Bab 13. Kunci Yang Tertukar

1179 Words
"Apa sudah kau lacak di mana dia tinggal di kota ini?" tukas Lucas, seraya mengembalikan ponsel Jerome pada sang empunya ponsel tersebut. Jerome segera mengambil ponselnya itu dengan kepala sedikit menunduk. "Dari informasi yang telah berhasil aku kumpulkan tentang Nyonya Fay Abimana, seharusnya Nyonya Fay memiliki sebuah rumah di area ini, Tuan. Rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Hingga saat ini, belum ada kabar jika rumah itu telah berpindah tangan, Tuan Lucas." "Rumahnya berada di area ini? Mengapa baru mengatakannya sekarang?" dengus Lucas gemas. Ia bahkan mengangkat tangannya seakan ingin menyentil kening Jerome, namun saat ia melihat Asistennya itu mengerutkan lehernya dan tampak mencoba melindungi wajahnya—Lucas pun akhirnya hanya menghembuskan napas gusar dan menurunkan kembali tangannya itu ke sisi tubuhnya. Menyelipkannya ke dalam saku celananya. "Kau sudah memiliki alamat lengkap rumahnya itu, 'kan?" celetuknya. Jerome mengangguk takut-takut. Dan dalam hitungan menit, ia sudah kembali bersikap normal karena melihat bahwa Lucas telah mengurungkan niat untuk memukulnya. "Kalau begitu, ayo!" tanpa ingin menjelaskan panjang lebar, Lucas mulai melangkahkan kakinya menuju ke pintu vila ini yang sengaja ia sewa untuk satu bulan ke depan. "Ayo?" Jerome sontak mengerutkan kening, kemudian bergegas mengejar sang atasan. "Tu-an mau ke mana?" lontarnya, bersamaan dengan ia mencoba mensejajari langkah Lucas. "Tentu saja ke rumahnya! Kau yang menyetir! Suruh Driver yang sedang menunggu di luar itu untuk pulang saja. Berikan ongkos taksi padanya!" "Tapi, Tuan Lucas. Saya belum selesai bicara," ujar Jerome. Membuat Lucas reflek menghentikan langkahnya dan langsung menoleh padanya. "Begini, Tuan." Dengan susah payah ia berusaha menjelaskan pada sang atasan tentang di mana seharusnya Fay berada. "Rumah yang telah saya katakan tadi, rumah itu sepertinya telah disewakan oleh Nyonya Fay pada orang lain. Yang artinya, Nyonya Fay mungkin tidak tinggal di sana, Tuan." Salah satu alis Lucas sontak mencuat naik, "Lalu di mana dia? Bukankah kau sendiri yang mengatakan jika dia sudah kembali ke kampung halamannya ini? Dan jika dia tidak tinggal di rumah bekas milik kedua orang tuanya—dia bisa tinggal di mana lagi?" "Di rumah Bibinya, Tuan Lucas. Adik dari Ibu Nyonya Fay adalah seorang Pengacara yang cukup terkenal di kota ini, Tuan. Aku rasa, ke sanalah Nyonya Fay akan pergi setelah Mr. Rey membuatnya tidur dengan Anda. Demi menyembuhkan dirinya, Tuan." "Ckk!" Lucas mendecakkan lidahnya. "Artinya ... aku hanya bisa menemuinya di Rock Bar malam ini, bukan begitu?" Jerome menganggukkan kepalanya. "Benar, Tuan." "Sial!" umpat Lucas, yang sudah tidak lagi sabar ingin menghukum Fay atas sikap wanita itu padanya. *** Sore hari di Jakarta, jam pulang kantor. Di parkiran perusahaan yang ia pimpin, Rey tampak sedang menyandarkan punggungnya pada pintu sedannya seolah sedang menunggu seseorang. Tak lama, Yuni terlihat dari kejauhan sedang melangkah tergesa-gesa ke arahnya. "Maaf aku terlambat, Sayang. Tadi aku sedang menerima telepon dari Mr. Abbas, calon Klien kita yang dari Dubai itu." Dengan raut menyesal terukir di wajahnya, Yuni mencium pipi Rey yang sedang menatap lurus padanya. "Pria itu sudah menghubungimu? Apa katanya? Apakah dia bersedia bekerja sama dengan kita?" Yuni menanggapi pertanyaan itu dengan tersenyum lebar. "Ya, Sayang. Kita sudah mendapatkan Mr. Abbas. Besok dia mengundang kita berdua untuk bertemu dengannya di sebuah restoran untuk membahas tentang kerjasama yang kita tawarkan padanya." "Bagus sekali," ujar Rey, tersenyum senang sambil mengangkat kepalan tangannya. Setelah itu, ia lalu menangkup wajah Yuni dan mencium bibir kekasihnya itu. "Kau hebat, Sayang," bisiknya pada sang kekasih yang membalas ucapannya itu dengan mengusap dadanya. "Sayang?" desis Yuni dengan gerakan manja, "Sebenarnya ... ada satu masalah yang ingin kukatakan padamu. Tapi tolong jangan marah, oke?" Rey langsung menarik diri, "Masalah? Masalah apa?" tanyanya penasaran, "Apakah tentang Mr. Lucas? Mungkinkah Asistennya telah menghubungimu dan mengabarkan jika pria itu tidak ingin bekerja sama dengan kita?" "Tidak, tidak." Dengan cepat Yuni mengibaskan kedua tangannya di hadapan Rey, "Ini memang tentang Mr. Lucas, tapi bukan tentang yang baru saja kau tanyakan padaku tadi." Ia lalu diam sejenak, mengambil sedikit waktu untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu. "Malam itu ... ternyata aku telah salah memberi kunci kamar padamu, Rey. Kunci kamar yang telah kau berikan pada pelayan itu yang membawa istrimu pada malam itu, seharusnya milik Mr. Abbas. Tapi ketika aku menyerahkan kunci itu padamu, tanpa sengaja kunci itu telah tertukar. Jadi ...." "Kau ingin mengatakan kalau Mr. Lucas-lah yang telah menghabiskan malam bersama wanita itu? Maksudmu ... mantan istriku ternyata tidur dengan Mr. Lucas?!" Yuni sontak tersenyum kecut. "Maaf, Rey. Malam itu aku sedikit sibuk menjamu para tamu, Sayang. Dan ketika kau meminta kunci kamar Mr. Abbas padaku, aku ...." "Kau sudah membuat masalah yang sangat besar, Yun!" bentak Rey. Membuat Yuni seketika tergugu saat menerima bentakan itu. Padahal, selama ini Rey tidak pernah sekalipun berbicara kasar padanya. "Rey?" dengan wajah menyesal Yuni mencoba menyentuh lengan sang kekasih yang langsung ditepis oleh Rey. "Apa kau tahu? Fay itu belum pernah kusentuh sama sekali, dia itu sangat polos! Jadi dia tidak akan mungkin bisa memuaskan seorang Lucas La Treimoille, Yun! Pantas saja kemarin Mr. Lucas tidak langsung menerima tawaran kita," oceh Rey geram. "Aku pikir, pria itu mungkin merasa tidak puas dengan hadiah yang telah kita berikan padanya." "Aku tahu, Rey. Aku tahu aku salah, tapi ...." "Aku tidak ingin mendengarkan alasanmu, Yun. Kau harus segera menghubungi Asisten Mr. Lucas! Dan bagaimana pun caranya, kau harus memperbaiki kesalahanmu ini." Rey yang biasanya selalu membukakan pintu mobil untuk Yuni, kini mengabaikan kekasihnya itu dan hanya masuk sendiri ke dalam sedannya lalu menunggu Yuni di depan setir. Di sisi lain, Yuni yang baru menyadari jika Rey tengah marah besar padanya, mau tidak mau, dengan terpaksa membuka sendiri pintu sedan milik kekasihnya itu kemudian duduk di samping pria itu. Sedan Rey langsung melesat pergi bahkan sebelum ia sempat memasang seatbell. Sikap Rey itu membuat Yuni merasa tak enak hati pada kekasihnya itu. Sementara itu, di Bali. Saat ini Fay sedang bersenandung riang di dalam kamar mandi yang terdapat di dalam kamar yang ia tempati di rumah Bibinya ini. Sore ini, setelah berlari memutari komplek rumah sang Bibi, perasaannya tiba-tiba menjadi sedikit lebih tenang. Ia pikir, ini terjadi karena ia sudah terlalu banyak menangis sebelumnya. Perlahan-lahan, apa yang sudah ia lakukan itu telah berhasil membuang beban yang telah menggelayuti hatinya selama tiga tahun kemarin. "Gek?! Kau ada di kamar?" Samar-samar, ia mendengar suara teriakan Bibinya dari arah luar, membuatnya bergegas dengan cepat meninggalkan kamar mandi dengan wajah yang telah bersih dan segar. "Ya, Me Nik," sahutnya setelah membuka pintu kamar dan berhadapan langsung dengan sang Bibi yang sedang berdiri tegak di depan ambang pintu dengan satu tangan masih mengambang di udara seolah ingin mengetuk pintu kamarnya. "Kau sudah mandi, Gek?" lontar Loisa, sambil mengamati keponakannya. Fay menggeleng pelan, "Baru ingin mandi, ada apa, Me Nik?" tanyanya bingung, memperhatikan wajah sang Bibi yang sedang memindai wajahnya. Loisa menggeleng cepat, "Tidak, tidak apa-apa, Gek. Me Nik pikir tadi kau sedang pergi, karena itu Me Nik iseng mengechek kamarmu." Fay memiringkan kepalanya, ia bahkan menyipitkan matanya. "Benar hanya itu?" Merasa salah tingkah, Loisa pun mencoba tersenyum pada sang keponakan. "Tentu saja. Oh ya, kebetulan kau ingin mandi, sebaiknya cepatlah! Karena setelah ini Me Nik ingin mendandanimu! Malam ini, kau harus terlihat cantik, Gek!" ujarnya bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD