Bab 14. Go To Rock Bar

1121 Words
Pukul 7 malam ... "Mm, not bad," tukas Fay sambil tersenyum pada sang Bibi, setelah cukup lama ia mematut wajahnya yang telah selesai dirias oleh Bibinya itu di depan cermin. "Apa maksudnya itu?" Loisa mengerutkan bibirnya, "Apa tadinya kau telah meragukan kemampuan Bibimu ini?" Fay kembali menoleh pada Loisa yang sedang menekuk wajahnya. Kemudian menghampiri Bibinya itu dan memeluknya dengan manja. "Bukan begitu, Me Nik," cicitnya. "Bukan kemampuan Me Nik yang kuragukan, tapi wajahku!" "Kau itu cantik, Gek!" dengus Loisa gemas, "Kau cantik seperti Ibumu! Sayangnya ... kau memilih untuk menikahi pria yang buta. Padahal di luar sana, kemungkinan masih banyak pria yang akan mengagumi kecantikanmu itu." "Benarkah?" Fay langsung terkikik geli setelahnya, sebab ia memang sengaja menggoda Loisa. Nyatanya itu berhasil, karena kini ia mendapatkan satu jeweran dari adik Ibunya itu. "Sa-kit, Me Nik!" pekiknya. Loisa segera melepaskan telinga Fay, namun masih menatap wajah keponakannya itu yang bersemu merah gara-gara ulahnya tadi. Keponakannya ini, mewarisi kulit pucat ayahnya yang berasal dari Jerman, bukan kulit Ibunya yang senada dengan kulit Loisa. Karena itu, warna kulit Fay mudah sekali merona. "Oh ya, Gek. Kau sudah mempersiapkan gaun yang akan kau pakai nanti?" tanya Loisa. Kemarin, ia telah membelikan banyak gaun indah untuk Fay. Loisa melakukannya demi menghibur keponakannya ini. Caranya, ia akan membawa Fay untuk bertemu dengan orang-orang baru agar keponakannya ini bisa secepatnya melupakan pengkhianatan mantan suaminya. Seperti malam ini, ia dan Fred sudah memiliki rencana untuk memperkenalkan Fay pada seorang pria yang ia tahu bahwa pria itu adalah pria yang baik dan bisa dipercaya. Satu lagi, karena terlalu sibuk bekerja, pria itu juga masih jomblo hingga saat ini, Loisa mengenalnya atas rekomendasi dari Fred. Dan hari ini, ia telah bertemu dengan pria itu saat makan siang. Fred yang telah membawa pria itu menemui dirinya. "Malam ini aku ingin memakai gaun putih yang ada mutiaranya itu, Me Nik." Ucapan Fay itu sontak membuyarkan lamunan Loisa. "Gaun putih?" Fay menganggukan kepalanya, "Kenapa, Me Nik? Apa gaun itu tidak pantas untuk dibawa ke Rock Bar?" Loisa menggeleng pelan, "Tidak, Gek. Gaun itu bagus, sangat cocok untukmu," tukasnya, "Tapi, kalau kau ingin memakainya malam ini, maka sebaiknya kita mengangkat rambutmu ke atas." Ia lalu meminta Fay untuk duduk di kursi yang terdapat di depan cermin agar ia bisa menata rambut keponakannya itu. "Sebaiknya kulakukan sendiri saja, Me Nik!" Namun Loisa yang tidak ingin dibantah, terus bersikeras ingin merapikan rambut Fay. Setelah beberapa saat, rambut panjang itu kini sudah disanggul di atas tengkuk Fay. Membuat lehernya yang jenjang terpampang begitu saja. Tidak cukup sampai di situ, Bibinya bahkan menambahkan jepit bunga berwarna putih gading di atas telinga kanannya. "Sekarang kau sangat cantik, Gek. Me Nik rasa, semua pria yang akan melihatmu nanti, pasti juga berpikiran sama seperti Me Nik." Fay hanya menanggapi ucapan Bibinya itu dengan tersenyum kaku. "Baiklah, sekarang sudah saatnya kau mengganti pakaianmu. Fred sudah on the way ke sini dari tadi, sebentar lagi mungkin dia akan tiba di sini." Sesaat, Loisa memeriksa wajah keponakannya sekali lagi, setelah itu—ia pun bergegas pergi meninggalkan kamar Fay agar keponakannya itu bisa berganti pakaian. Di tempat berbeda, di dalam sebuah sedan yang sedang melaju kencang dari Seminyak menuju ke Jimbaran. Saat ini, Lucas sedang duduk di bangku bagian penumpang dengan wajah datar. Di belakang setir, Jerome memperhatikan atasannya itu melalui kaca spion mobil yang berada beberapa jengkal di atas kepalanya. Siang tadi, sejak Fay memutuskan panggilan Lucas, sejak itu pula wajah atasannya itu terus terlihat datar. Terkadang, malah terlihat sedikit mengerikan di saat Lucas mendengus, seolah-olah rona wajahnya tiba-tiba berubah menjadi hitam. "Tuan? Apa kita tidak terlalu cepat pergi ke tempat itu?" celetuk Jerome takut-takut. Cemas jika sang atasan akan merasa terganggu atas ucapannya itu lalu memukul kepalanya. Lucas telah beberapa kali melakukan hal itu sejak ia bekerja pada atasannya ini. Bahkan, Lucas pernah memukul kepalanya dengan menggunakan map berkas. Tetapi yang paling sering atasannya ini lakukan adalah menyentil keningnya dengan keras. Menurut Lucas, itu sengaja dilakukannya agar otak Jerome tidak beku. Alasan yang aneh. "Mengapa? Apa kau pikir tempat itu belum buka?" ketus Lucas, sambil menatap Jerome dengan tajam. Membuat Asistennya itu langsung menundukkan kepalanya. "Bu-kan begitu, Tuan Lucas." Diam-diam Jerome melirik kaca spion mobil, lalu reflek menatap ke depan saat ia menemukan sang atasan ternyata sedang memperhatikan dirinya. Sorot mata Lucas terlihat sangat tajam, dan selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa membujuk seorang Lucas La Treimoille ketika atasannya ini sedang marah, terlebih lagi Jerome yang mentalnya berada di bawah sang atasan. "Aku hanya takut jika Nyonya Fay belum berada di tempat itu, Tuan. Lagipula, bukankah selama ini Tuan juga tidak terlalu suka menunggu seseorang?" "Hmm," sahut Lucas singkat. "Lalu mengapa Tuan ingin segera pergi ke tempat itu?" Lucas sendiri tidak mengerti mengapa ia begitu terobsesi ingin bertemu dengan Fay. Namun yang pasti, ia ingin menghukum wanita itu. Ia harus membuat wanita yang telah berani mengacuhkannya itu menjadi tergila-gila padanya! "Ckk," decaknya pelan dengan wajah gemas, sembari membayangkan wajah Fay. Sialnya, yang ia ingat justru wajah b*******h wanita itu saat ia menambah kecepatan gerakan pinggulnya. "b******k!" kata umpatan itu terlontar bersamaan dengan Lucas melemparkan pandangannya ke samping, ke luar jendela sedan, menatap lampu-lampu jalan yang ada di luar sana. 'Bagaimana sebaiknya aku bersikap ketika aku bertemu dengannya nanti?' bisik hatinya resah. *** Pukul 9 malam, hentakan musik DJ langsung menyambut Fay ketika ia, Loisa, dan Fred keluar dari lift yang membawa mereka ke sebuah Klub yang terdapat di pinggir tebing. Deburan ombak menghantam dinding karang seakan berpadu dengan musik yang mengalun di Klub ini. "Sayang? Bagaimana jika kau pergi terlebih dahulu ke table yang telah kita pesan?" ujar Fred, berbicara pada Loisa yang sedang ia rangkul pinggangnya. Wanita berwatak keras ini telah lima tahun menjadi kekasih Fred, namun entah mengapa Loisa masih menolak lamarannya hingga saat ini meski Fred yakin kalau wanita ini juga mencintai dirinya. "Apa kau ingin memesan minuman?" seiring ia bertanya, Loisa memberikan isyarat pada Fred melalui tatapannya yang segera ditanggapi oleh kekasihnya itu dengan anggukan pelan. "Oke, kau boleh pergi," cetusnya setelah ia melihat anggukan sang kekasih. Fay hanya geleng-geleng kepala melihat interaksi sang Bibi dengan kekasihnya itu. Dan sepeninggal Fred, ia langsung melingkarkan lengannya di lengan Loisa. "Apakah selama ini Me Nik masih saja berbicara seperti tadi pada Fred?" protesnya dengan suara pelan. Loisa tertawa kecil, "Mengapa, Gek? Apa kau takut dia akan marah kemudian meminta putus pada Me Nikmu ini?" "Bagaimana jika iya," rutuk Fay gemas. Dengan santai Loisa menyeret keponakannya itu menuju ke sebuah table. Dan meminta Fay untuk duduk di salah satu sofa yang melingkari meja itu. Setelah itu, ia duduk di samping keponakannya itu. Baru saja Loisa ingin membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Fay tadi, tiba-tiba ia dan Fay dikejutkan oleh kehadiran seorang pria. "Selamat malam, bolehkah saya bergabung di sofa ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD