pasan di lorong kelas, wajah Elang tidak terlihat bersahabat, dan banyaknya orang yang berkumpul di sana untuk melihat kejadian itu. Jangan tanya Sabina tahu dari mana, gadis itu sempat bertanya pada orang-orang, katanya Elang memukul Seno, teman dekat Brent. Cukup sedih, mendengar alasan Elang memukuli Seno. Tapi, Sabina harus sadar dirinya siapa. Mana mungkin Elang akan menaruh hati padanya, cowok itu tetap akan mencintai Sabina dan mengabaikannya. "Pilih, oalahan cokelat mana yang lo suka," kata Brent, mereka berdua berdiri di balik etalase. Perkataan itu sontak membuyarkan pikiran Sabina. "Yang ini?" Brent bertanya sembari menunjuk cokelat yang terlihat menarik menurutnya. Dahi Sabina mengernyit samar, katanya ia disuruh memilih lalu mengapa Brent yang menunjuk? Atau itu hanya sekadar saran? Entahlah .... Menggeleng, Sabina menatap Brent sungkan. "Kayaknya terlalu mahal, Brent," jawabnya. Sebenarnya, olahan cokelat yang ditunjuk oleh Brent memang terlihat menggiyurkan tapi ia sadar diri, Brent yang akan mengeluarkan uang jadi ia tidak boleh memebeli yang mahal. Sabina beralih menunjuk cokelat dengan nama Cookies Chocolate chip ball. Kemungkinan, olahan cokelat itu nanti bisa Sabina jadikan sebagai cemilan saat dirinya sedang membaca buku atau saat berbincang dengan orang rumah. Harganya juga tidak terlalu mahal. "Lo yakin, Na?" tanya Brent memastikan. "Bagi gue, harga nggak masalah. Kalau lo mau yang gue tunjuk tadi, kita beli itu." Brent langsung merogoh dompet di saku celananya ketika kalimatnya selesai.. Sabina menahan tangan Brent saat akan mengeluarkan uang sesuai harga cokelat yang Brent tunjuk tadi. Ia menggeleng sebagai ketidaksetujuannya. "Nggak Brent. Aku suka yang ini," kukuhnya, yakin. "Kalau gitu kita beli dua," kata Brent, membuat Sabina terkejut. "MBAK!" Brent berteriak memanggil pemilik toko, itu mau tidak mau membuat Sabina tidak bisa menolak. "Saya beli yang ini, sama ini." Brent menunjuk dua olahan cokelat yang ia dan Sabina pilih. Akhirnya membeli Lasagna cokelat oreo dan Cookies chocolate chip ball. Setelah membayar, Brent bersama Sabina segera menuju mobil. Sebenarnya, Sabina tidak ingin mampir ke tempat manapun. Gadis itu tau, pasti Elang dan Clarista akan pulang lebih dulu. Mereka pasti akan dimarahi oleh Pak Susiono dan Bu Erika jika tau bahwa dirinya tidak pulang bersama mereka. Oleh karena itu, Sabina meminta Brent agar segera menjalankan mobilnya setelah membeli olahan cokelat untuknya. Sebenarnya miris, disaat Elang dan Clarista mengabaikannya, ia justru peduli dengan keadaan mereka. "Sab, lo belum cerita ke gue, tentang, orang tua angkat lo." Brent berucap sambil menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya fokus pada jalanan. Jemari Sabina berhenti memainkan tas miliknya yang berada di pangkuannya. Ia menegakan kepala dan menatap lurus ke jalanan. Apa yang harus ia katakan? Tanpa sadar, ia gelisah. Sabina tau, menyembunyikan sesuatu dari teman dekat bukanlah hal yang bagus. Itu juga bukan hal mudah. Apalagi, dia bukanlah orang yang mudah sekali untuk berbohong. Ibu panti selalu mengajarkannya untuk jujur dalam hal apapun. Kata beliau, kejujuran akan membawa kita kepada hal yang baik dan sebaliknya. Harusnya, Sabina bisa jujur pada Brent, pada lelaki yang selalu ada di sampingnya. Sabina juga inginnya seperti itu. Tapi, sesuatu yang harus disembunyikanya ini bukanlah hal sepele. Dan baginya, sekarang adalah bukan waktu yang pas untuk Brent tau. Dua hal yang tidak ingin ia dapatkan kalau saja ia bercerita pada Brent. Yakni ; Brent yang bisa saja meninggalkannya karena kecewa dan tak bisa menerima statusnya, lalu keluarga Bu Erika yang akan marah karena ia sudah membongkar pernikahannya kepada Brent. Ia tidak mau itu terjadi. Sabina menoleh ke arah Brent. "Kapan-kapan aku cerita," jawabnya setelah diam beberapa menit. Terdengar Brent menghela napas dan mengangguk samar. Kali ini, ia mencoba paham mungkin Sabina memang belum mau bercerita. Apapu yang Sabina coba sembunyikan ia berusaha menghargai itu. "Nggap pa-pa deh, kalau lo nggak mau cerita. Tapi, Na, lo lupa ya? Nanti kan gue juga bakal tau lo tinggal di mana? Maksud gue, sekarang kan gue nganter lo nih, nah otomatis gue bakal tau alamat rumah lo sekarang dan gue bisa cerita sama orang tua baru lo," jelas Brent panjang lebar, ia sambil menampilkan senyum lebarnya. Sabina menegang, itu benar kalau Brent mengantarkannya sampai rumah Bu Erika, sama saja Brent akan tau di mana ia tinggal.Astaga, kenapa ia tidak berpikir sejauh itu? Ia harus bisa mencari alasan. Tapi, ia terkejut saat Brent justru membelokan mobilnya saat mereka sampai di perempatan jalan. Tidak, inu bukan jalan menuju rumah Bu Erika. Sabina menoleh. "Brent, kita mau ke mana?" tanya Sabina. "Jalan-jalan sebentar. Kita ke taman ya, Sab. Makan cokelat yang kita beli tadi," jawab Brent tanpa mengalihkan tatapannya pada jalanan. Sabina masih menatap Brent. "Kalau orang tua angkat aku marah, gimana?" Sabina bertanya dengan raut wajah takut, ia benar-benar takut kalau sampai Bu Erika akan marah. Hidup dengan orang lain, tentu harus mengikuti aturan yang mereka buat. Jujur saja, waktu semakin sore dan ia tidak ingin pulang saat matahir tenggelam kalau bisa sebelum itu. Benar-benar ia tidak mau mengecewakan mertuanya. Brent sempat mengernyit akan penjelasan Sabina. "Emang sejahat itu orang tua angkat lo, sampai jalan-jalan aja nggak boleh." Brent menghela napas saat Sabina tidak menanggapi dan justru terdiam seperti memikirkan sesuatu. "Atau gini aja, sekarang gue anterin lo balik. Tapi, nanti malam gue ke rumah lo?" Brent pintar sekali membuat kesepakatan. Tidak, Sabina tidak akan mengiyakan apa yang Brent katakan. Jalan-jalan sore hari ataupun bertamu kerumahnya bukanlah opsi yang bagus. Semuanya, menakutkan. Brent tidak boleh mengetahui semuanya dan mertuanya pun sama. Mereka, tidak boleh bertemu. Bu Erika pasti akan marah besar kalau tau bahwa ia berteman dengan Brent. Masksud Sabina, mana mungkin mereka membiarkan Sabina berteman dengan laki-laki jika ia saja sudah menjadi istri Elang. Ia harus bisa mengendalikan semuanya agar tetap aman. Ada pada Sabina. Oleh karenanya, Sabina diam. Tidak mengiyakan ataupun menolak apa yang Brent tawarkan. "Brent, aku berhenti di sini aja," putus Sabina, ya ini rencananya. Memesan ojek online akan lebih aman. Tentu Brent merasa bingung, putusan Sabina membuat ia berpikir keras dan berusaha menelisik keanehan Sabina pada mata gadis itu. "Kenapa?" tanya Brent, wajahnya tidak jauh dari kebingungan dan juga curiga. "Berhenti aja, Brent." Sabina tidak menjawab banyak dan Brent semakin curiga. "Ya, jelasin dulu kenapa?" tuntutnya. "Brent, tolong berhenti," kukuh Sabina. Ia menatap Sabina lekat-lekat, mencari tau apa yang sedang gadis ini sembunyikan darinya. Ia merasa ada yang aneh dari Sabina, bagaimana bisa Sabina tidak membiarkannya tahu di mana tempat tinggalnya sekarang. Berteman cukup lama dengan gadis ini membuatnya tau watak Sabina itu seperti apa. Dan sekarang, Sabina seperti tidak menjadi dirinya. Namun pada akhirnya, ia menuruti kemauan Sabina, mobil yang dikendarainya berhenti di tepi jalan. Dengan cepat, Brent memegang pergelangan tangan Sabina, sebelum gadis itu benar-benar turun. Cukup aneh, mendapati Sabina seperti ini. Mungkinkah Sabina tidak berubah? Gadis ini hanya marah padanya? Tapi apa yang membuatnya marah? "Sab, lo marah ya?" Brent mencoba menerka, namun gelengan pelan dari kepala Sabina menjawabnya. Tapi, seakan belum puas. Brent mencondongkan kepalanya. "Marah, kan?" ulang Brent lagi. Sabina perlahan menarik tangannya, Sabina menatap Brent, lalu tersenyum. "Nggak, aku cuma pengen naik ojek aja. Sekalian, mau beli sesuatu," bohongnya, diakhiri senyuman tipis. "Kalau gitu, gue anterin. Lo nggak perlu pesan ojek atau apa." Sabina menggeleng pelan, lalu segera membuka sabuk pengaman yang sempat dipasangnya. Setelah itu membuka pintu mobil, Sabina menutupnya kembali. "Makasih buat cokelatnya, lain kali aku akan beliin kamu sesuatu juga," ujarnya lewat jendela mobil,, kemudian tersenyu dan melambai tangan ke arah Brent. Brent menatapnya tanpa ekspresi, ia tidak bisa menjelaskan bagaimana Sabina kali ini. Jika memang Sabina sedang menyembunyikan sesuatu, mengapa gadis itu tega sekali? Apa Sabina tidak pernah menganggap pertemanan mereka spesial? "Sana balik, aku nunggu ojek di sini aja," usir Sabina halus. Itu berhasil membuyarkan pikiran Brent. Brent mengangguk, menjalankan mobilnya tapi sebelum itu tangannya membunyikan klakson mobil yang dibalas lambaian tangan oleh Sabina. Menghembuskan nafas lega, Sabina segera mengecek ponselnya. Memesan ojek yang akan mengantarkannya pulang. Meski sudah lama sekali tidak menggunakan ponsel, bukan berarti Sabina gagap teknologi. Brent, temannya itu selalu meminjamkan ponsel miliknya pada Sabina. Ya, tujuannya agar Sabina tidak tertinggal dalam hal teknologi. Jujur saja, ia merasa bersalah sudah membohongi Brent. Ia tidak bisa dianggap sahabat. Sangat tidak bisa. *** Cerita ini akan update setiap hari Senin? mohon partisipasi nya dengan masukan cerita ini ke library kalian ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD