Bab 66

2187 Words
Dewa dan Harmoni saat ini sudah berada di dalam mobil pria bermata safir tersebut. "Sejak kapan mobilmu berada di halaman parkir? sepertinya aku sudah mencari keberadaan mobil ini sedari tadi, tapi tak ada tampak di kedua mataku?" tanya Harmoni menatap ke arah depan dengan tangan yang menggenggam erat sabuk pengamannya. "Apa kau lupa siapa aku?" tanya balik Dewa membuat gadis itu paham, jika pria yang bersamanya saat ini bukankah pria biasa, melainkan pria yang bisa menggunakan sihir. "Kenapa aku selalu lupa, jika kau bukan manusia normal seperti diriku," kesal Harmoni karena dirinya selalu lupa akan identitas Dewa yang sebenarnya. Dewa hanya menanggapinya dengan senyuman kecil sembari kedua tangannya masih sibuk bermain dengan alat kemudi mobil yang saat ini berada dalam kendalinya. "Apa aku sudah cukup, jika dianggap seperti manusia biasa?" tanya Dewa lagi sembari menoleh ke arah Harmoni dan menatap gadis itu dengan raut wajah menunggu akan sebuah jawaban dari mulut Harmoni. "Sangat cukup, wajah tampan, kaya, memiliki pekerjaan yang mapan, dan pastinya semua itu termasuk kriteria ideal para perempuan di bumi yang ingin mendapatkan seorang suami seperti dirimu," jelas Harmoni masih fokus menatap ke arah depan tanpa ingin memalingkan tatapannya ke arah Dewa karena gadis itu tahu, jika Dewa saat ini tengah menatap ke arahnya. Harmoni dapat melihat hal itu dari ekor matanya. "Apa kau juga termasuk dari para perempuan itu?" tanya Dewa yang langsung membuat Harmoni menoleh ke arah pria bermarga Abraham tersebut. "Mana mungkin! aku hanya ... mencari pria yang tulus mencintaiku apa adanya, meskipun dia tak kaya, aku juga tak apa, setidaknya dia setia," jabar Harmoni menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil milik Dewa. "Aku sangat mencintaimu!" Tiga kata itu sukses membuat telinga dan mata Harmoni tak lagi sinkron. Gadis itu langsung menatap ke arah Dewa dengan tatapan penuh akan isyarat sebuah penjelasan pada pria tersebut. "Apa yang kau katakan? apa kau sedang mengigau?" tanya Harmoni yang tak habis pikir dengan ucapan Dewa tadi. "Aku tidak mengigau, itu memang yang aku katakan," jelas Dewa dengan nada suara santainya. Harmoni masih diam menatap ke arah Dewa. Melihat lengan Dewa, gadis itu tanpa pikir panjang langsung mencubit lengan Dewa dan si empunya lengan spontan menjerit. "Aaawwww! apa yang kau lakukan?" protes Dewa yang mengusap bagian lengannya bekas cubitan Harmoni. "Aku hanya ingin memastikan saja, jika apa yang aku dengar itu benar," jelas Harmoni tanpa rasa bersalah pada Dewa. Pria itu hanya menatap Harmoni dengan tatapan tak habis pikir karena begitu tega dan kerasnya gadis itu mencubit dirinya. "Aku memang mahluk abadi, tapi tidak harus dicubit seperti ini juga, dong!" protes Dewa lagi dan lagi. Harmoni hanya menanggapi perkataan Dewa dengan menaikkan kedua bahunya acuh. "Karena aku masih belum yakin saja, mana mungkin kau begitu cepatnya jatuh cinta pada ...." "Mangkanya, lain kali di dengar dulu sampai selesai, jangan main tarik kesimpulan terlebih dulu," oceh Dewa yang terasa ganjal di telinga Harmoni. "Nah, 'kan! dugaanku pasti benar! dia tak mungkin jatuh cinta padaku secepat itu," pikir Harmoni atas ucapan Dewa. "Maksudmu apa?" tanya Harmoni pada Dewa. "Maksudku, bagaimana, jika aku sudah sangat mencintaimu dan aku sudah setia padamu, apa kau akan menerimaku?" tanya Dewa menatap Harmoni. Harmoni hanya menggelengkan kepalanya karena apa yang ia pikirkan benar, pasti tak mungkin pria seperti Dewa suka padanya. "Apa yang kau pikirkan! buang jauh-jauh perasaan seperti itu, tapi setidaknya, ada kenangan indah untukmu dan dia, sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan dunia ini, setelah kristal miliknya sudah kembali padanya," gumam Harmoni dalam hati. "Kau ditolak!" Harmoni langsung menolak Dewa mentah-mentah karena ia saat ini sudah dibuat kesal oleh pria itu. "Kenapa? bukankah aku sudah ...." "Itu jika kau benar-benar ada perasaan padaku, tapi apa? hanya sebuah perumpamaan saja, bukan? jadi jangan banyak bicara, cepat antar aku pulang," sambung Harmoni atas perkataan Dewa. "Dasar gadis pemarah dan cerewet!" "Terserah! bleeeee!" Harmoni menjulurkan lidahnya pada Dewa, sengaja mengejek pria itu yang sudah membuat perasaannya tak menentu. Tiba-tiba suara ponsel Harmoni berbunyi. Gadis itu menggapai ponselku yang berada di dalam tasnya dan saat ia melihat siapa si pemanggil tersebut, arah matanya melirik ke arah Dewa. "Siapa?" tanya Dewa seakan tahu maksud lirikan mata Harmoni. "Jason!" Dewa menepikan mobilnya tepat di pinggir jalan yang cukup sepi namun, masih banyak lalu-lalang orang-orang yang akan berkunjung ke suatu tempat. "Angkat saja!" pinta Dewa dengan suara cukup dingin. Tanpa berpikir panjang, akhirnya gadis itu menuruti semua permintaan Dewa dan mengangkat panggilan dari Jason. "Halo!" "Ada di mana?" tanya Jason dari seberang telepon Harmoni. "Aku sudah dalam perjalanan pulang," jelas Harmoni pada Jason. "Astaga! kenapa kau tak menghubungi aku atau minta antar padaku saja, Momo! bukankah kita sudah menjadi teman dan lebih dekat? jangan seperti itu padaku," racau Jason dengan suara yang cukup terdengar kacau kala pria itu mendengar, jika Harmoni sudah pulang lebih dulu tanpa berpamitan padanya. "Maaf!" Terdengar suara helaan napas dari balik ponsel Harmoni dan gadis itu paham, jika Jason mungkin merasa kecewa padanya saat ini. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Jason ingin memastikan. Harmoni masih melirik ke arah Dewa yang mana pria itu juga masih fokus menatap ke arah depan, meksipun mobil yang ia kendarai tak berjalan. "Aku ... kembali dengan sopirku, kebetulan dia memang aku minta untuk selalu mengikutiku kemanapun aku pergi," elak Harmoni pada Jason. "Syukurlah, jika kau bersamanya, jika terjadi sesuatu, langsung hubungi aku saja, aku juga akan segera kembali dan ingat, Momo! jangan pernah lakukan hal itu lagi, aku sungguh sangat menghawatirkan dirimu," tutur Jason dari balik ponsel Harmoni. "Maaf! lain kali, aku tak akan seperti itu," sesal Harmoni yang merasa bersalah pada pria yang saat ini menjadi rekan kerjanya, sekaligus pria yang sudah cukup dekat dengan dirinya. "Tak apa, aku paham dan ingat! jangan lakukan hal itu lagi," tutur Jason kembali mengingatkan Harmoni. "Ya!" "Baiklah, aku akan segera pulang, sampai jumpa di acara seminar." Jason menutup panggilannya lebih dulu, sementara Harmoni masih memandangi layar ponselnya dengan perasaan bersalah pada pria itu. "Masih ingin di sini atau langsung melanjutkan perjalanan?" tanya Dewa yang tak ingin bertanya lebih lanjut lagi pada Harmoni karena ia sudah mendengar semua pembicaraan Harmoni dan Jason menggunakan sensor indera pendengarannya, meksipun terkesan seperti orang yang sedang menguping, tapi hal tersebut demi kenyamanan bersama, agar Dewa tak perlu bertanya pada Harmoni tentang apa saja yang mereka bicarakan tadi. "Langsung pulang saja, aku sudah lelah!" Dewa tak banyak bertanya lagi, pria itu langsung melanjutkan perjalanan untuk mengantar Harmoni kembali ke rumahnya. Hicob yang masih berada di rumah Harmoni mulai menutup pintu kamar gadis itu secara perlahan karena Mona saat ini sudah tertidur pulas setelah memakan bubur buatannya. "Semoga lekas sembuh," tutur Hicob dengan suara yang cukup pelan. Hicob melihat ke arah jam tangannya. "Sebentar lagi tuan akan pulang," gumam Hicob memperkirakan keberadaan Dewa yang berjarak cukup dekat dengan rumah Harmoni. "Apa Anda tak ingin makan?" tanya kepala pelayan rumah Harmoni. Hicob melihat ke arah pelayan wanita paruh baya tersebut, dengan senyum manisnya, Hicob membalas pertanyaan kepala pelayan tersebut. "Tidak perlu, saya sudah sarapan," tolak Hicob dengan nada suara sangat sopan. Kepala pelayan itu hanya menganggukkan kepalanya, kemudian lekas pergi dari hadapan Hicob. Setelah menunggu cukup lama di ruang tamu dengan layar laptop yang terbuka di hadapannya, Dewa akhirnya datang, sementara Hicob masih fokus mengerjakan tugasnya yang kini sedang ia lakukan di rumah Harmoni sembari menjaga Mona dan menunggu kedatangan bosnya. "Anda sudah datang, Nona!" sambut kepala pelayan rumah itu. "Iya, Mbak! bagaimana dengan Mona? apa dia baik-baik saja?" tanya Harmoni pada kepala pelayan itu karena Harmoni masih belum sadar, jika ada Hicob yang sedari tadi berada di rumah itu merawat Mona. "Sepertinya sudah, Nona!" Harmoni menatap ke arah kepala pelayan rumahnya penuh selidik. "Sepertinya? siapa yang merawatnya?" tanya Harmoni. "Tuan yang berada di sebelah sana yang merawat Nona Mona," tunjuk kepala pelayan itu pada Hicob. Harmoni langsung menoleh ke arah Hicob dan pria berkacamata mata itu hanya tersenyum pada Harmoni sembari menaikkan sedikit kacamatanya yang turun karena terlalu menunduk. "Jadi kau masih di sini? aku kira kau sudah pulang," cicit Harmoni pada Hicob. "Setidaknya saya masih memiliki rasa tanggung jawab pada asisten Anda itu," balas Hicob terhadap cicitan mulut Harmoni. "Kau masih belum ke tempat rapat?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Dewa. "Belum, Tuan! tapi semua bahan sudah saya siapkan di sini," jelas Hicob pada atasannya. Dewa hanya tersenyum simpul melihat kegigihan Hicob yang masih berada di rumah Harmoni, ia tahu, jika asistennya itu nampak terlihat sangat perduli dengan kesehatan Mona. "Kau cukup betah juga berada di sini," sindir Dewa membuat kedua telinga Hicob memerah. Karena merasa salah tingkah, Hicob langsung menutup layar laptopnya dan berdiri. "Jika kita ingin berangkat sekarang, saya sudah siap!" ujar Hicob dengan penuh semangat, agar ia segera keluar dari zona yang cukup membuat ruangan itu mengintimidasi dirinya karena gurauan Dewa. "Sebentar lagi, aku masih ingin beristirahat sebentar, lagi pula, kita masih ada waktu satu jam setengah untuk sampai ke kantor," tolak Dewa halus sembari memastikan jam pada pergelangan tangannya. "Apa kau ingin makan?" tanya Harmoni pada Dewa karena ia tahu, jika pria itu tak makan apapun dari tadi saat ikut bersamanya. "Boleh! tapi aku ingin kau yang memasak," sahut Dewa membuat Harmoni menatapnya dengan tatapan jengah. "Ada pelayan di rumah ini, kenapa harus aku yang memasak?" tanya Harmoni yang masih enggan untuk masak. "Kalau tidak mau aku tak mau ma ...." "Baiklah dan tunggu," sambung Harmoni langsung menggulung rambut panjangnya ke atas sehingga perpotongan lehernya begitu terlihat jelas oleh Dewa. Arah tatapan Dewa langsung menyorot ke arah Hicob. "Jangan berani melihatnya," desis Dewa memperingati asistennya sendiri. Hicob hanya tersenyum kecil melihat sikap Dewa yang mulai menampakkan kecemburuannya terhadap Harmoni. "Saya tak melihat apapun, Tuan tenang saja, semua yang ada pada diri, Nona ... eh, salah! pada diri calon permaisuri kerajaan Amoora, pasti hanya untuk Anda seorang," ledek Hicob langsung menghilang dari tempat itu dan kebetulan hanya ada Dewa di sana tak ada orang lain lagi selain dirinya. "Dasar bocah menyebalkan," umpat Dewa langsung menyusul Harmoni ke arah dapur untuk melakukan pembedahan pada gadis itu, agar tak sembarang memperlihatkan bagian lehernya pada orang lain. Saat berada di dapur, kedua tangan Harmoni sudah penuh dengan tepung karena ia ingin membuat mie sendiri dan saat ini, gadis itu tengah dalam proses mengulen adonan. Suara ponsel pada saku apron yang ia kenakan terdengar. Harmoni menundukkan kepalanya bingung, bagaimana ia harus mengangkat panggilan tersebut. Sebuah tangan langsung masuk ke dalam saku apron Harmoni dan memperlihatkan siapa pemanggil tersebut. "Papa!" gumam Harmoni yang langsung menoleh ke arah si empunya tangan yang tak lain adalah Dewa. "Untuk apa kau di sini?" tanya Harmoni pada Dewa. "Angkat dulu panggilan dari ayahmu," ujar Dewa yang tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Harmoni padanya. Dewa langsung menggulir tombol hijau pada layar ponsel Harmoni. "Halo!" sapa Harmoni sembari melanjutkan pekerjaannya. Dewa paham akan sesuatu, segera menaikkan volume pada ponsel Harmoni, sehingga suara ayah Harmoni sangat jelas terdengar di telinga keduanya. "Apa kau sedang sibuk?" tanya Jordan di seberang ponsel putrinya. "Tidak, Pa! ada apa?" tanya Harmoni pada sang ayah. "Papa hanya ingin mengingatkan lagi, jangan lupa ajak kekasihmu ke acara anniversary pernikahan papa dan Mama Minggu depan." Kedua tangan Harmoni langsung menghentikan semua kegiatan yang dilakukannya karena ucapan sang ayah dapat di dengar oleh Dewa. "Apakah kita bisa membicarakan hal itu nanti saja karena aku saat ini sedang ...." "Tidak bisa! bukankah kau baru saja mengatakan, jika kau tak sibuk, Sayang!" Kedua mata Harmoni terpejam karena ia tak memperkirakan apa yang sekiranya akan ayahnya itu bicarakan dengannya. "Tapi, Pa ...." "Bagaimana? datang atau tidak? papa ingin tahu seperti apa calonmu itu." Dewa semakin mendekatkan bibirnya pada telinga Harmoni. "Aku bersedia datang," bisik pria itu membuat wajah Harmoni semakin malu. "Dia akan datang dan aku harus segera melanjutkan pekerjaanku, sampai bertemu Minggu depan ya, Pa!" Dewa yang paham segera mematikan ponsel Harmoni dan mulai membalikkan tubuh Harmoni, serta mendudukkannya di atas meja kabinet bawah dapur. Baru kali ini Dewa merasa hatinya campur aduk, antara penasaran, dan bahagia. Benarkah dirinya yang dimaksud kekasih oleh ayah dari perempuan yang saat ini berada sangat dekat dengannya. "Apa aku boleh tahu siapa yang kau sebut kekasihmu itu?" tanya Dewa meletakkan kedua tangannya di atas meja kabinet, mengurung tubuh Harmoni dalam jangkauannya. Harmoni tak menjawab, gadis itu hanya diam menundukkan kepalanya tak mau melihat ke arah Dewa. Karena sangat penasaran, Dewa akhirnya kembali membuka suara kembali. "Apa dia adalah, Jason?" tanya Dewa yang mulai berpikir negatif terhadap Harmoni. Saat nama Jason di sebut, Harmoni langsung mengangkat kepalanya menatap ke arah Dewa. Senyum kecil terkesan memilukan terpancar dari bibir Dewa. "Selamat!" Pria itu hendak menjauhkan tubuhnya dari Harmoni namun, kedua tangan gadis itu yang dipenuhi dengan tepung menahan kedua tangan Dewa yang mengurung tubuhnya. "Bukan dia, tapi ... dirimu," jelas Harmoni pada Dewa. Jantung pria itu ingin sekali melompat keluar saat dirinya mendengar penuturan secara langsung dari mulut Harmoni. "Benarkah?" tanya Dewa yang masih belum percaya dengan semuanya ucapan Harmoni. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Dewa padanya. Arah tatapan mata Dewa dah Harmoni masih menjadi satu. Senyum tampan nan legit terukir dari bibir Dewa. Dengan gerakan cepat, tapi pasti, Dewa mendaratkan bibirnya pada kening Harmoni cukup lama dan penuh kasih sayang. Cupppp Kedua kelopak mata Harmoni terpejam menikmati sentuhan benda dingin dan kenyal milik Dewa. "Setidaknya kau sudah menjadi milikku di hadapan kedua orangtuamu," gumam Dewa dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD