Kebohongan Mereka

1364 Words
Elang bangkit dari duduknya di atas ranjang. Sebelumnya seperti biasa, diam termenung tanpa kata. Sehabis berpikir, Elang langsung melangkah ke toilet. Wajahnya basah setelah dibasuh berulang kali. Kaos warna abu-abu miliknya terkena air di bagian leher. Rambut bagian depan juga sama, basah. Napasnya menderu. Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya seperti ini. Yang jelas, ia sulit melupakan kejadian tadi. Di mana Sabina menangis, kesakitan di bawahnya. Membenci seseorang, namun menemukan satu kenikmatan yang sulit diucapkan. Berulang kali ia berusaha menepis kebenaran bahwa dia terpuaskan. Rambutnya agak berantakan, dirapikan sekadarnya. Meski berulang kali ia mencoba menghargai gadis itu, tapi tetap sama, perasaannya pada Sabina hanya sekadarnya. Elang keluar dari toilet sembari berusaha melupakan apa yang harus dilupakan. Melangkah gontai menuju kolam renang. Menjumpai sang kakak yang belum juga berniat kembali ke negeri bersama istrinya. Apa yang sebenarnya Wiliam tunggu? Apa Sabina? Apa Kakaknya ini juga menyukai gadis jalang itu? "Ada apa?" sambut Wiliam menyadari murungnya wajah rupawan Elang. Hubungan keduanya tidak baik. Tapi, buruk juga tidak. Wiliam memang selalu menjadi yang pertama bertanya, membuka obrolan dan sejenisnya. "Kapan lo pergi? Maksud gue, kapan lo pulang?" Elang duduk di tepi kolam dengan kaki menyentuh air. Pertanyaan barusan bukanlah kesopanan. Elang bahkan tidak mau pusing sopan terhadap kakaknya atau siapapun itu. Baginya, ia tidak perlu penilaian dari orang lain. Wiliam membebaskan diri dari air. Duduk di sebelah Elang dengan tubuh basah. "Sampai Sabina kamu akui jadi istri kamu," jawabnya. Wiliam sang kakak, menaruh rasa harap agar Elang-adiknya berubah secepat mungkin. Bagaimana bisa ia membiarkan Sabina terus diperlakukan seperti itu. "Kakak harap, kamu tidak akan pernah main kasar lagi sama Sabina." Wiliam berujar, dengan tatapan lurus ke depan. "Maksud lo?" Tanpa berniat menyembunyikan keterkejutannya, mata elang melirik Wiliam dengan terang-terangan. Air kolam menjadi arah tatapan kosong Wiliam tertuju. "Jujur, Kakak nggak suka kalau kamu cuekin Sabina, Kakak juga sangat nggak suka kalau kamu maij kasar sama Sabina, hanya untuk minta hak kamu ke dia." Iya, tadi Wiliam sempat mau menemui gadis itu, tapi sampai depan pintu ia justru mendengar kejadian yang tidak ingin ia dengar. Di satu sisin juga, ia tidak bisa melarang Elang karena itu menang hak dia sebagai suami. "Gue harap, lo cepet pergi." Elang tidak menanggapi perkataan Wiliam dan memilih topik lain. Wiliam menaikan sebelah alisnya. "Kenapa Kakak harus pulang? Atau kamu takut Kakak deketin Sabina?" Elang kembali menjadi objek tatap Wiliam. "Seyakin apa lo kalau gue suka sama jalang itu?" Elang bertanya menantang kakaknya. Itu bukan untuk menjawab pertanyaan kedua. Tidak penting ia harus menjawab apa. "Gue gak akan pernah takut kehilangan jalang itu." "ELANG! SABINA PUNYA NAMA!" bentak Wiliam, menegur adiknya yang sama sekali tidak punya kesopanan. "Kenapa? Apa lo kaget? Dia itu jalang! Dan lo dibuat buta sama akting dia!" Wiliam terlihat tenang duduk di tempatnya atau lebih tepatnya mencoba tenang. Ia sadar, adiknya ini memang selalu menyulut emosinya. Wiliam tersenyum. Tidak tersulut percikan api. Sebagai kakak, Wiliam tahu sifat Elang oleh karenanya ia yakin bahwa bisa saja Elang memang menyukai Sabina, hanya saja perasaannya tertutup rasa benci. "Kita lihat saja nanti, Lang," jawabnya penuh kepercayaan diri. "Kamu harus sadar, kamu juga sudah memakai jalang itu," sindir Wiliam. Bibir Elang rapat. Tidak ada keinginan membalas. Seperti biasa, Elang jadi berkali-kali lipat kemarahannya. Jari yang tersemat cincin itu, diremas sampai memucat. *** Satu guratan di dahinya sudah menjelaskan ekspresi Brent pada Clarista. Menegakan diri pada kursi kafe yang cukup mewah. Menatap Clarista tanpa jeda. Sepulangnya Sabina, satu panggilan telfon membuat Brent berada di tempat ini. Bagai angin yang entah datangnya dari mana, Clarista semakin membuat harapannya berkali-kali lipat tumbuh. Tidak datang sendiri. Kotak kecil hitam yang dipesannya satu hari lalu datang bersamanya sebagai pendamping. Berpindah hak. Sekarang, kotak itu bersama dan menjadi milik Clarista. Gadis itu menatapnya suka. Saat isi di dalamnya selalu menjadi benda favoritnya. Apalagi kalau bukan berlian. Menjadi bangga akan diri sendiri karena ia berhasil membuat Clarista tersenyum untuk puluhan kalinya dalam sesekali pertemuan. Sungguh, Brent selalu menantikan momen ini. Di mana Clarista bisa memberinya sedikit waktu untuk ia menyatakan perasaannya pada gadis ini. Menyimpan perasaaan. Brent bukan orang seperti itu. Dengan kata-kata dan bersama benda berkilap Brent mengungkapkannya di depan gadis yang sama, waktu lalu. Jangan kira, Brent akan menghargai apa yang Clarista jalani bersama Elang. Dari hal yang licik hingga manusiawi, Brent melakukan itu untuk menjauhkan Elang dari Clarista. Iya, Brent adalah salah satu laki-laki yang menyukai Clarista sejak dulu. Salah satu lelaki yang ingin Clarista putus dengan Elang. Baginya, sebelum gadis itu menjadi hak milik Elang sepenuhnya, atau istilahnya menjadi seorang istri Elang. Kapanpun Brent berhak mengambil hatinya. Meminta sedikit ruang di hati Clarista agar ia bisa menetap lama dan menguasai seluruh ruang itu secara sepenuhnya. "Jadi, kamu nggak mau putus sama Elang?" Sayangnya, Brent hanya tau bahwa Clarista adalah kekasih Elang, bukan istrinya. "Aku belum bisa pastiin Elang mau diputusin Brent," jawabnya, pintar berakting dan pintar berbohong tentunya. Bagaimana bisa ia tidak mengakui Elang sebagai suaminya. Gigi Clarista tersapu angin. Brent hatinya semakin berbunga. Gelombang rasa semakin tumbuh. Brent mengangguk paham. "Jadi, apa jawaban kamu?" Dalam sekian menit, menatapnya lebih tenang daripada mengeluarkan satu pertanyaan baru saja. Tubuhnya agak bergetar, dan perasaan takut mencuat begitu saja. Setidaknya, jika Clarista menolak. Brent akan mempersiapkan hati untuk kecewa. Clarista semakin membuat Brent menunggu karena bibir gadis itu masih merapat, mata menatap lekat kedua manik mata Brent. "Kamu tahu konsekuensinya?" Kalimat itu keluar, pada akhirnya. Brent menebak, "Jadi yang kedua?" Tanpa bertanya, Brent mengerti. Ia akan menjadi yang kedua, dan Elang tetap di posisi pertama. Clarista membuka suaranya, "Kamu bersedia?" Alisnya terangkat satu. Hatinya berharap Brent mengiyakan tanpa beban, tanpa memperdulikan esok. Sebagai dirinya sendiri, Clarista tahu Brent--cowok pemilik harta berlimpah. Bahkan Brent lebih baik dari Elang. Tidak ada paksaan dalam setiap tindakan yang Brent lakukan. Menyunggingkan senyuman manis, Brent Menggenggam tangan Claritsa. Seolah menyalurkan sengatan yang entah berarti apa. Hatinya berdesir, gugup menyertai. "Aku bersedia tanpa syarat," jawabnya gugup. Tapi kalimatnya yakin. Brent cowok konyol, dengan tingkahnya. Tapi, di depan Clarista bagai tidak dapat berkutik. Bukan kelemahan tapi baginya menjadi menarik dengan cara berbeda. "Tapi aku punya satu syarat." Itu membuat Brent menatap penuh tanya. Menarik tangannya dan kembali perasaannya kalut. Menunggu satu kalimat dengan cemas, pada kursi kayu Brent mengokohkan dirinya. "Jauhi Sabina." Clarista tersenyum memikat lawan bicaranya agar tertarik tanpa berpikir. Bukan pengamat seperti Elang. Tapi, banyaknya koneksi membuat Clarista tau tanpa harus bertanya. Bahwa Brent adalah sahabat Sabina. Matanya juga kerap kali mendapati keduanya tanpa sengaja. Jangan ditanya, Clarista memang tidak akan pernah suka. Mengambil hak milik orang lain. Baginya, Sabina melakukan itu padanya. Tidak peduli selemah apa Sabina, Clarista akan menyerang dari sisi manapun. Dalam duduknya yang bersandar. Cowok di depannya terlihat risau. Mungkin itu keputusan yang sulit untuk ditinjau. Clarista tidak gusar akan kalah. Berlian akan terus Brent incar dan baginya ialah Clarista-lah berlian itu. *** Bayangan seseorang menutupi buku yang sedang dibaca dalam diam olehnya. Elang segera menoleh. Mendapati Clarista tersenyum padanya. Senyuman tulus Elang berikan. Menutup bukunya. Menjadikan Clarista sebagai fokusnya. Dalam posisi yang sama, Elang menyatukan bibir keduanya sekilas. Dalam detik singkat itu Elang kembali teringat rasa yang berbeda. Clarista dan Sabina, berbeda. "Maaf aku baru pulang. Temen ngajakin kemana-mana," tutur Clarista seolah menyesal. Tanpa penjelasan, Elang akan selalu mengangguk percaya. Kurang lebih dua tahun dalam kebersamaan, apa yang harus diragukannya? Tapi sayangnya, Elang belum tahu kebenarannya. "Kamu beli kalung baru?" Elamg menyentuh sesuatu yang tersemat di leher Clarista, ada rantai kecil bermata berlian indah. Elang bisa memastikan harga benda kecil dalam penelitian jarinya ini, tentu tidak seperti harga buku miliknya. "Jangan sampai mama lihat," tuturnya. Emang kembali meletakannya dan membiarkannya memancarkan sinar mengagumkan dalam setiap sisinya. "Nggak papa Lang, toh aku tinggal bilang ini bukan dari kamu." "Iya, aku tau. Tapi kalau Mama lihat dia bakal marah. Dia nggak suka sesuatu yang mewah." "Tenang. Aku bisa bikin alasan. Lagian ini gak pake uang kamu kan?" jawabnya. Setelah menampakan senyuman penuh suka. "Terus, dari siapa?" Tanpa ragu, Clarista menjawab, "Papa. Jadi, kamu gak perlu takut Mama akan marah. Jawaban itu, membuat Elang percaya kesekian kalinya malam ini. Tanpa menaruh ras curiga. *** Mau cerita ini update sehari 2X? Yukx bantu tembusin cerita ini sampai 500 love, dengan cara share cerita ini ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD