18+ Pergumulan Menyakitkan

2269 Words
Sabina segera tahu bahwa rumah Brent sedikit ada perbedaan sesaat ia sampai di rumahnya. Mulai dari halaman rumah yang semula kosong melompong kini diisi oleh beberapa tanaman. Sudah lama rasanya, ia tidak menginap di rumah dengan nuansa berwarna biru muda ini. Bukan tanpa alasan kenapa rumah inu didominasi warna biru dan putih. Itu karena ibu Brent menyukai warna itu. Mereka sudah sampai sekitar sepuluh menit yang lalu. Bahkan ia sempat berkeliling sendirian, sebentar. Tapi ia tidak kunjung menemui Ibu Werin. Sabina sudah menduga jika Brent pasti berbohong dan sengaja ingin mengajaknya kerumah cowok itu saja. Ruang tengah menjadi tempat mereka berkumpul. Brent dan Rama sudah berganti pakaian, kaos longgar bewarna gelap yang meyakinkan menjadi pilihan mereka, dipadukan dengan celana kain pendek yang memperlihatkan bulu-bulu kaki mereka. Rama meminjam pakaian milik Brent. "Brent, Rama, kalian asik sama game. Terus aku di sini ngapain?" Brent bergumam saja tanpa menolehkan kepalanya, untuk sekadar menatap Sabina. Sabina menghela napas pelan. Kedua cowok itu sedang asik bermain game online, sedangkan Sabina hanya bisa memerhatikan mereka dalam dia. "Brent dari tadi kamu nggak kasih tau aku, di mana Tante Werin." Sabina kali ini menuntut, soalnya dia sudah menunggu lama. Untuk yang ketiga kalinya, Brent menyahut saja tidak. Cowok itu terlaku fokus dengan gamenya. Sedikit menggeser tubuhnya untuk dekat dengan Brent, di lantai yang di alasi karpet dan bersandar pada bagian badan sofa. Ia tahu, jika Brent sedang fokus pada gamenya maka cowok itu tidak bisa diganggu. Kenapa orang-orang begitu antusias dengan game? "Brent, aku pulang aja ya?" "Jangan!" "Kalau gitu kamu jawab di mana Tante Werin. Kamu ajak aku ke sini karena Tante Werin mau ketemu aku, kan?" "Sabina mending lo ikut main game deh, maaf-maaf ya, dari tadi lo berisik." Terguran dari Rama itu sontak membuatnya terdiam, dan meminta maaf pada Rama karena sudah mengganggu mereka. "Maksud lo apa?" "Apa?" Rama menatap Brent yang menatapnya tak suka. "Kenapa lo tegur Sabina?" Suara Brent terdengar tidak bersahabat. Sebelum terjadi keributan, Sabina berkata, "Udah, apasih. Kalian jangan ribut, Rama bener Brent." "Gue gak suka kalau ada orang yang nggak suka sama lo, Na." "Brent," tegur Sabina lembut. "Lain kali jangan gitu lagi." Brent menatap Rama, seolah memberi peringatan. "Iya-iya maafin gue. Maafin gue ya Na." "Ah, iya Ram. Santai aja." Sabina tersenyum tipis. Lima detik kemudian, Rama dan Brent fokus lagi ke game mereka. Sabina merasa bersalah pada Brent. Cowok itu terlalu baik dan peduli padanya, sayangnya, ia tidak bisa membalas kebaikan itu dan justru terus berbohong padanya. Sungguh, Sabina merasa dirinya tidak berguna sebagai sahabat. "Sabina, lo tadi cari nyokap gue kan? Dia ada di kamar," tutur Brent masih menatap layar ponselnya. Dan Sabina tidak percaya itu. Saat ia bertanya pertama kalinya, Brent menjawab di dapur, dan Sabina segera menuju dapur tapi Tante Werin tidak ada di sana. "Ya udah, kalau gitu aku pulang aja ya, Brent?" "Lah kok pulang sih, katanya mau ketemu sama Mama?!" Brent sudah menatap Sabina sepenuhnya, ponsel dalam genggamannya sudah di letakkan sampai-sampai Rama mengumpat karena itu. "Heh kelelawar, ini lo malah ngendok di tempat terbuka woi!!" teriak Rama tidak sabaran, memukul pundak Brent. Tersadar, Brent lantas menyadarinya dan langsung mengambil ponselnya lagi. "Eh anjing iya!" Seolah Brent baru tahu kesalahannya. Sabina kembali diabaikan. Setelah menghela napasnya, Sabina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Cowok kalau sudah asik dengan dunianya, siapapun dilupakan. *** "Terima kasih, Pak," ucap Sabina setelah membayar tukang ojek yang mengantarkannya pulang. Masih sama seperti kemarin, ia tidak mau jika Brent mengantarkannya. Jadi, sebisa mungkin Sabina menolak ajakan cowok itu. Merogoh ponsel di saku jaketnya, lalu mengeceknya sebentar, ia hanya ingin melihat jam berapa sekarang. Bersyukur, karena sepertinya, Pak Susiono dan Bu Erika tidak akan pulang di jam yang masih terbilang sore ini. Kaki Sabina segera melangkah ketika penjaga gerbang sudah membuka gerbang untuknya. Sabina segera bergegas ke kamarnya hanya untuk berganti seragam. Sebelum sampai di kamarnya, ia sempat melihat mobil Elang sudah terpakir. Apa, cowok itu sudah pulang lebih awal? Tumben sekali. Jari-jarinya segera melepas satu persatu kancing kemeja putih yang digunakannya. Dan setelah selesai, Sabina segera menggantinya dengan kaos bewarna putih tipis. Ia tidak akan keluar-keluar jadi, menggunakan kaos itu cukup memberi kesempatan pada kulitnya untuk disapu oleh angin. Ceklek. Suara pintu dibuka itu membuat Sabina tersentak seketika. Ia Segera memutar badan saat knop pintu kamarnya terputar. Sabina menatapnya penuh tanya. Apa Bu Erika kembali datang tiba-tiba? Kenapa Bu Erika tidak mengetuk lebih dulu? Atau Clarista? "E--Elang?" Nyali Sabina menciut seketika. Ia juga sungguh nampak terkejut. Mengapa cowok ini tiba-tiba memasuki kamarnya tanpa izin?! Dan ada urusan apa sampai Elang mau masuk ke kamarnya?! Tanpa aba-aba, Elang langsung mendekatinya, menepis jarak antar mereka berdua. Detik itu, Sabina sungguh merasa terkejut dan juga was-was, jantungnya seketika berdegup cepat karena rasa takut. Dalam jarak seperti ini, ia dapat melihat jelas wajah tampan dan rupawan milik Elang. Wajah yang didamba-damba oleh gadis kebanyakan, wajah yang tak bisa ia sentuh selama ini. Glek. Sabina menelan air liurnya. "Diam ...," pinta Elang dengan suara serak juga terdengar dalam. Jujur, ia benar-benar tidak tahu maksud Elang masuk ke kamarnya. Apa cowok itu akan memarahinya lagi? Tapi, apa salahnya? Apa karena memar di pipinya? "Kenapa lo selalu pulang telat?" Pertanyaan dingin itu menusuk ke indra pendengarannya. Untuk beberapa menit kalimat itu yang terus berputar-putar di kepalanya. Ia tidak tau maksud Elang apa sampai bertanya seperti itu. Sungguh, rasanya Sabina kesulitan bernapas saat jarak keduanya sungguh tidak bersekat. Ada apa dengan Elang mengapa cowok itu tiba-tiba melakukan ini?! "Ak--aku ... mampir ke toko buku," jawabnya terbata, tangannya gemetar. "Toko buku?" Elang menyunggingkan senyumnya. "Mana buku yang lo beli?" tukasnya, seolah tahu kebohongan Sabina. Sabina yang merasa gugup dan panik sekaligus hanya bisa melipat bibirnya. "Aku nggak jadi beli," jawabnya sambil menunduk. Tiba-tiba, jari telunjuk Elang mengangkat dagunya. "Tatap gue kalau bicara!" bentaknya dan Sabina terkejut. "Sekarang layani gue," titah Elang seakan tidak terelakan. Bola mata Sabina membulat sempurna."Nggak Elang!" tolaknya, agak lirih. Ia tahu maksud dari perkataan Elang. Tapi, Sabina tidak akan melakukannya. "Lang, kita masih sekolah," jawab Sabina, menatap penuh permohonan. "Apa peduli gue? Lo lupa, lo istri gue? Lo lupa, lo harus layani gue? Atau lo ...." Elang melangkah maju lagi, hingga jarak mereka berdua benar-benar habis, bibir Elang menyapu bibir Sabina. "Atau lo udah nggak perawan, jadi lo takut hah?" Itu memang terdengar pelan tapi mampu menusuk tepat di relung hatinya, menyakitkan untuk Sabina. "Elang, bukan ...." Sabina melirih lagi, dia berujar dengan kepala menunduk agar bibirnya yang bergerak tidak menyentuh bibir Elang. Tapi sekali lagi Elang mengangkat dagunya hingga bibir mereka kembali bertemu, sedikit saja Elang mau bergerak, mungkin cowk itu bisa langsung melumatnya. Sorot mata tajam Elang menatap tepat di manik mata cokelat Sabina. "Layani gue, kalau lo emang perawan! Bikin gue puas SABINA!!! Bikini gue nggak nyesel nikahin lo! Bikin gue merubah presepsi lo tentang lo!" "Elang ...,Perjanjian sekolah, aku gak boleh ham--," "Lupain masalah itu! Dan jangan pikir gue sudi punya anak dari lo!" sahut Elang membuat Sabina menatap Elang tidak percaya. Saat itu juga matanya berkaca-kaca. "Gue, cuma mau lo puasin gue sekarang juga!" Cup. Setelah satu kalimat itu, Elang langsung melumat kasar bibir Sabina. Gadis itu belum terbiasa apalagi dengan sentuhan kasar seperti ity membuat Sabina langsung meneteskan air matanya seketika. Ini menyakitkan, untuk fisik dan hatinya. Ia sangat merasa direndahkan. Setelah Elang mengatainya jalang, cowok itu juga tidak percaya bahwa dirinya masih perawan. . Perempuan mana yang tidak akan sakit dengan penghinaan macam itu? Kedua tangan Sabina mencoba mencari tumpuan untuk menguatkan kaki-kakinya yang lemas seketika. Ia mencengkaeram pundak Elang, dan membuat kaos laki-laki itu kusut. "Mmmpph ...." Sabina berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan suara-suara itu, tapi anehnya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Elang mulai melakukannya lembut, Elang mulai mengusap pundaknya dan Elang mulai .... "Elanghh .... Ahh ...." Elang mulai meremas bagian dadanya, dengan brutal-lembut-lalu brutal lagi, sampai membuat Sabina mendongak. Mungkin jika Elang tidak merengkuh pinggangnya, Sabina akan tergeletak di lantai saat ini juga. Pergulatan mereka terhenti, Sabina tersengal, Elang masih merengkuh pinggang gadis itu, sementara Sabina mengatur napas, dan badannya yang lemas. Elang menatap gadis di depannya dengan tatapan intens. Ada sesuatu berbeda yang ia rasakan. Benar, Sabina tidak seperti Clarista, cara gadis itu merasakan sentuhan yang ia berikan begitu berbeda. Seperti gadis itu baru merasakannya. "Layani gue atau gue akan cerain lo dengan tuduhan lo selingkuh sama Brent?" ancam Elang, menatap Sabina intens. "Elang, aku ... aku nggak selingkuh sama Brent. Dia---" "Jadi, lo mau gue ceraiin?" "Elang, aku masih mau sekolah." "Omong kosong apa?! Lo istri gue kenapa lo repot-repot mau sekolah hah?! Kayaknya lo beneran mau gue ceraiin!" Elang melepas rengkuhannya secara kasar. Sabina sedikit mundur ke belakang, mengatur jarak mereka berdua, tidak akan lagi ia biarkan hal tadi terjadi. Sungguh, baru kali ini ia merasakan sensasi sentuhan yang begitu memabukan. Elang mengangkat satu alisnya menunggu jawaban dari mulut Sabina. "Lama!" Elang segera membanting kasar tubuh Sabina di atas ranjang. Mencekal kedua tangannya di sisi kepala. Sabina berusaha memberontak, menendang-nendang dengan kakinya dan juga bergerak ke kanan kiri, tapi tenaganya tidak ada apa-apanya di banding Elang. "Elang, aku nggak mau ...." Air mata Sabina mulai mengucur. Ia tahu, ini tanggung jawabnya sebagai seorang istri, tapi siapa yang tahu, kalau setelah melakukan ini bisa saja ia akan hamil dan akan berhenti dari sekolah? Ia sungguh tidak mau itu terjadi. "Elang ...," lirih Sabina lagi, saat Elang mulai meluciti pakaiannya mulai dari bawah. Pintar sekali Elang, mengikat tangan Sabina dengan dasi yang entah sejak kapan dibawa. "Diem!" Segera Elang melucuti semua pakaiannya dan pakaian yang Sabina gunakan. Elang sempat berhenti menggerayangi setiap inci tubuh istri yang tidak pernah dicintainya itu. Tatapannya menjelaskan bahwa cowok itu terpaku pada tubuh indah milik Sabina. Sabina memilik tubuh yang indah, jujur gadis manapun yang sudah pernah tidur dengannya tidak punya bentuk tubuh seindah ini. Bahkan Clarista sekalipun. Putih bersih, rambut panjang, badan ramping, hidung mancung, alis yang bagus, bulu mata lentik dan juga mata bulat. Iya, Elang akui, lamat-lamat diperhatikan Sabina memang cantik. Tapi entah mengapa, hatinya terlanjur membenci gadis jalang ini. "Buka mata lo," titah Elang yang masih berdiri di bawah ranjang, sembari memerhatikan tubuh Sabina yang sudah telanjang bulat. Sayangnya Sabina menggeleng keras-keras dengan mata memejam. "BUKA MATA LO!" bentak Elang keras-keras. Sabina terkejut dan dengan perlahan ia membuka kedua matanya yang langsung bisa melihat tubuh atletis Elang yang sama sekali tidak terbungkus sehelai benang pun. Senyuman miring terukir di bibir Elang saat itu juga. Segera, tanpa menunggu lama, tanpa berniat memberi pemanasan pada gadis di bawahnya ini, Elang lantas membuka lebar-lebar kaki Sabina, lalu mengarahkan miliknya ke milik Sabina, memasuki pertahanan yang Sabina jaga selama ini, membuat gadis itu merintis lalu merintih kesakitan, Elang yang mendengar itu langsung membuka ikatan tali di tangan Sabina. Gadis itu langsung mencengkeram punggung Elang sekuat mungkin, sementara Elang terus bergerak demgan tempo cepat, bahkan tidak berniat melembutkannya. Kepala Elang berada di ceruk leher gadis itu, menghisap nya keras-keras membuat Sabina mengerang, rupanya tidak dapat mehanan rasa yang Elang berikan. "Ahhh, Elangghh ...." Gencatan Elang terus berlanjut bersamaan dengan menit waktu yang terus berlalu. Mereka sama-sama belum merasakan akan mengalami pelepasan. Dan bagi Elang ini rekor murni, karena selama bermain dengan Clarista, Elang selalu mengalami pelepasan lebih dulu dan tidak pernah mendapat kepuasaan seperti ini. Ia bahkan selalu berganti gaya dalam lima menit sekali. "Elanghhh ...." Sabina mendongak dengan bibir terbuka. Ia tidak tahu ekspresinya sekarang seperti apa, bahkan ia sudah tidak dapat menahan suara-suara itu. Elang juga terdengar sama, entah mengapa ia merasa sakit hati, kala Elang justru menyebutkan nama Clarista. "Arrgghh, Clarista!" Elang sepertinya akan mendapati puncaknya, begitupun dengan Sabina. mereka berdua semakin bergerak dengan tempo keras. Apalagi Elang, dia terus memberi gencatan seolah tidak peduli akan rasa sakit yang Sabina rasakan. "Elang ahhh, Elangghh ... ahhh ...." "Argghhh ...." "ELANGHHHH!" Mereka mendapati pelepasan mereka, Sabina merasakan kehangatan yang membahasi area rahimnya. Detik itu juga air matanya semakin menjadi-jadi. Ia terisak pelan, dan berusaha menahan isakanya agar tak terdengar keras. Sementara itu, Elang yang tersengal-sengal masih berada di atasnya, mengukung dirinya sesekali bergerak lambat membuat Sabina menringis lagi karena rasa perih. "Elang, udahh...," pintanya saat ia merasakan sesuatu menyakitkan, rasanya ada yang salah dengan bagian bawahnya. Ia mendorong pundak Elang tapi cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. "Diam!" Sabina benar-benar kelelelahan ia tidak bisa melayani Elang lagi dengan kondisi tubuhnya yang lelah dan bagian bawah yang terada perih. Cowok itu menindih Sabina lagi, seolah tidak memberi ruang pada gadis itu agar tidak memberontak. Elang dengan aksinya, sungguh dibuat terkagum pada rasa yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Baik pada semua mantannya maupun Clarista. "Elanghhh ..." Mereka mendapati puncaknya lagi untuk kedua kalinya dan .... "SABINA ARGGHH!!" *** Dua jam berada di kamar Sabina, bergulat bersama dan berkeringat bersama, Elang kemudian keluar meninggalkan Sabina yang terlelap. Dalam langkah santai Elang keluar dari kamar Sabina yang masih terlelap dalam tidurnya karena lelah. Dengan bertelanjang d**a, Elang memasuki kamar Clarista. Istrinya itu belum pulang sejak pulang sekolah. Clarista memilih pulang sendiri karena katanya akan mengadakan pertemuan lebih dulu dengan teman-temannya. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan mata terpejam. Ia berusaha meluapkan kejadian dua jam lalu saat Sabina memanggil namanya dalam aktivitas pergumulan mereka. Sungguh, itu adalah rasa yang menganggukkan. Bagaimana bida gadis seperti Sabina bisa memberikan service yang memabukan. Tanpa sadar bibirnya tersenyum. Singguh ia seakan disuguhi sesuatu yang tidak pernah ia temukan pada gadis manapun. Sabina berbeda, sungguh berbeda. Tapi detik berikutnya, sontak Elang menggeleng keras, menepis apa yang mendominasi pikirannya. Tidak, Sabina tidak akan bisa mendapatkan hatinya hanya karena kenikmatan yang gadis itu berikan berbeda dari yang lain. Tujuannya tetap akan sama, menghancurkan Sabina sehancur-hancurnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD