Bab 46

2041 Words
Semua belanjaan Harmoni diletakkan di tempat yang tak terlihat oleh anak-anak panti karena kebetulan, saat ini anak-anak masih berada di dalam kamar mereka untuk mengerjakan tugas sekolah. "Apa anak-anak masih lama?" tanya Harmoni pada Bunda Eva yang duduk di kursi tamu bersama dengan yang lain. "Sebentar lagi sudah selesai dan apa kau tahu? Natali sedari tadi bertanya tentang Nak Dewa dan Hicob," jelas Bunda Eva tersenyum pada kedua pria tampan itu. "Kami masih ada urusan lain jadi, datang kemari terlalu malam, tapi semua persiapan untuk hari bahagia Natali sudah tersedia," jelas Hicob yang memang merupakan lelaki kesayangan Natali si gadis cantik yang ditinggal oleh kedua orangtuanya karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. "Bunda!" Suara teriakan seorang gadis kecil terdengar dari dalam kamar khusus anak perempuan. Semuanya menoleh ke arah kamar itu dan saling beradu pandang satu sama lain. "Apa itu suara Natali?" tanya Dewa pada Bunda Eva. "Sepertinya iya," sahut Bunda Eva pada Dewa. Hicob segera mengambil kotak kue tart yang sudah berada di atas meja dan memasang lilin angka 10 di atasnya dengan setangkai bunga mawar putih yang tadi ia beli. Dewa berjalan ke arah saklar lampu ruangan itu dan mematikan lampu tersebut, agar anak-anak tidak tahu, kejutan apa yang akan mereka dapatkan. Dewa sebenarnya bisa saja melakukan semuanya dengan cara instan namun, ini masih dalam lingkup orang bumi yang tak tahu kekuatannya, kecuali Harmoni. "Bunda!" Suara teriakan anak gadis itu kembali terdengar namun, kali ini lebih jelas dari sebelumnya karena terdengar suara pintu kamar terbuka, menandakan, jika anak-anak panti sudah keluar dari kamar mereka. Kebetulan di ruang tamu cuaca sangat minim masuk jadi, semua orang yang berada di sana tak terlihat. Berbeda dengan para anak-anak yang berada tepat di tempat cahaya rembulan yang masuk dari luar, membuat siluet anak-anak itu begitu jelas terlihat. Seorang gadis dengan rambut dikepang dua berada di barisan paling depan. Gadis itu memimpin barisan untuk menjadi pemandu bagi anak-anak lainnya. "Bunda!" Gadis dengan rambut di kepang dua itu lagi-lagi memanggil nama ibu asuhnya dengan tangan yang masih meraba takut terbentur sesuatu. "Bunda kemana ya? apa lampu di rumah ini rusak atau memang sedang mati lampu?" gumam gadis bernama Natalia namun, biasa dipanggil Natali oleh Dewa dan Hicob. "Mungkin mati lampu, Kak!" timpal suara anak perempuan lainnya yang berada di belakang Natalia. Saat posisi mereka sudah sampai di hadapan meja ruang tamu tiba-tiba lampu menyala dengan menampilkan seorang pria yang membawa sekotak kue di tangannya dengan dua buah lilin angka 1 dan nol. Natalia dan anak-anak lainnya terkejut bukan main. "Kak Hicob!" teriak semua anak-anak itu. "Selamat ulang tahun, Natali!" Hicob tersenyum manis pada malaikat kecilnya dengan lutut yang perlahan sudah menyentuh bagian lantai ruangan itu. "Tiup lilinnya, tapi sebelum itu, sebutkan keinginanmu," pinta Hicob dan gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua itu menganggukkan kepala sembari tersenyum pada Hicob. Dua tangan mungil nan halus itu ditangkup menjadi satu dengan kedua kelopak mata yang terpejam sembari mengucapkan keinginannya dalam hati. Suasana menjadi hening dengan arah tatapan para pasang mata tertuju pada Natali si gadis cantik. Harmoni teringat dengan dirinya saat ia kecil, ia selalu diberikan kejutan ulang tahun di setiap pertambahan umurnya oleh kedua orangtuanya, tapi anak-anak di sini, justru kebalikan dari dirinya. Latar belakang mereka semua pasti berbeda dan hal itu membuat Harmoni nampak tak bersyukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan padanya. Harmoni kini sadar, jika semua kehidupan yang pernah ia lewati sebelum adalah bagian ternikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Mona tak hentinya menatap ke arah semua anak-anak itu dan Hicob secara bergantian. Mona tak menyangka, jika pria seperti Hicob dan Dewa bisa dekat dengan anak-anak kecil seperti mereka yang notabennya masih polos dan pasti murni. "Ternyata wajah dingin seseorang tak menjamin, jika kepribadian orang itu juga sama dinginnya dengan rupanya," pikir Mona dalam hati. Dewa perlahan berjalan ke arah Natalia dan duduk dengan posisi bersila di hadapan gadis itu. Setelah semua keinginan Natalia diucapkan, akhirnya kedua kelopak mata gadis kecil tersebut terbuka secara perlahan. "Tiup lilinnya," pinta Dewa yang baru muncul di hadapan Natali. "Kak Dewa!" sebut gadis kecil tersebut. Dewa tersenyum manis pada Natalia dan anak gadis itu langsung meniup lilin angka tersebut sekali tiupan. "Selamat ulang tahun, Bidadari kecil," ucap Dewa sembari merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Natalia dan gadis kecil itu langsung masuk ke dalam pelukan Dewa. Tepuk tangan dari semua penghuni panti tersebut dan para pengunjung baru menggema menjadi satu. Kepala Natalia mundur sedikit untuk melihat wajah tampan Kakak Dewanya. "Terima kasih ya, Kak! berkat Kakak dan Kak Hicob, aku tak merasa sendiri lagi, meskipun kedua ... orangtuaku tak bisa melihat setiap pertambahan umurku di setiap tahunnya, setidaknya masih ada yang perduli terhadapku dan teman-teman lainnya," tutur Natalia dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Dengan sigap, tangan Dewa mengusap air mata yang masih belum sempat jatuh itu. "Kau tak boleh merasa sendiri karena Bunda Eva dan anak-anak lainnya akan selalu bersamamu selamanya," jelas Dewa menghibur Natalia. Gadis kecil itu mengangukkan kepalanya dengan senyum manis yang ia haturkan pada Dewa. Pangeran planet Amoora itu, kembali memeluk Natalia penuh kasih sayang. Harmoni yang melihat kejadian tersebut secara langsung masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria yang terkenal dingin dan kakunya minta ampun, bisa selembut itu pada anak gadis. "Apa aku masih belum mengenalmu dengan baik?" tanya Harmoni dalam hatinya. Hicob mendekat ke arah Natalia dengan alat pemotong kue yang sudah ada di kotak kue tart tersebut. "Silahkan dipotong kuenya, Tuan Putri!" Natalia yang awalnya memeluk erat Dewa, akhirnya melepaskan pelukan pangeran planet Amoora tersebut dan beralih menatap ke arah Hicob dengan senyum manis. "Terima kasih, Kak!" Dengan sigap, Natalia langsung memotong kue tersebut dan memberikan potongan pertama pada Bunda Eva yang senantiasa duduk di sofa memandangi wajah gembira Natalia sedari tadi. "Ini untuk Bunda karena Bunda yang selalu ada untuk kami dan Bunda adalah ibu kami," tutur Natalia membuat semua hati para perempuan muda seperti Mona dan Harmoni terenyuh mendengar ucapan anak kecil tersebut. "Terima kasih, Nak!" tutur Bunda Eva sembari mencium kening Natalia lembut. Natalia dengan lembut menyuapi Bunda Eva dengan kue pertama yang baru ia potong. "Bagianku mana?" tanya Hicob pura-pura merajuk pada Natalia. Gadis kecil itu menoleh ke arah Hicob sembari berkata, "Kakak tak perlu cemas, saat aku besar nanti, suapan pertama akan aku berikan pada kakak dan kakak harus menjadikan aku istri kakak," tutur Natalia si gadis polos. Mona dan Harmoni yang mendengar hal tersebut keluar dari mulut seorang bocah langsung tertawa kecil. Tak terkecuali dengan Bunda Eva yang hanya bisa geleng-geleng kepala karena mendengar penuturan Natalia. "Baiklah! akan kakak tunggu dan sekarang, Kakak punya sesuatu untukmu," jelas Hicob mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya. Setangkai mawar putih yang sangat indah sudah terbungkus begitu rapi. "Ini untuk calon istri kecilku," tutur Hicob pada Natali dan gadis kecil itu langsung berlari ke arah asisten pribadi Dewa tersebut dan memeluk Hicob cukup erat. "Terima kasih, Kak!" "Sama-sama, Cantik!" Harmoni yang sedari tadi takjub dengan kelembutan para manusia dari planet lain itu, seketika teringat dengan sesuatu dan ia langsung memberikan instruksi pada Mona, agar membantunya mengambil semua makanan yang tadi sudah ia beli. "Taraaaaaaaaa!" teriak Harmoni tepat di hadapan para anak-anak panti. "Ada hadiah kecil untuk kalian semua sebagai perayaan dan salam kenal Kakak pada kalian semua," jelas Harmoni pada semua anak-anak itu. Tak ada yang menjawab sapaan Harmoni namun, gadis itu tahu, jika mereka semua pasti butuh beradaptasi dengan dirinya yang masih masuk kategori orang baru. "Nama Kakak adalah Harmoni, kalian bebas memanggil kakak dengan sebutan apapun, mau itu Kak Harmoni, kak Moni, atau ...." "Asal jangan Kak Momo," timpal Dewa membuat Harmoni menolehkan kepalanya pada pria itu. "Kenapa? apa kau ada masalah dengan nama itu?" tanya Harmoni pada Dewa dengan tatapan sinis. "Aku yang tak suka dengan panggilan itu, menurutku terlalu menjengkelkan," jujur Dewa membuat Harmoni memutar bola matanya jengah. Semua kejadian tadi tak luput dari perhatian Bunda Eva. "Apa kalian sedang bertengkar? tidak baik bertengkar terlalu lama, hubungan kalian akan semakin renggang, jadilah orang yang mengalah untuk menjaga hubungan kalian," jelas Bunda Eva yang menganggap hubungan keduanya lebih dari sekedar teman biasa. Anak kecil laki-laki yang berusia sekitar 8 tahun berjalan ke arah Harmoni dan menggenggam telapak tangan CEO cantik tersebut. "Apa boleh kami semua memanggil Kakak dengan sebutan kakak cantik?" tanya anak laki-laki itu. Harmoni yang awalnya menatap kesal ke arah Dewa, langsung berbalik ke arah anak lelaki tersebut dan mengubah raut wajahnya. "Tentu saja boleh, Sayang!" setuju Harmoni atas panggilan yang menurutnya cukup tepat baginya. "Kemarilah! apa kau tak ingin memeluk kakak cantik ini?" tanya Harmoni pada anak lelaki itu. "Apa teman-teman yang lain boleh melakukan itu juga?" tanya anak itu lagi. "Tentu saja! kemarilah!" Semua anak-anak panti langsung berhambur ke arah Harmoni, memeluk CEO cantik tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menjadi Kakak cantik kami," ucap semua anak-anak itu secara bersamaan. Harmoni hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum karena rasa bahagia yang melingkupi hatinya saat ini melebihi saat ia mendapatkan banyak kerjasama dengan para kliennya. "Sekarang waktunya kita makan semua makanan ini," pinta Dewa yang sudah mengeluarkan semua kantong kresek berisi makanan ringan untuk anak-anak tersebut. Tanpa rasa sungkan lagi, akhirnya semua anak-anak mulai berebut makanan itu dan memakannya dengan sangat antusias. Harmoni melihat semua itu sungguh bahagia karena setidaknya, sebagian uang dari hasil kerja kerasnya selama ini bisa membuat anak-anak ini bahagia dan tercukupi. Di dalam sebuah ruangan yang cukup gelap dan minim penerangan, seorang pria paruh baya sedang memperhatikan dunia luar yang cukup dekat dengan alam bebas. "Kau masih bisa bersama dengannya sekarang, kau tunggu saja, suatu hari nanti, aku pasti bisa melenyapkan gadis itu karena dia sekarang sudah menjadi ancaman bagiku untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku," gumam pria itu masih menatap datar ranting-ranting pohon yang sudah basah terkena tetesan hujan. "Ayah!" Panggil seorang pria muda yang tak lain adalah Damian. "Ada apa?" tanya sang ayah. "Aku sudah menyusun rencanaku saat acara pertemuan di kampus milik Dewa," jelas Damian pada sang ayah. "Apa kau yakin akan berhasil membuat gadis itu lenyap?" tanya Dalgon sang ayah yang tak lain paman dari Dewa. "Aku yakin ayah, selama Dewa dan Hicob tak mengetahui rencana ini," tutur Damian lagi. Senyum sinis di bibir Dalgon seketika bangkit dibarengi dengan tubuh pria paruh baya itu yang juga ikut bangkit dari kursi tempat duduknya. Dalgon menatap ke arah sang putra dengan lensa mata yang berubah menjadi merah seperti kobaran api. "Apa kau begitu meremehkan bocah itu? apa kau tak belajar dari kesalahan? dia sudah tahu, jika kau berada di sini dan pastinya Hicob sudah mengetahui keberadaanku juga dan untuk gadis itu, dia bukan gadis biasa, Damian! jangan selalu meremehkan manusia yang sudah menyatu dengan kristal biru kerajaan karena gadis itu bisa jadi adalah gadis pilihan dari langit untuk menjadi pendamping Dewa," jelas Dalgon pada putranya, agar Damian bisa lebih hati-hati lagi. "Memangnya kenapa, jika dia gadis pilihan langit? bukankah dia hanya manusia biasa seperti pada umumnya, jika kristal itu sudah tak ada padanya, kekuatannya juga akan musnah," celoteh Damian pada sang ayah. Senyum mengerikan Dalgon seketika bangkit. "Apa kau sebodoh itu! separuh kekuatan kristal itu sudah menyatu dengan Harmoni dan gadis itu harus mati, agar kristal tersebut bisa aku dapatkan," murka Dalgon pada putranya. "Tapi ayah, bukankah ...." "Diam! kau masih berani membantah diriku? gadis itu harus mati karena menurut kitab yang sudah aku sobek pada bagian penting di kitab kerajaan, Harmoni adalah calon ratu yang akan datang karena kristal milik Dewa sudah berada padanya jadi, dia harus musnah dari bumi ini," ultimatum Dalgon. "Bagaimana, jika dia tak bisa kita musnahkan?" tanya Damian yang tanpa ia sadari sudah memancing emosi sang ayah semakin berkobar. "Perang adalah jalan satu-satunya, agar semua yang menjadi hakku bisa kembali ke tanganku," ujar Dalgon dengan telapak tangan yang sudah terkepal seakan ia menggenggam sesuatu. "Apa ayah yakin dengan jalan akhir itu?" tanya Damian pada sang ayah. "Tentu saja, Nak! karena aku sudah memikirkan dan merencanakan hal ini dari puluhan tahun lamanya dan apa kau tahu sudah berapa iblis yang sudah aku dapatkan untuk bersekutu dengan kita?" tanya balik Dalgon pada putranya. Damian hanya menggelengkan kepalanya pertanda, jika ia tak tahu mengenai berapa jumlah iblis yang sudah ayahnya taklukkan. "Satu ... dan itu raja iblis, hahahaha!" Suara tawa terdengar menggelegar di segala penjuru rumah tersebut. Jika raja iblis sudah dapat ditaklukkan oleh Dalgon, secara otomatis, semua anak buah iblis itu sudah menjadi bagian dari sekutunya untuk melawan Dewa dan keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD