Kepedulian Bu Erika Membuat Elang Iri

1535 Words
Sebenarnya, Elang malas pulang ke rumah. Tempat itu bukanlah tujuannya. Ia ingin pergi ke tempat skate in door yang tak jauh dari rumahnya, ingin menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya di sana. Itu salah satu cara ia mengusir penat. Tapi, sayang sekali, Clarista justru memaksanya untuk kembali ke tempat yang katanya bernama rumah namun baginya itu sangkar. Tempatnya dikurung dan menuruti semua aturan. Bukan hanya malas, ia juga memang dengan sengaja menghindari ibunya. Ia sudah tau jika Sabina tidak pulang dengannya maka akan ada banyak pertanyaan yang ibunya berikan. Masa bodoh dengan Sabina yang akan pulang sendirian. Toh, itu juga bukan salahnya karena Sabina memang mau pulang dengan lelaki lain. "Elang, Sabina mana?" Dugaan itu benar. Jika tidak salah, itu adalah suara ibu Elang. Tepat di lorong kamar kakinya dan milik Clarista berhenti. Mereka berdua tidak menoleh, sudah memprediksi hal apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. "Gak tau," jawab Elang singkat, bahkan ia tidak menolehkan kepalanya se sentmeter pun. Dari ekor matanya, Elang dapat melihat Clarista yang sedang menggigit bibir bawahnya. Gadis itu terlihat ketakutan. Terdengar suara langkah mendekat. "Jangan bilang kamu tinggalin dia, Lang?" Elang dan Clarista langsung menatap ibunya, yang sudah berada di depan mereka. Tatapan Bu Erika yang mengarah ke genggaman tangan mereka berdua membuat Elang menarik tangannya perlahan, genggaman mereka berdua terlepas. "Nggak, Ma," jawab Elang, sambil membuang muka. Elang hampir sembilan belas tahun tinggal dengan ibunya, tapi entah mengap mereka berdua seperti tidak memiliki koneksi satu sama lain. Elang dan Bu Erika bahkan terlihat seprti orang asing. Jawabannya mudah saja, ini semua karena ibunya itu seakan selalu memaksa kehendaknya. Selalu meminta Elang untuk menjadi A, menjadi B dan apapun yang ibunya mau. Sayangnya, ibunya tidak tau, bahwa paksaan-paksaan itulah yang membuatnya menutup diri dari keluarga, memberontak, hingga menjadi berandalan saat berada di luar. Sesuatu yang ditekan berlebihan, biasanya akan keluar dari jalurnya, dari yang seharusnya. Anggap saja Elang seperti itu. Satu jari telunjuk Erika sudah berada di depan wajah Elang. Sudah biasa, ibunya ini memang selalu begitu, menaruh rasa curiga, curiga dan curiga. Tidak ada kepercayaan sedikitpun yang coba ibunya bangun. "Kamu jangan bohongin Mama, ya Lang. Kasih tau Mama di mana Sabina? Atau jangan-jangan kalian bener-bener tinggalin Sabina di sekolahan?!" Kebungkaman Elang membuat Erika menoleh ke arah Clarista dan menyorot gadis itu dengan tatapan tajamnya. Clarista tidak bisa menatap lama wanita di depannya. Nyalinya langsung menciut seketika karena rasa takut walaupun di sampingnya ada Elang yang pasti akan membelanya kalau mertuanya sampi memarahinya. "Kita berdua nggak tau, Ma. Kita pulang duluan karena kita juga nggak ketemu Sabina, iya kan, Lang?" Clarista menoleh ke Elang, suaminya itu diam saja. Telunjuk Erika sudah diturunkan, menatap bergantian Elang dan Clarista dengan tangan terlipat di depan d**a. "Kla, mending kamu masuk ke kamar. Ada hal penting yang mau Mama omongin sama Elang," titah Erika, dengan ragu-ragu Clarista memasuki kamarnya. Hening beberapa detik. "Elang, kamu jangan coba bohongin Mama, ya! Di mana Sabina?!" "Kenapa Mama nggak percaya sama Elang?" "Kamu terlalu pembohong kalau harus dipercayai, Lang!" Sakit.Itulah kata yang bisa mendefinisikan hati Elang saat ini. Bagaimana bisa ibunya menganggap dirinya sebagai seorang pembohong? Apa perlu ia bicara bahwa Sabina pergi dengan laki-laki lain? Dapat dipastikan kalau ia yang menjelaskan seperti itu, ibunya tidak akan percaya, dan dia akan semakin dianggap sebagai pembohong. Miris sekali, sebenarnya yang anak kandung ibunya ini siapa? Elang kah, atau Sabina? "Kamu sekarang cari Sabina! Jangan pulang kalau Sabina belum ketemu!" "Nggak. Buat apa Mama, punya banyak ajudan kalau masih nyuruh aku?" "Elang kam--" Suara langkah sepatau membuat Erika menoleh. "Ma, Sabina pulang." Sabina yang baru dateng segera disambut oleh Erika. "Astaga Sabina, kamu dari mana aja, sih?" Erika khawati, dan langsung menghampiri menantunya itu. Erika menyentuh rambut Sabina, mengecek gadis itu bahwa dia baik-baik saja. Meski kesal, Elang tetap mencoba melihat interaksi kedua orang di depannya. Elang mengulas senyum miring, ternyata Sabina bisa sekali mencuri hati setiap orang. Bahkan menipu daya mereka termasuk ibunya. Andai mereka tau jika Sabina adalah gadis penyuka harta, andai ibunya tau Sabina adalah gadis murahan, apa ibunya akan tetap percaya? Apa Elang sebaiknya mengatakan semuanya? Agar Sabina cepat-cepat dikeluarkan dari rumah ini dan ia bisa bersama dengan Clarista selamanya tanpa gangguan gadis jalang itu? Erika menatap Elang, melambaikan tangannya. "Kamu sini!" panggil Erika pada Elang. "Jelasin ke Mama kenapa kamu tinggalin Sabina?!" pinta Erika ketika Elang sudah mendekat. Tetap sama, apapun kondisi dan suasananya wajah Elang selalu datar. "Aku gak ninggalin dia," jawabnya apa adanya, ia tidak menatap balik Erika atau bahkan melirik Sabina. Fokusnya hanya pada satu titik, yaitu rambut ibunya. "Kamu mau coba bohongi Mama?!" Nada suara ibunya meninggi satu tingkat. Sabina terlihat meringis karena bentakan ibunya. Apa gadis itu sedang pura-pura khawatir padanya? Jika iya, pintar sekali berakting. "Ma, Elang gak ninggalin Sabina." Sabina mencoba menjawab pertanyaan yang Bu Erika berikan untuk Elamh. Lagi, Elang menyunggingkan senyumnya, meremehkan Sabina. Benar-benar, Sabina pintar sekali mencuri hati ibunya. Ibu Erika beralih menatap Sabina. "Terus kamu pulang sama siapa?Jangan bohong Sabina, jangan bela Elang hanya karena kamu takut dia marah sama kamu." Diam, Sabina tidak langsung menjawab. Menyusun kalimat yang tidak akan membuat mertuanya ini curiga. "Sabina, naik ojek, Ma," jawabnya. Erika mengernyitkan dahi. "Loh, kenapa nggak sama Elang, dia ninggalin kamu kan?" tukas ibunya lagi, masih penasaran dan berharap apa yang ia curigakan itu benar. Karena memang bukan sepenuhnya seperti itu, Sabina hanya menggeleng samar. Ia lantas membuka tas miliknya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. "Sabina sengaja nggak langsung pulang dan nggak pulang sama Elang dan Clarista, Ma. Sabina mampir ke toko cokelat, Sabina beli ini dulu." Sabina menunjukan sekotak cokelat pemberian Brent. Dia harus berbohong untuk menyelamatkan Elang dan juga dirinya. Terdengar, Elang berdecih, kedua matanya menatap sinis gadis di sebelah ibunya. Ternyata, pintar sekali Sabina berbohong. Gadis itu tidak mau berbicara sesungguhnya. Padahal, sudah jelas jika Sabina pergi bersama Brent. Dan, Elang sangat yakin bahwa cokelat itu pasti pemberian Brent. Jangan pikir Elang tidak tahu. Itu alasan klasik. Satu lagi, Elang tidak butuh pembelaan dari Sabina. Nyatanya, apa yang Sabina katakan adalah usaha gadis itu untuk membela dirinya sendiri. Sabina perlu tahu, bahwa ia tidak selemah itu. Merasa sudah tidak ada urusan, Elang berniat melangkah. Namun, ibunya kembali memanggil. "Mama belum selesai sama kamu Elang, jangan pergi dulu!" Menghela napas pasrah, Elang kembali ke tempatnya. "Lain kali, kamu kalau mau kemana-mana, suruh Elang anterin kamu, ya?" Ibunya menatap Sabina. "Dan Elang, lain kali Sabina ditanya mau pergi kemana, kamu jangan masa bodoh gitu dong sama istri kamu. Mau fasilitas kamu mama ambil semua, ha?" Elang menatap ibunya tak terima, jemarinya mengepal karena menahan sesuatu yang mulai panas di dadanya. Bagaimana bisa, ibunya berbicara seperti itu. Baginya, Sabina bukanlah tanggung jawabnya. Yang meminta Elang untuk menikahi gadis itu adalah orang tuanya. Jadi Elang tidak harus mengantarkan gadis murahan itu.m ke manapun yang dia mau. Elang Tidak akan mau. "Nggak. Dia bisa naik ojek dan itu lebih pantes," jawabnya. Lagi pula, jangan lupakan Brent. Cowok bodoh yang rela menjadi mangsa Sabina itu pasti mau untuk mengantarkan Sabina ke manapun. Ia tau, Brent juga suka dengan Clarista, Untung saja, Clarista sudah menjadi miliknya. Brent yang memang mengincar Clarista sejak lama, hanya akan mendapat harapan kosong. Jangan salah, hal itu juga yang membuat Elang tidak suka pada Brent. Siapapun yang mengusik Clarista, menyukai gadis itu pula, atau berusaha merusak hubungannya dengan Clarista, pasti orang itu akan hancur di tangan Elang. Entah cepat atau lambat. "Elang!" bentak Erika, tidak suka dengan jawaban anaknya. Tidak pernah takut, Elang selalu mendapat bentakan itu selalu mendengarnya, kalau tidak dari ibunya maka dari ayahnya. Itu sudah menjadi rutinitas dan Elang sudah terbiasa. Jadi, anggap saja itu hal biasa. Ya, memang seperti itu. Elang sudah terbiasa. "Mama, udah. Sabina nggak papa. Dan, untuk besok sampai seterusnya Sabina juga lebih nyaman naik ojek. Sabina nggak mau temen-temen sekolah tau tentang pernikahan aku sama Elang, semakin sering aku dan Elang naik mobil bareng, orang-orang akan curiga, Ma," terang Sabina sedikit melirik Elang. Menghela napas pelan, Erika mencoba menerima apa yang Sabina katakan. Hal itu ada benarnya. Terlalu sering berangkat dan pulang bersama, kemungkinan besar akan membuat murid Barrek akan curiga. "Baiklah, kalau gitu. Tapi, kamu nggak usah naik ojek ya, biar kamu diantar jemput oleh supir," tutur Erika, mengelus rambut Sabina. Baru kali ini Elang merasakan sesak di dadanya, melihat perlakuan ibunya pada Sabina. Selembut itu ibunya memperlakukan orang lain dan sebegitu kasarnya ibunya memperlakukan dirinya. Sebegitu sayangnya kah, ibunya itu pada Sabina? Ia yang notabenya adalah anak kandungnya tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Sejak kecil, Elang tau ibunya tidak pernah menyayanginya seperti ibunya menyayangi Sabina. "Ya sudah, mama tinggal, ya. Elang malam ini kamu tidur di kamar Sabina kan?" Elang tidak mau lama-lama berdebat. Anggukan kecil Elang membuat Erika segera beranjak. Setelah ibunya menjauh, Elang mendekati Sabina. "Kali ini, lo masih bisa bohongin nyokap gue. Lo bisa sembunyiin hubungan lo sama Brent di depan ortu gue." Elang menatap tajam Sabina, gadis itu menunduk. Elang melangkah, hingga ia tepat berada di samping Sabina. "Satu lagi, nggak usah belain gue di depan ortu gue. Gue nggak butuh itu," ketusnya, kemudian berlalu begitu saja. *** Yuk, tap love untuk cerita ini. Semakin banyak love akan semakin sering update loh??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD