Pesta Elang dan penyesalan Sabina

1892 Words
Malam sudah menyapa, kehadiran sang surya tergantikan rembulan. Bagai hari melesat begitu cepat di kota ini. Di atas kuda besi dengan harga milyaran, di jalanan padat merayap, Elang dan Clarista menyusuri jalanan raya di atas motor hitam Hurley milik Elang. Mereka akan ke suatu tempat yang sudah dipilih oleh mereka sebelumnya. Sementara Clarista, yang berada di boncengan belakang terus menggerutu. Jalanan macet menjadi alasannya, dan Elang yang pada akhirnya disalahkan. "Kamu nggak bisa nyelip-nyelip apa?! Percuma kita pakai motor Elang kalau kita masih terjebak macet!" kesal Clarista, terus menggerutu dan mendengus kesal. Mendengar cerocohan yang tak sekali dua kali itu, Elang hanya menghela napas pelan. Lalu berusaha membuat istri yang satunya ini tidak banyak protes lagi. Ia menarik sekali dua kali gas motornya. Sementara Clarista sudah memeluk erat Elang di balik jaket cowok itu. "Kalau tau macet gini, aku mending di rumah aja! Kesel tau nggak!" "Kita juga nggak tau kan, Kla kalau di depan ternyata ada kecelakaan." Elang mencoba menenangkan gadisnya. Entah apa yang baru saja terjadi di depan sana, tapi yang jelas kecelakaan antar dua pengendara membuat lalu lintas macet seperti sekarang. Banyak sekali suara-suara bising dari kendaraan dan klakson dari pengemudi yang tidak sabaran. Juga ocehan-ocehan yang meminta agar situasi ini cepat berlalu. Salah satunya Clarista. Malam semakin berlalu. Mereka juga belum sampai dan orang di balik punggung Elang terus saja menggerutu. Di dalam helemnya ia mencoba menuli. Semua sama, bibir mereka tidak bisa untuk diam dan membuat kesunyian. Padahal, harusnya mereka berpikir, suara kendaraan sudah cukup bising. "Aku nggak mau di sini terus Elang!" Samar-samar ia dengar suara Clarista itu. "Ini masih bisa jalan Kla. Kamu sabar." Clarista mencibir, "Tapi nanti temen kita pulang semua!" kesalnya. "Kamu jangan lupa ya, kalau kita udah janjian sama temen-temen kita!" "Aku ingat Kla! Kamu bisa nggak sih diem aja!" sahut Elang kesal, dia sudah habis kesabaran. "Hish! Kok kamu marah sih!" balas Clarista tak terima. Ia memukul pundak laki-laki itu dengan kesal. Bagaimana pun, Elang juga kesal karena gadis itu sama sekali tidak mengerti kondisi. Gadis itu harus ingat. Jalanan tempat umum bukan milik pribadi. Tidak ada celah juga untuk benda sebesar kendaraan Elang melewati jalanan ini. Solusinya, tetap sama yaitu menunggu sampai benar-benar membaik. "Lagian aku juga tahu mereka nggak akan pulang." Teman-teman Elang selalu tunduk padannya. Mereka semua akan tunduk dan patuh pada perintah Elang. Apapun aturan yang Elang berikan mereka akan patuh dan menjalankannya. Jadi mereka tidak bisa semena-mena atau bahkan melanggar. Mereka semua takut pada predator karena mereka hanya akan menjadi mangsanya jika menggertak sedikit saja. Konsekuensinya jika mereka melanggar, maka mereka tidak akan pernah mendapat jatah apapun dari Elang. Jujur saja, cowok satu ini adalah laki-laki royal. Clarista memilih tidak menjawab. Tapi suara gerutuannya membuat Elang jengah. *** Dalam belasan menit mereka akhirnya sampai setelah terjebak dalam kebosanan masal. Di sebuah tempat yang sudah disewa olehnya selama semalam. Yang hanya dihadiri olehnya dan juga teman-temannya. Mereka memang sering mengadakan pesta seperti ini. Sesampainya di restoran ini, sudah tersedia banyak makanan dan segala macam jenis minuman. Termasuk minuman yang selalu dimusnahkan oleh ibunya. Apalagi jika bukan alkohol dan segala jenisnya. Saat datang, mereka berdua langsung di sambut oleh banyak orang. Dengan tos tangan dan sebagainya. Ada yang memilih fokus dengan makanan ada pula dengan ponsel dan pasangan. Sekitar 20 orang, dan mereka sudah datang semua sesuai list Elang. "Lang, apa kabar bos?!" Ini cowok yang selalu menjadi tangan kanannya. "Baik, King," jawabnya singkat dan tersenyum tipis. "Kalian lucu ya. Sering ketemu masih aja nanya kabar. Memang kalian ibarat kembar. Hobinya sama, umur sama dan punya tanda lahir sama pula," ujar Sefani. Dia memang terkenal sok akrab dan sok mengetahui segalanya. Sefani ini, juga tangan kanan Elang. Bedannya Sefani adalah perempuan dan King laki-laki. Sefani sering mengurusi segala urusan tentang Clarista sementara King, dia biasanya mengurusi tentang orang-orang yang mencoba mengganggu Elang. "Emang tanda lahirnya apaan?" Dragon yang baru saja mendekat, menimpali Sefani. Cowok dengan rambut cepak itu duduk di sofa yang sudah hampir penuh oleh gadis-gadis dengan pakaian minim. Perut hingga pusar kelihatan, celana dan rok pendek mereka gunakan. "Itu, kayak tompel di bagian leher," jawab Sefani. Mengabaikan tatapan tidak suka dari pemilik tanda lahir itu. Jelas tahu, siapa yang paling tidak suka disamakan. Elang tidak suka disamakan oleh King. Apalagi jika karena memiliki tanda lahir saja. Tanpa mengindahkan, Elang menerobos perkumpulan temannya itu. Ini ulah Clarista, mengundang semua orang yang Elang kenal. Padahal, malam ini Elang hanya ingin menikmati malam dengan beberapa orang saja. Cukup ia dan Clarista atau tambah beberapa orang. "Jangan bad mood cuma gara-gara tadi, ya?" bujuk Clarista sudah berada di sisinya. Merangkul pundak cowok itu dengan mesra. Tidak ada jawaban indah selain tersenyum segaris. Elang hanya fokus pada vodka dalam gelas kecil yang sudah ditenggaknya sekali. Ini minuman Elang di luar rumah. Sesekali menyimpannya dalam lemari di kamarnya dan menghabiskannya dalam semalam. Tentu tanpa diketahui ibunya agar ibunya tidak marah dan menghukumnya. Benar, saat orang-orang mengatakan dia akan liar di luar rumah dan patuh saat di dalam rumah. Tapi siapa peduli? Elang tidak bisa jika seterusnya berada di peraturan ibu dan ayahnya. "Elang, aku gabung ke sana ya?" Clarista menunjuk segerombolan orang yang berjoget mengikuti alunan musik. Elang mengikuti arah tunjuk Clarista kemudian menoleh dan menatap gadis itu tajam. Sesuatu yang Elang tidak suka adalah ketika kekasihnya menjadi liar atau tidak terkontrol. "Jangan memalukan diri sendiri, Kla. Aku nggak akan biarin kamu joget-joget kayak gitu." Elang hanya tidak mau jika Clarista menjadi tontonan yang lain. Ia tahu, bagaimana mata teman-temannya bekerja. "Aku cuma joget aja, beneran." Clarista tetap saja meyakinkan cowok itu. "Oke, silahkan. Tapi, aku pulang." Selalu, apa yang Elang putuskan itu sungguh-sungguh. Ia tidak pernah main-main, apalagi ketika Clarista menjadi tidak penurut. Clarista menahan tangan Elang, dan menarik cowok itu untuk duduk kembali. "Oke-oke! Aku gak akan ke sana. Tapi kamu jangan pulang, ya?" bujuk Clarista pada akhirnya. Pasrah dan menuruti Elang dengan wajah yang ditekuk tidak suka. Benar-benar, jika bersama cowok satu ini Clarista tidak bisa menjadi dirinya. Hanya Brent, cowok yang selalu membebaskannya tapi tetap mencintainya. Satu orang laki-laki datang menghampiri Elang dan Clarista. "Elang, ayo tanding kekuatan fisik kita?!" Kalert, dia petinju ulung, menantang Elang untuk beradu fisik. Sang Predator selalu merasa tertantang pada siapapun yang menantangnya. Elang tidak akan membiarkan mangsa yang datang pergi begitu saja. Kedua matanya langsung menyorot tajam Kalert yang berdiri di depannya. Elang seakan menghipnotis mangsanya itu, tapi Kalert tidak akan pernah takut. Mereka berdua, memiliki aura yang sama. Yakni, sama-sama menakutkan. "Elang, jangan." Clarista menarik tangan Elang saat laki-laki itu bangkit. "Kamu bisa babak belur nanti!" "Aku nggak akan biarin dia menang." "Elang udah deh, tujuan kita kesini bukan buat ini kan?" "Diem." Elang langsung melangkah menuju tempat di mana ia dan Kalret bisa beradu fisik. Mereka, teman-temannya yang semula fokus pada kegiatan masing-masing kini menjadikan Elang dan Kalert sebagai fokus mereka. Di halaman luar restoran Kalret dan Elang saling menujukan pukulan mereka. *** Sementara itu, di balik bilik dengan nuansa merah muda, redup-redup cahaya kamar menyapa matanya yang kabur karena air mata. Semakin larut, bukannya semakin berhenti ia menangis dan justru sebaliknya. Setelah perlakuan Elang tadi siang, Sabina benar-benar merasa hina. Meski cowok itu adalah suaminya, tapi disentuh dengan amat kasar adalah penghinaan untuknya. Sabina terus terisak, duduk di atas ranjang dengan kedua kaki di takut ke atas, kedua tangannya mendekap lututnya itu, Sabina terus menangis dan membanjiri pipinya dengan air mata. Semua terasa sakit, batin dan juga raganya. Bahkan setelah itu, dia tidak mendapat kecupan hangat atau ucapan terimakasih dari bibir Elang. Sangat menyakitkan. Tapi, sebagai seorang istri. Sadar itu adalah kewajibannya. Melayani suami tanpa melayangkan protes. Tapi bagaimana ia tidak protes saat ia saja seperti tidak dianggap sebagai seorang istri oleh Elang. Bagaimana bisa Elang meminta hak sedangkan ia tidak boleh melakukan hal yang sama?! Inginnya, Sabina melakukan nanti saat Elang benar-benar mengakui pernikahan mereka. Saat Elang, benar-benar mencintainya. Jika begini, maka ia harus siap untuk berhenti sekolah kapanpun. Ini tidak bisa diabaikan begitu saja, kemungkinan besar setelah apa yang mereka berdua lakukan tadi siang, imbasnya adalah pada Sabina yang kemungkinan bisa hamil karenanya. Dalam benak Sabina berharap itu tidak akan terjadi secepat apa yang ia bayangkan. Ada impian yang ingin ia gapai, yakni menyelesaikan pendidikan salah satunya. Meski harus merangkak, jika masih mampu, Sabina akan menggapai pendidikannya hingga ke ujung dunia sekalipun. Dalam diam dan sunyi ruangan, Sabina termenung kemudian, dia mulai reda tangisannya. Kedua tangannya menyentuh pipinya, mengusap air mata yang belum mengering. Lantas setelah merasa cukup baikan, menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Sekadar membuat dadanya yang semula sesak menjadi sedikit ringan. Perlahan, Sabina turun dari ranjang, dan melangkah menuju meja belajarnya. Ia mendekat pada piring yang diantarkan oleh pembantu rumah tangga, tadi. Pembantu itu sempat bertanya apa yang terjadi padanya, tapi Sabina menjawab bahwa ia baik-baik saja. Sabina menyentuh pinggiran piring dengan isi berbagai lauk sederhana dan nasinya. Aromanya sedap, tapi tidak juga menggairahkan nafsu makannya. Kesedihan membawanya teringat pada kedua orang tuanya. Meski tidak pernah tau siapa mereka tapi Sabina selalu membayangkan dua sosok dalam khayalannya. Sosok sempurna. Meski tidak ada, Sabina merasa selalu dipeluk hangat oleh ibunya dan selalu ditegarkan oleh ayahnya. Tetap sama, itu hanya dalam khayalnya. "Ibu ...," lirih Sabina. "Ayah ...," dan lagi. Kemudian setetes air mata jatuh begitu saja. Sabina beralih mengecek ponselnya. Dia juga seharusnya sama seperti Brent. Mencari orang tuanya lewat sosial media. Ia teramat bodoh, memberikan solusi pada orang lain tapi ia juga membutuhkannya. Sepulangnya dari rumah Brent, sahabatnya itu tidak mengabarinya atau sekadar mengirimkan pesan. Game online mungkin masih menyibukan Brent bersama Rama. Memikirkan tentang Brent, membuatnya ingat akan Elang. Entah kebetulan atau apa. Saat Elang memunggunginya sesudah menikmati tubuhnya tadi siang. Ia sempat melihat tanda itu. Tanda yang Brent maksud. Tompel atau apalah itu di leher bagian belakang Elang. Tapi, apa mungkin Elang adalah adik Brent? Dan besok, Sabina harus memberitahu Brent tentang itu. Tapi, dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan Elang lalu cowok itu menikmatinya dan disitulah ia bisa melihat tanda lahir itu. Tidak. Sama sekali bukan seperti itu. "Brent harus tau bagaimana pun caranya. Kalaupun bukan Elang, setidaknya Elang bisa menjadi langkah awal apa adik Brent masih hidup atau nggak," gumamnya pelan. Besok, ia akan membungkus ceritanya dengan cerita lain. Karena yang terpenting informasi tentang tanda lahir itu yang tersampaikan. Untuk sekarang, ia mencoba tidak antusias. Biarkan besok saja. Jika itu benar, maka Elang adalah adik Brent ... Dan secara tidak langsung, Brent adalah saudaranya juga. Dalam kemalas-malasannya, Sabina menyentuh sendok di atas piring. Meski tidak nafsu, ia tidak ingin sakit menyerang. Ketika sakit, kemungkinan tidak ada lagi yang akan peduli padanya. Berbeda ketika masih di panti. "Aku harus makan," katanya, mengambil sendok dan menyuapi mulutnya. Sabina terus menyuapi dirinya sendiri. Semakin lama, nafsu makannya kembali pulih. Rasa makananya memang sangat enak. Bersyukur karena di panti dulu ia mungkin jarang sekali makan makanan seenak ini. Seakan ingat teman-teman dan adik-adiknya di panti. Rindu Sabina terpupuk kembali. Sepertinya, besok ia harus berkunjung ke sana. Saat hari minggu tiba. *** mau cerita ini lanjut? yuk, komen sebanyak-banyaknya dan tap love juga ya! juga bantu share cerita ini ke sosial media ataupun grup f******k? untuk yang pengen tau cast Sabina, Elang dan Clarista kalian bisa cek di ** @rizkamursinta31
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD