BRENT GALIH WELLBORN

1451 Words
Sementara itu dalam perjalanan pulang, Brent masih terheran-heran atas sikap Sabina. Entah gadis itu sungguh-sungguh marah padanya, atau gadis itu benar-benar ingin pergi sendiri. Tapi, jika Sabina marah padanya, hal apa yang sudah ia lakukan sampai Sabina marah? Apa karena ia meminta untuk diberitahu alamat rumah Sabina yang sekarang Sabina sampai marah seperti itu? Brent menghela napas, mungkin Sabina memang ingin pergi sendiri. Ya, mungkin memang begitu. Lima belas menit di perjalanan, Brent akhirnya sampai di rumah. Ia lalu melepas kancing seragamnya satu per satu padahal belum sampai kamar. Itu memang kebiasaannya. Segera dilepasnya seragam yang dikenakan, menyisakan kaos bewarma hitam. Meski seragamnya tidak tipis, Brent selalu melapisinya dengan kaos. Paling sering kaos berwarna hitam polos. "Kamu udah pulang?" Sapaan ibunya membuat Brent menoleh, ia pikir ibunya tidak di rumah. Setelah mengangguk singkat, Brent mendekat. "Mama masak apa?" tanya Brent, sambil mengelus perutnya, ia juga menampilkan wajah cemberut. "Banyak Brent, makanan kesukaan kamu juga ada.Itu kenapa muka kamu cemberut? Ada masalah di sekolah?" Werin mendekati anaknya, mengusap pundak Brent dengan lembut. Terlepas sebagai anak satu-satunya, Brent termasuk beruntung. Keluarga lengkap adalah dambaan semua remaja. Tidak hanya keluarga lengkap, kasih sayang kedua orang tua juga dambaan semua remaja. Werin dan ayah Brent- Boren, mereka menyayangi Brent dengan penuh kasih sayang. Dan, Brent merasakannya secara tulus. Meski begitu, sebenarnya masih ada satu sosok yang harusnya ada bersama ketiganya. Kalau mengingat hal itu kadang Brent sedih sendiri. Brent tahu, dan sebagai orang tua, Werin ataupun Boren tidak pernah menyembunyikan kebenaran. Mereka juga sudah melakukan yang terbaik. Ya, fakta bahwa Brent memiliki saudara laki-laki sudah diketahui olehnya. Bahkan ia ingat saat adiknya itu hilang di mana orang tuanya terutama Werin menangis sepanjang hari. Sayangnya, adik Brent itu hilang kala berusia 2 tahun. Hilang saat musim penculikan anak sedang marak-maraknya. Dugaan kala itu, Winston-adiknya diculik. Tapi, jika diculik. Mengapa orang itu tidak meminta tebusan hingga sekarang? Tentang itu juga, Brent masih yakin jika saudaranya itu masih hidup di suatu tempat yang tidak Brent ketahui. Sejak SMA kelas satu, Brent berusaha mencari adiknya itu. Dari benda-benda dan foto masa bayi yang masih dia miliki. Ya, ia selalu berharap adiknya itu kembali, sementara orang tuanya memang seperti sudah mulai ikhlas. "Mama tau gak, Sabina udah punya orang tua sekarang," ungkap Brent, wajahnya masih ditekuk. Ini yang membuatnya kesal pada diri sendiri. Sabina tidak mau berbagi, dia justru marah. Dulu sekali, saat Sabina masih SD. Werin pernah ingin mengdopsi Sabina. Tapi gadis itu menolak. Entah alasannya apa, gadis itu selalu menolak dengan alasan bahwa Sabina tidak bisa meninggalkan keluarga panti. Mungkin, sekarang Sabina sudah dewasa, jadi gadis itu sudah bisa menentukan pilihannya. "Bagus dong, kalau gitu hidup Sabina lebih terjamin." Werin duduk di kursi, ia mulai mengambil piring dan mengambilkan makanan untuk anaknya. Sabina dan Werin, keduanya saling kenal bahkan bisa dikatakan akrab. Dulu, Brent memang sering mengajak Sabina jalan-jalan, kadang juga Brent mengajak Sabina untuk singgah di rumahnya atau bahkan menginap. Itu yang membuat Sabina dan Werin akrab. Werin juga menyayangi Sabina, terlepas dari Sabina teman Brent. Bagi Werin, Sabina gadis baik yang patut disayangi. Brent tak suka, ekspresinya kesal. Persis seperti bocah. "Iya bagus. Cuma, Sabina gak mau ngasih tau alamatnya yang sekarang!" Brent mencebikan bibirnya. Berjalan ke dapur, dengan tangan memegang seragam anaknya. Werin duduk di kursi yang diikuti serupa oleh Brent. "Mungkin belum. Barangkali besok. Kamu harus sabar Brent. Sekarang kamu makan, ya?" Brent menghela napas. "Iya, Ma." Mungkin saja begitu, Sabina memang belum memberitahukan semuanya pada Brent hari ini. Tapi, bukankah masih ada hari esok? Di mana ia masih bisa meminta pada Sabina untuk diberi tahu alamat rumahnya yang sekarang? Ya, Brent akan menunggu untuk itu. Kemungkinan, Sabina masih ingin menikmati bahagiannya sendiri. Memperhatikan hidangan di depannya, Brent menjilat bibir bawahnya. Ibunya itu selalu memasak kesukaan Brent. Terkadang, ketika Sabina akan menginap, Werin juga menyempatkan diri untuk memasak makanan kesukaan Sabina. "Mama, suapin!!" pinta Brent dengan manja. Ibunya terkekeh, Brent memang masih kanak-kanak. Manja, adalah sifat Brent kala di rumah. Sedangkan di sekolah atau di luar, cowok itu selalu berusaha terlihat 'cool'. Tidak hanya pada Werin, terkadang cowok 17 tahun ini kerap kali manja pada Boren. Pada Sabina sesekali saja. Gadis itu kerap kali ilfeel saat Brent bertingkah manja. "Iya Mama suapin, tapi habis ini kamu tidur siang, jangan main game terus Brent. Mata kamu bisa sakit nanti," tegur Werin. Ia mulai menyuapi Brent. "Nggak mau ah, Brent main game kan supaya bisa menang ikut turnamen, Ma," jawabnya, membela diri. "Oke, kalau kamu nggak mau tidur siang, Mama nggak akan masukin kamu ke kelas gamers lagi. Mama akan pindah kamu ke kelas bahasa, gimana?" Ancaman itu sontak membuat Brent menciut. Tidak, kelas bahasa adalah kelas yang sangat tidak ia sukai. Tidur siang memang merupakan rutinitas Brent di rumah. Bukan tidak punya teman, sehingga tidak keluyuran kala siang. Hanya saja, mengistirahatkan tubuh setelah belajar penat di sekolah cara bagus untuk merilekskan tubuh dan pikirannya. Bukankah, tubuh kita juga butuh istirahat? Bukan hanya malam hari saja, kan? Selain itu, Brent juga lebih senang jika teman-temannya datang ke rumah. Sekedar bermain PS ataupun mabar game online. Malam hari, lebih menarik untuk keluar rumah sekedar mencari angin malam. Brent suka itu, tapi ia tetap membatasi pergaulannya. Mawas diri lebih baik, pergaulan sekarang banyak yang tidak baik. "Oiya, kamu tau dari mana Sabina punya orang tua baru?" Werin bertanya sambil menyuapi anaknya. Menelan makanannya, Brent menjawab, "Sabina sekolah juga, Ma. Dia satu sekolah sama aku. Tadi, aku ketemu dia di halte." "Wah, berarti orang tua Sabina orang kaya, dong?" Werin mulai tertarik dengan obrolan yang ia mulai sendiri. Brent mengangguk terpatah. "Bener juga ya Ma. Berarti orang tua Sabina orang kaya dong? Secara Barrek Highschool kan sekolahan elit." "Nah, maka dari itu. Sebulan aja Mama sampai keluarin uang puluhan bahkan ratusan untuk sekolahan kamu itu." Brent mengangguk-angguk samar. "Tapi, kenapa dia gak di anterin ke sekolah naik mobil, ya Ma?" Nampak jelas kerutan di dahi Brent. "Kamu kan tau, Sabina orangnya gimana. Sabina orangnya sederhana. Gak kayak kamu, sebulan udah ganti mobil dua kali," terang Werin seakan menyindir anaknya membuat Brent kembali cemberut. "Udah-udah. Ini abisin dulu. Jelek banget muka kamu." Brent membuka mulutnya dengan malas. "Mama sih, gak dari kemarin ngadopsi Sabina," omel Brent sebelum nasi dalam sendok masuk ke mulutnya. "Kamu kan tahu, Sabina udah nolak." Werin mencoba mengingatkan. Menghela napasnya, Brent rasanya tidak rela jika Sabina diadopsi oleh orang lain. Setidaknya, tante Brent atau keluarganya yang lain bisa mengadopsi gadis itu. Jika diadopsi dengan orang lain seperti sekarang, rasa khawatir Brent terus mengusik dirinya. *** Tiga puluh menit mengistirahatkan diri dengan tidur siang. Masih dengan keadaan lesu, Brent meraih ponsel di sisi kepalanya. Bukan hanya mengecek jam, Brent segera membuka aplikasi game online yang sedang booming akhir-akhir ini. Brent memang suka bermain game. Apalagi game mobile online seperti : Free fire, PUBG, Mobile legend serta yang lainnya. Hampir semua jenis game online ada di ponselnya. Brent memang sengaja tidak memilik ponsel khusus untuk game. Alasannya, karena Brent tidak ingin repot kemana-mana membawa dua ponsel. Sekolahan SMA Barrek juga menyediakan kelas khusus untuk berlatih dan bermain game. Ada kelas khusus, Free Fire, PUBG dan Mobile Legend. Game yang sering diadakan turnamen. Tujuannya tentu, untuk menghasilkan pemain game yang berkelas agar dapat menjadi perwakilan dikejuaraan dunia. Seperti tahun lalu, SMA Barrek berhasil mewakili Indonesia dikejuaraan Dunia yang di adakan di Brazil. Karena menyukai game, Brent ikut di dalamnya. Bukan hanya Brent, hampir seluruh siswa ikut bergabung. Sebagian siswi juga ada yang bergabung. Karena banyaknya peminat, akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk membuat beberapa tim atau yang sering disebut dengan Guild. Brent sendiri bergabung dengan Guild 'Dewa•Perang'. Dengan bersandar pada tembok--kasur Brent memang tidak memiliki ranjang--Brent mulai bermain game kesukaannya. Kali ini, ia memilih Free fire. Paling sering, Brent bermain dengan timnya. "Yang lain, ganti kostum. Kita kompakan gitu pake jubah yang warna putih!" seru Brent memberi tau teman setimnya yang sudah berkumpul di lobi. "Aduh, gue waktu itu gak beli elite pas yang itu. Gimana dong!" panik Yoga teman Brent. "Elah, Yoga out lobi aja cepetan, ganti Samudera!" "Waktu itu ada yang gratisan, mang lo gak ikut, Ga?!" Berdecak, beginilah ketika mabar tapi berjauhan tempat. Pasti ribut sendiri. "Gue out aja, kalau kalian gak buru ganti kostum!" "Lo ribet amat Brent, pake ini aja. Biar gak kompak gak papa yang penting ngekill banyak!" sewot Betro. "Ya udah serah cepetan mulai, siapa tadi yang ngundang!" "Oke-oke!" Yogi menyahut. Game baru saja akan mulai, panggilan telfon membuat Brent mendesah. "Gue out!" ujarnya tiba-tiba. Masa bodoh dengan mereka yang mungkin akan mengumpat. Awalnya Brent mengernyit tapi kemudian ia tersadar bahwa nomor tanpa nama ini adalah nomor seseorang. "Ah, iya langsung anter aja, sip!" ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD