Bab 8. Berani Sekali Dia Menghilang

1068 Words
"Kau tinggal di sini, 'kan, Gek? Sudah lama kamar kosong yang ada di rumah ini Me Nik persiapkan untukmu apabila kau pulang ke Bali nantinya. Fred juga ikut mendekorasi kamar itu. Dia ... menyayangimu seperti keponakannya sendiri, Gek." Loisa tersenyum lembut pada Fay saat ia melihat anggukan pelan sang keponakan yang menyetujui tawaran darinya. "Oh ya, Gek. Kau sudah makan? Kalau belum, bagaimana jika kita pergi mencari makan di sekitar rumah peninggalan orang tuamu. Setelah makan, kita bisa sekaligus memeriksa rumahmu itu agar kau tahu dari mana kau harus memulai perbaikannya." "Baik, Me Nik. Kebetulan dari pagi aku hanya makan roti sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat di bandara Jakarta." Loisa memukul pelan kepala Fay, "Kau ini," ocehnya gemas. "Me Nik tahu kau sedang terluka karena perbuatan Rey padamu, tapi kau juga harus menjaga kesehatanmu! Jika Ayah dan Ibumu melihatmu seperti ini dari alam sana, mereka pasti menangis." Fay hampir tidak bisa menahan tawanya, hingga senyuman lebar yang selama tiga tahun belakangan ini tidak pernah terukir di bibirnya—kini terlepas begitu saja. "Begitu dong," sungut Loisa yang notabene sangat gaul pada sang keponakan. Meski, umurnya sudah hampir kepala empat, nyatanya Loisa yang lebih menyukai hidup sendiri selama ini, masih terlihat sangat muda. Bahkan wajahnya dan Fay terlihat seperti kakak adik. Ada kemiripan yang signifikan pada wajahnya dengan wajah keponakannya itu akibat darah campuran yang mengalir di tubuh mereka. "Ayo pergi!" ajaknya pada Fay sambil beranjak dari sofa. Dengan malas Fay menuruti ajakan dari adik Ibunya itu yang telah ia anggap sebagai pengganti Ibunya. Dan karena keluarga mereka hanya tersisa mereka berdua, hubungan mereka menjadi sangat dekat. Bahkan ia tahu apa alasan Loisa tidak ingin menikah hingga umurnya yang sekarang, karena Bibinya ini sangat menyayangi dirinya, dan Loisa tidak ingin jika calon suaminya nanti tidak bisa memperlakukannya dengan baik. "Me Nik ganti mobil?" celetuknya, saat mereka ke luar dari rumah sang Bibi dan Loisa membawanya ke sebuah mobil BMW keluaran terbaru. "Hadiah dari Fred." Loisa lalu melirik sang keponakan yang sedang tertawa kecil setelah mendengar jawaban darinya. "Dia menyogok Me Nik agar mau menerima lamarannya," sungutnya. "Jadi Me Nik sudah menerimanya?" "Tidak semudah itu, Esmeralda." Loisa tergelak hingga tubuhnya berguncang. "Osbaldo masih harus terus berjuang keras untuk menaklukan Me Nikmu ini," lanjutnya. "Kasian sekali nasib Fred," ujar Fay menyesalkan sikap sang Bibi. Walau, Fay mengucapkan kata-katanya itu dengan raut serius, namun Loisa justru menanggapinya dengan terkikik geli. "Menjadi wanita itu harus cerdas, Gek. Jangan hanya dengan sedikit sogokan dan janji-janji manis maka kau akan langsung setuju begitu saja untuk dinikahi seorang pria. Ingat, Gek! Pernikahan itu perjanjian seumur hidup untuk saling melengkapi, bukan untuk hidup menderita, mengerti?" "Siap, Bos!" Fay mengangkat tangan untuk memberi hormat pada Bibinya yang disambut oleh gelak tawa sang Bibi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak hidup sebebas ini, tertawa jika ada sesuatu yang lucu, dan tersenyum pada orang-orang terdekatnya. Tanpa terasa, kelopak matanya tiba-tiba menghangat mengingat apa yang telah ia alami selama tiga tahun kemarin. "Jangan memasang wajah begitu di hadapan Me Nikmu ini, Gek! Me Nik tidak suka melihatmu bersedih demi seorang b******n," omel Loisa, bersamaan dengan ia meminta Fay untuk masuk ke dalam mobil miliknya. "Lebih baik kita cari makanan enak dan makan sampai kenyang agar kau bisa melupakan mantan suamimu yang sialan itu. Setelahnya, kita pergi melihat rumahmu lalu lanjut shoping. Lihatlah bajumu itu! Lebih pantas untuk dipakai di rumah daripada dipakai buat jalan-jalan." Fay meringis seiring ia masuk ke dalam mobil, duduk di samping sang Bibi yang sangat menyayangi dirinya. "Bagaimana tabunganmu dari hasil menyewakan rumah, Gek? Apa sudah habis? Jangan katakan kalau kau juga memberikan tabunganmu pada b******n yang telah menyakitimu itu." Fay sontak mengerucutkan bibirnya, "Rey tidak tahu jika aku memiliki tabungan, Me Nik. Karena itu dia selalu memanggilku wanita miskin," tukasnya membela diri. "Dasar laki-laki b******k!" Loisa memukul setir mobilnya dengan geram lalu menoleh pada sang keponakan. "Kalau Me Nik tahu dia ingin menikahimu hanya untuk menghinamu, Me Nik tak akan biarkan kau menerima lamarannya," ujarnya. "Semua sudah takdir, Me Nik." "Kau seperti Ibumu!" oceh Loisa pada sang keponakan, membuat Fay seketika terdiam. Mengingat almarhum Ibunya yang sangat lembut. Loisa memperhatikan wajah keponakannya itu lalu mengulurkan tangannya, membelai belakang kepala Fay dengan penuh kasih. "Kedua orang tuamu sangat menyayangimu, Gek. Makanya Ibu dan Ayahmu tidak ingin memberimu seorang Adik agar mereka tidak perlu membagi kasih sayang mereka padamu—kepada anak mereka yang lain walau tradisi kita sangat mengagungkan anak lelaki." "Aku tahu, Me Nik." Fay mencoba menyunggingkan seraut senyum meski bibirnya terasa berat untuk melakukannya. "Baiklah, sudahi dulu ini. Saatnya kita makan," ujar Loisa sambil memundurkan mobilnya, mengeluarkan kuda besi itu dari halaman rumahnya yang besar bak vila. *** Pukul 5 sore di Jakarta. Di luar, matahari masih bersinar dengan sangat terik, namun di dalam sebuah Kafe yang teduh, Lucas sama sekali tidak merasakan hawa panas yang nyaris membakar Kota Jakarta itu. "Bagaimana? Kau sudah melacak nomor ponselnya?" tanyanya pada Jerome yang telah berada di sampingnya, setelah Asistennya itu menyelesaikan pesanannya pada pelayan Kafe. Jerome mengangguk pada sang atasan. "Sudah, Tuan Lucas. Tapi ... mengapa Tuan tidak ingin mencoba menghubungi Nyonya Fay? Bukankah Tuan sudah menyimpan nomor Nyonya Fay di kontak Tuan?" Raut wajah Lucas sontak menghitam. Sorot matanya yang tajam seakan mampu memotong benda apapun yang lewat di hadapannya. "Wanita itu ...," geramnya dengan rahang mengeras, "Benar-benar tidak menghargai perhatianku padanya." Lucas marah? Tanpa bertanya pun Jerome sudah tahu jawabannya dari ekspresi atasannya itu saat ini. Tetapi Lucas marah karena diacuhkan oleh seorang wanita? Ini baru pertama kali terjadi. "Sekarang kita sudah tahu di mana Nyonya Fay berada, lalu apa rencana Tuan?" celetuknya. Lucas mengangkat satu alisnya, "Tentu saja membuat perhitungan dengan wanita itu, berani sekali dia menghilang tanpa kabar setelah memuaskanku," gerutunya. "Kau tahu, Jerome. Tidak ada seorang wanita pun yang pernah memperlakukanku seperti ini. Menghilang sebelum aku puas dengannya." Ingatan Lucas sesaat melayang, membayangkan wajah memerah Fay saat ia menggerakkan pinggulnya untuk mengejar kepuasannya. Suara rintihan, dan desisan yang terlontar dari bibir wanita itu bak simponi alam yang mampu membangkitkan gairahnya hingga melewati batasnya. Begitu pula dengan gerakan tubuh Fay yang seakan menikmati permainannya. Semua itu tidak mudah untuk ia hapus dari ingatannya. Sial! Ia benar-benar menginginkan wanita itu sekarang! Saat ini! Mendesis, di bawah tubuhnya. "Aku ingin kau memboking tiket untuk besok, Jerome! Kita akan pergi untuk menemui wanita itu. Jangan dia pikir dia bisa semudah ini melupakanku setelah aku tertarik padanya." Jerome mengulum senyum melihat kegusaran sang atasan. "Baik, Tuan Lucas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD