Bab 9. Akan Kuhukum Wanita Itu

1113 Words
"Bagaimana, Gek? Kerusakannya tidak parah, 'kan?" tanya Loisa sambil memperhatikan rumah peninggalan kakak perempuannya dan saudara iparnya. "Satu tahun ini Me Nik kebetulan sangat sibuk sampai tidak sempat untuk memeriksa rumah ini. Dan ketika penyewa rumah ini memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang sewanya, Me Nik baru tahu ternyata selama ini mereka sama sekali tidak merawat rumah ini. Lihatlah! Bagaimana bisa mereka membuat dinding bekas kamarmu dulu hingga menjadi lembab seperti ini, dasar orang-orang jorok!" "Kalau kita bisa mendapatkan tukang yang murah dan mau menerima borongan, aku pikir biaya yang harus dikeluarkan tidak akan terlalu mahal, Me Nik," ujar Fay menimpali ucapan sang Bibi. "Masalah tukang aman, Gek. Me Nik punya kenalan. Kalau tabunganmu habis, Me Nik juga bisa membiayai perbaikannya, Gek. Tolong jangan menolak!" "Aku masih memiliki tabungan, Me Nik." Fay menoleh pada sang Bibi yang sedang menatapnya dengan raut sedih tergambar di wajah Bibinya itu. "Huft! Kau ini selalu begini pada Me Nik. Selalu merasa sungkan. Keluarga kita hanya tinggal kau dan Me Nik, Gek," tukas Loisa sebal. "Aku tahu, Me Nik. Tapi ini tanggung jawabku! Lagipula aku masih menyimpan uang sewa rumah selama tiga tahun kemarin. Totalnya 210 juta, 'kan? Selama tiga tahun kemarin aku juga hanya memakai 50 juta untuk keperluan kuliahku, sisanya masih ada di rekeningku." "Ya tetap saja, Gek. Sebaiknya uang itu kau simpan saja untuk memenuhi kebutuhanmu. Di luar itu, serahkan saja semuanya pada Me Nikmu ini. Lagipula bukankah sia-sia rasanya Me Nikmu ini menjadi Pengacara nomor satu di Bali jika Me Nik tidak bisa membantumu?" Tidak bisa lagi menolak, akhirnya Fay hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan wajah pasrah. Apalagi ia tahu sendiri kalau Loisa sangat keras kepala. Dengan kata lain, jika Bibinya ini sudah bilang A maka ia tidak bisa berkata B. Sulitnya berdebat dengan seorang Pengacara kondang ya begini. "Baiklah, kita sudah melihat rumahmu. Sekarang saatnya Me Nik mentraktirmu, oke? Kita akan beli banyak pakaian bagus. Buang saja semua pakaian yang kau bawa dari Jakarta, Gek. Anggap saja buang sial." "Tapi, Me Nik!" "Tidak ada tapi-tapi, Gek! Kau harus patuh! Me Nik akan mengajarimu menjadi wanita yang cerdas agar kau tidak lagi dibodohi oleh pria. Paham?" "Ya, Tuhan!" bisik Fay sambil menundukkan kepalanya. Sadar jika mulai hari ini kehidupannya akan segera berubah 180 derajat, tetapi ke arah yang lebih baik tentunya. "Ayo, Gek!" tanpa basa-basi Loisa menarik lengan sang keponakan yang tengah termangu, "Selama tiga tahun kau tidak pulang ke Bali, kau pasti belum tahu, 'kan kalau banyak Mall baru yang telah dibangun di kota ini? Walau begitu, Me Nikmu ini masih setia dengan Beachwalk Mall. Tempat di mana semua barang bermerek yang bagus-bagus bisa kau dapatkan di sana. Dari sini, kita hanya perlu melompat, dan boom! Kita sudah berada di tempat itu." Fay hanya bisa menghela napas lelah melihat tingkah sang Bibi yang tampak sangat bersemangat ingin merubah dirinya—bak seorang ibu peri yang ingin mengubah upik abu menjadi cinderella. "Tapi, Me Nik. Baju-bajuku masih bagus dan masih bisa kupakai!" "Buang, Gek! Kau harus buang semua barang yang berasal dari masa lalumu! Buang sial, Gek! Buang sial." Dua jam kemudian, bagasi mobil Loisa telah dipenuhi dengan bungkusan barang-barang bermerek. Dari pakaian dalam hingga sampai tas tangan semua ada. Saking penuhnya, bahkan beberapa bungkusan terpaksa Fay letakkan di kursi bagian belakang mobil Bibinya itu. Sebagian dari barang-barang itu dibelikan oleh sang Bibi untuknya, namun sebagian lainnya—Fay bersikeras untuk membayarnya sendiri. "Mulai besok, kau akan hidup sebagai keponakan Pengacara kondang, Gek. Jadi penampilan itu perlu!" tekan Loisa menasehati, setelah Fay masuk ke dalam mobilnya dan duduk di sampingnya. "Apa itu artinya selama ini Me Nik merasa malu karena memiliki keponakan seperti diriku?" tadinya Fay hanya bermaksud bercanda dengan ucapannya itu, namun justru membuatnya mendapatkan jeweran dari Loisa. "Aargh! Sakit, Me Nik." "Bagus kalau tahu!" oceh Loisa gemas. "Kau itu satu-satunya keluarga yang masih Me Nik miliki dan sudah Me Nik anggap sebagai putri Me Nik sendiri, jadi bagaimana mungkin Me Nik akan merasa malu memiliki putri cantik seperti dirimu!" Fay sontak mengerucutkan bibirnya sambil mengusap telinganya yang terasa pedas akibat jeweran sang Bibi. "Aku tahu, tapi sudah sebesar ini masa masih dijewer?" cicitnya. "Siapa suruh kau asal bicara!" perhatian Loisa sesaat terbagi ketika sebuah mobil menghalanginya untuk keluar dari parkiran Mall. Dengan gusar, ia menurunkan kaca jendelanya kemudian mengeluarkan kepalanya sambil memencet klakson mobil, "Kalau belum bisa menyetir sebaiknya pulang sana! Jangan belagak bawa mobil!" teriaknya pada pengemudi mobil di depannya. Fay menutup sebagian wajahnya gara-gara merasa malu melihat tingkah Bibinya itu. "Ternyata Me Nik masih tidak berubah," cicitnya. "Berubah?" Loisa menarik masuk kepalanya kembali ke dalam mobilnya, lalu melemparkan pandangannya pada sang keponakan. "Berubah jadi apa, Gek? Wonder Woman?" gerutunya seiring ia memutar setir mobil. "Sialan, Bali sekarang sudah tidak seperti dulu, Gek. Sudah bukan lagi tempat yang tenang untuk ditinggali," ujarnya melanjutkan. Fay menatap ke luar jendela mobil, memperhatikan kemacetan yang mengisi ruas jalan yang berada di depan Mall Beachwalk dan Pantai Kuta. "Bagiku tempat ini masih sama, Me Nik. Masih merupakan kampung halaman yang selalu aku rindukan." "Bagus kalau kau berpikir seperti itu," sungut Loisa. Diam-diam, ia melirik sang keponakan, memperhatikan mendung kelabu yang masih mengisi raut wajah Fay saat ini. "Hanya ada satu cara untuk melupakan pria yang telah menyakitimu, Gek." Terkejut, Fay sontak menoleh ke samping. Pada sang Bibi yang terlihat serius menyetir. "Apa maksud, Me Nik?" tanyanya. Loisa menggedikkan bahunya, "You know, untuk melupakan kisah cinta lama, maka kau harus bertemu dengan pria baru. That's it!" "Bertemu pria baru?" tatapan Fay tanpa sengaja jatuh pada jari telunjuk tangan kanannya. Pada cincin pria yang masih melekat di sana. Cincin itu belum sempat ia lepaskan karena terlalu sulit untuk dilepas ketika ia mencoba melepaskannya di kamar mandi hotel, di Jakarta. Dan tentang Mr. L, pria yang wajahnya masih tidak bisa ia ingat hingga sekarang—masih menjadi misteri untuknya. Di saat yang sama, di Jakarta. Di sebuah tempat hiburan ternama, meski saat ini ia tengah ditemani oleh dua wanita penghibur, namun pikiran Lucas sama sekali tidak berada di tempat ini. Dan seberapa banyak pun minuman berkelas yang telah ia tenggak—semua itu masih tidak bisa mengusir suara rintihan Fay dari dalam benaknya. "Sial!" gerutunya, sambil memberi isyarat pada wanita yang menemaninya agar mengisi kembali gelasnya yang telah kosong. Di seberang Lucas—Jerome memperhatikan gerak-gerik atasannya itu yang tidak tampak bahagia. Bahkan raut wajah Lucas terlihat sangat menyeramkan seakan atasannya itu ingin membunuh seseorang. "b******k!" Lucas sekali lagi menenggak habis minuman yang diberikan padanya. Setelah itu, ia pun melemparkan tatapannya yang tajam pada Jerome. "Dengar! Aku akan menghukum wanita itu karena sudah membuatku gelisah seperti ini!" ancamnya. Yang hanya ditanggapi oleh sang Asisten dengan geleng-geleng kepala. 'Kuharap Nyonya Fay adalah seorang wanita yang tangguh,' bisik Jerome dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD