Bab 33

2323 Words
Setelah selesai mengusap sudut bibir Harmoni, Dewa segera melepaskan sentuhan jemarinya tersebut. "Apa aku terlalu lancang?" tanya Dewa yang sedikit merasa tak enak hati pada Harmoni. Gadis itu masih diam menatap ke arah Dewa dengan tatapan tak dapat diprediksi oleh Dewa. "Maaf," ujar Dewa yang sudah dapat menebak, jika Harmoni mungkin merasa tak nyaman dengan perlakuannya. Dewa langsung mengambil dua piring dan meletakkannya nasi goreng ke atas piring-piring tersebut tanpa ingin melihat ke arah Harmoni. Senggolan kecil terasa di lengan Dewa. "Marah, ya?" tanya Harmoni dengan nada mengejek. "Tidak!" "Mengaku saja, buktinya cuek begitu menanggapi pertanyaanku," serang Harmoni lagi yang tak ingin mengalah dari Dewa. "Memang tidak, kok!" kukuh Dewa yang juga tak mau mengalah dari Harmoni. Harmoni dengan cekatan segera melepaskan ikatan apron pada pinggang Dewa dan melepaskan apron tersebut namun, beruntungnya tak ada penolakan dari pria itu. "Aku tidak marah padamu," jelas Harmoni pada Dewa yang juga melepaskan apron miliknya setelah ia selesai menggantung apron milik Dewa. "Apa kau yakin? sepertinya raut wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya," terka Dewa sembari memberikan garnish pada nasi goreng buatannya seperti olahan acar, tomat segar, dan mentimun segala, serta makanan khas Indonesia yaitu, kerupuk. "Yakinlah! apa kau ingin bukti?" tanya Harmoni menantang Dewa. "Boleh!" sahut pria itu dengan nada sangat santai dengan kedua tangan yang sudah membawa masing-masing satu piring nasi goreng ke arah meja bar. Harmoni langsung mengejar Dewa ke arah meja bar. "Bukti apa yang kau butuhkan?" tanya Harmoni penuh antusias, agar pria itu tak marah padanya. Sebenarnya sikap mereka berdua saat ini seperti dua orang yang tengah berpacaran namun, mereka berdua masih belum sadar akan perasaan masing-masing, keduanya masih mencoba terus menampik perasaan itu dan hanya menganggap perasaan tersebut bagian dari kristal yang ada pada diri Harmoni, serta hanya sebuah rasa pertemanan biasa saja. Dewa menoleh ke arah Harmoni yang tepat berada di sampingnya. Pria itu melihat ada pancaran kesungguhannya dalam diri Harmoni. Dewa tersenyum kecil sembari mengusap lembut puncak kepala Harmoni. "Makan nasi goreng ini sampai habis dan ambilkan aku jus jeruk yang berada di lemari pendingin," pinta Dewa dan dengan gerakan bagai petugas pengibar bendera, Harmoni langsung memberikan hormat pada Dewa dan segera berlari kecil ke arah lemari pendingin mengambil minuman yang dipunya oleh Dewa. Pria Alien itu hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku Harmoni yang seperti anak kecil. "Apa sifat aslinya memang seperti ini? seperti anak kecil yang suka dimanja oleh orangtuanya," pikir Dewa dalam hati. Di meja bar sudah ada dua piring nasi goreng dengan masing-masing di setiap piring terdapat satu garpu dan sendok yang sudah tertata rapi. Satu botol jus jeruk berukuran cukup besar dan dua gelas kosong yang sudah berdiri tegak menunggu disisi oleh minuman berwarna orange tersebut. Harmoni mengambil sendok dan garpu yang berada di atas piringnya dan mengacungkan kedua alat makan tersebut ke udara dengan penuh semangat. "Mari makan!" Tanpa menunggu jawaban dari Dewa, gadis itu lebih dulu melahap nasi goreng tersebut dengan penuh semangat. Dewa hanya tercengang melihat kelakuan Harmoni. "Apa benar dia Harmoni yang aku kenal? apa dia memiliki kepribadian ganda? ini sama sekali bukan sifatnya, dia gadis dingin, cuek, dan galak, bukan gadis periang seperti sekarang ini," cicit Dewa dalam hati yang merasa aneh dengan sifat Harmoni akhir-akhir ini, setelah keduanya memutuskan untuk berteman. Sebenarnya sifat asli gadis itu memang sangat manja, sifat itu ia perlihatkan pada keluarga yang sangat dekat padanya. Jika pada orang lain, Harmoni enggan menunjukkan hal tersebut karena ia tak ingin sisi lembutnya diketahui oleh banyak orang, ia berpikir hal tersebut bisa menjadi kelemahannya suatu saat nanti dan dapat berujung masalah, jika para musuhnya tahu mengenai masalah itu. Harmoni sudah bisa bersikap seperti itu pada Dewa, itu artinya, gadis tersebut sudah menganggap Dewa orang terdekatnya, bahkan gadis itu belum sadar, jika hatinya juga ikut berinteraksi. Dewa yang sudah begitu lama memperhatikan Harmoni makan dengan lahapnya, akhirnya pria itu juga ikut melahap makanan yang berada di hadapannya. Di sebuah rumah megah namun, kosong, duduk seorang pria dengan tinggi yang melebihi ukuran manusia bumi tengah menatap ke arah hutan yang berada di pinggir rumahnya. Pria itu terlihat sudah sedikit berumur namun, masih tetap terlihat tampan dengan jubah kerajaan yang ia pakai dengan motif keemasan. "Bagaimana? sudah beres?" tanya pria misterius tersebut. "Belum, Ayah! aku hanya ingin melihat kemampuannya lebih dulu, apakah dia masih memiliki kemampuan dan ternyata kemampuannya meningkat, mungkin dia masih tetap berlatih di planet ini," tutur pria berwajah lebih muda dengan topeng yang masih berada di wajahnya. "Jangan terlalu memakan waktu, aku tak ingin dia bisa memiliki kristal itu, karena akan sangat berbahaya, jika dia bisa kembali menyatu dengan kristalnya," jelas pria berjubah keemasan tersebut. "Aku tahu, Ayah!" Pria berjubah keemasan tersebut hanya tersenyum mendengar jawaban dari pria yang lebih muda darinya yang tak lain adalah sang putra bernama Damian Abraham. "Jangan hanya kata tahu yang kau ucapkan, bukankah tanaman roh itu tak bisa melenyapkan gadis cantik tersebut? apa kau tak bisa berpikir lebih jauh setelah hal itu terjadi? itu sudah cukup membuktikan, jika gadis itu sudah sangat menyatu dengan kristal biru tersebut dan itu sangat berbahaya bagi kita, semua rencana yang sudah kita susun dan semua hal yang sudah kita lakukan untuk menjauhkan Dewa dan kristalnya berujung sia-sia dan aku tak suka hal itu," jelas pria berumur tersebut dengan nada suara mengisyaratkan akan kemarahan. "Aku akan lebih berusaha lagi, Ayah!" tutur pria tersebut. "Bagus! aku akan memegang janjimu," sahut pria bernama Dalgon Abraham. Dalgon mengambil secangkir teh yang berada di sampingnya dan menyeruput teh tersebut. "Apa kau sudah mencari rekan baru untuk membuat gadis itu habis?" tanya Dalgon pada Damian sang putra. "Sudah, Ayah! dia sepertinya bisa kita andalkan kali ini karena dia cukup tahu tentang gadis pemilik kristal biru tersebut. "Apa kau yakin? alasan apa yang dia miliki sampai kau seyakin itu padanya?" tanya Dalgon pada sang putra. "Dendam masa lalu yang belum ia balas pada Harmoni," tutur Damian pada sang ayah. Senyum pada bibir Dalgon begitu terlihat. "Jadi nama gadis itu Harmoni? apa parasnya juga secantik namanya?" tanya Dalgon ingin memastikan. "Sangat cantik untuk ukuran manusia biasa," sahut Damian lagi. "Jangan sampai anak ingusan itu jatuh hati padanya," gumam Dalgon yang masih dapat didengar oleh sang putra. "Memangnya kenapa, jika hal itu terjadi?" tanya Damian penasaran. "Bahaya besar akan terjadi," jelas sang ayah pada Damian. "Itu tidak mungkin terjadi, Ayah! dia hanya manusia biasa," sangkal Damian membuat arah tatapan mematikan dari Dalgon menyorot pada putranya. "Apa kau tak yakin terhadap ucapanku? aku ini lebih tahu dari dirimu, ini akan sangat berbahaya karena sepertinya gadis itu sudah sangat menyatu dengan kristal milik Dewa dan hal itu sudah dapat dipastikan jika gadis tersebut ...." Tok tok tok Dalgon menghentikan ucapannya setelah suara ketukan pintu pada pintu kamarnya terdengar. Dengan gerakan kilat, Damian membuka pintu kamar tersebut dan ternyata itu seorang pelayan perempuan dan pelayan itu manusia biasa yang masih tak tahu indentitas asli tuan mereka. "Makanan Anda sudah siap, Tuan besar!" "Aku akan turun ke bawah," sahut Dalgon dan dengan cepat, pelayan wanita tersebut mengundurkan diri dari hadapan Damian dan Dalgon. Setelah pintu tertutup, Damian kembali melihat ke arah sang ayah. "Ayah masih memiliki hutang penjelasan yang belum selesai padaku," ingatkan Damian pada sang ayah. "Tentu dan mari kita makan," ajak Dalgon langsung berdiri dari kursi santainya, kemudian keduanya bergerak menuju arah pintu keluar kamar tersebut. Di kediaman keluarga besar Sudarmanto, Rose yang tak lain ibu dari Harmoni hanya bisa mondar-mandir bagai setrika listrik yang tak menemukan kata rapi pada pakaian yang ia setrika. "Sudahlah, Ma! jangan terlalu dipikirkan! dia itu bukan anak-anak yang berumur 5 tahun, dia sudah dewasa dan memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya," ujar Jordan pada sang istri. Tatapan sengit bagai macan betina seorang Rose langsung menyorot kedua mata Jordan tajam. "Kau memang sangat mudah berkata seperti itu! apa kau tahu bagaimana rasanya mengandung dia selama sembilan bulan berada di dalam perutku ini? karena kau tak tahu rasanya, jadi tak heran, jika kau berkata semudah itu, kau tak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh putri kita dan apa kau tau, dia anak kita satu-satunya dan anak perempuan satu-satunya dari keluarga Sudarmanto jadi, jangan terlalu acuh padanya, hanya karena dia tak mau memilih menjadi seorang yang sama seperti dirimu," celoteh Rose yang sudah muak dengan sikap suaminya itu. "Bukan itu yang aku maksud, Ma! tapi ...." "Tapi apa lagi? kau memang selalu membiarkan dia dalam kesusahan sejak dia ingin membangun perusahaannya sendiri dan apa kau juga masih belum sadar, siapa biang keladi dari semua kesialan yang menimpa putrimu? coba kau pikir lebih dalam lagi, ayahnya sendiri yang menjadi biang kesialannya selama ini, hingga ia harus hidup menjadi gadis yang kuat tanpa bantuan siapapun," lontar Rose kembali mengingatkan suaminya, agar Jordan tak bersikap sekejam itu pada Harmoni. Rose tersenyum kecut saat ia kembali mengingat hidup putrinya beberapa tahun belakangan ini. "Saharusnya kau menolongnya dari belakang, meskipun kau tak ingin membantunya dan tak ingin melakukannya, tapi pandanglah dia sebagai anakmu satu-satunya, jangan biarkan orang-orang tak bertanggung itu merenggut nyawanya, nasib putri kita selalu berada di ujung tanduk dan pastinya selalu dekat dengan kematian, apa kau masih ingin melihatnya tergeletak tak berdaya tanpa nyawa?" tanya Rose cukup meninggikan volume suaranya karena ia sudah tak dapat menahan lebih lama lagi gejolak yang selama ini ia pendam. "Cukup! aku juga tak ingin melakukan hal ini padanya! apa kau tahu? aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan, tapi apa kau pernah merasa bagaimana saat kau dihadapkan pada aturan keluarga? kau tak pernah merasakan, 'kan?" tanya Jordan dengan emosi yang mulai menguasai dirinya. "Apa hal seperti itu masih berlaku, jika putrimu mati di tangan orang lain atas kesalahan yang kau buat!" teriak balik Rose pada sang suami, agar pria setengah abad itu paham maksudnya selama ini bungkam dengan kejadian yang menimpa Harmoni. Tak ada jawaban dari mulut Jordan saat sang istri melontarkan pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh pengacara kondang tersebut. Rose kembali tersenyum kecut melihat ekspresi suaminya yang nampak tak berdaya menjawab pertanyaan dari dirinya. "Kenapa diam? apa kau masih ingin mempertahankan aturan keluargamu? mengorbankan nyawa anakmu yang paling kau sayangi? setidaknya kau bantu dia, meskipun hanya melindunginya dari jauh, jangan hanya diam menyaksikan semua kesalahan yang kau buat dan dilampiaskan pada putrimu," cecar Rose kembali membuat Jordan seketika duduk di kursi dan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri. Ayah dari Harmoni itu perlahan membuka kacamata yang bertengger pada kedua matanya. Jordan terlihat begitu penuh beban saat ini karena baru kali ini sang istri melontarkan semua isi hatinya. Rose melihat keadaan suaminya yang seperti itu sebenarnya merasa bersalah namun, ia harus menguatkan hatinya karena ini jalan satu-satunya, agar putri semata wayangnya selamat dari kematian yang pastinya setiap saat mengancam nyawa Harmoni. Rose perlahan menghela napas, kemudian ia berjalan ke arah sang suami yang masih terduduk meresapi setiap perkataan yang dilontarkan oleh istrinya. "Maafkan aku," tutur Rose pada Jordan, di mana perempuan tengah abad itu sudah duduk disamping suaminya. Jordan perlahan melihat ke arah sang istri dan mengusap punggung Rose penuh kelembutan. "Maafkan aku," tutur Jordan dengan mata yang mulai berbinar menahan air mata yang pastinya akan meluncur bebas, jika tak ia tahan. Rose masih diam menyaksikan penyesalan sang suami yang baru pertama kali ia lihat. Pasalnya, selama kepergian Harmoni, Jordan memang seorang yang memiliki kepribadian yang kuat, tahan banting jadi, ayah dari Harmoni itu, bisa menahan segala perasaan yang menimpanya. "Seharusnya aku tak bersikap seperti itu padanya, seharusnya aku tak hanya memikirkan tradisi keluargaku, seharusnya ...." Suara Jordan tercekat kala tangan sang istri mengusap lembut telapak tangannya sembari berkata, "Penyesalan memang tak akan datang di awal, sebuah kejadian yang akan menyadarkan seseorang tentang sebuah penyesalan namun, beruntungnya kau saat ini sudah sadar akan kesalahannya dan lakukan apa yang kau bisa, lindungi putri kita secara diam-diam, jangan sampai keluarga besarmu tahu mengenai hal ini karena aku yakin, mereka semua akan menyerangmu, ditambah lagi, dia anak yang spesial sejak lahir, jadi jagalah dia, jangan sia-siakan pemberian Tuhan yang sudah kau terima," jelas Rose mengingatkan suaminya. Air mata Jordan sudah tak dapat ia tampung lagi, air mata itu akhirnya luruh begitu saja tanpa ada yang bisa menghambatnya lagi. Jordan langsung memeluk istrinya erat-erat. "Maafkan aku! aku penyebab putri kita menjadi seperti ini, seharusnya aku sadar lebih dulu, sebelum kau sampai berkata seperti ini padaku," sesal Jordan pada sang istri. Rose mengusap lembut punggung suaminya. "Setidaknya kau tak terlambat untuk sadar dan mari kita awasi Harmoni, jangan sampai terjadi apa-apa padanya," tutur Rose menenangkan suaminya. Di dalam ruangannya, Mona masih sibuk dengan berkas yang belum terselesaikan. Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi dan Mona langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa ingin melihat siapa si pemanggil tersebut. "Halo! selamat sore!" "Selamat sore! ini saya Hicob asisten pribadi, Tuan Dewa!" Mona seketika langsung terkesiap mendengar nama Hicob. "Ada apa Anda menghubungi saya?" tanya Mona melihat ke arah ponselnya memastikan, jika dirinya saat ini tak bermimpi dan benar saja, ternyata pemanggil pada ponselnya adalah nomor baru. "Saya dan Anda diminta untuk mengurusi perihal kasus Nona Harmoni, agar tak muncul ke publik jadi, saya akan membagi tugas, agar masalah ini cepat selesai." "Pembagian tugas bagaimana yang Anda maksud?" tanya Mona yang memang belum tahu rencana Hicob. "Saya yang akan mengurus bagian reporter dan percetakan, sedangkan bagian kepolisian, Anda yang harus mengurusnya." Mona hanya diam dan mulai berpikir sejenak. "Kenapa dia mengambil bagian yang sangat mudah diatasi, sementara aku harus bagian yang masih butuh banyak proses, hah! dasar asisten yang pandai membaca kondisi," gerutu Mona pada dirinya sendiri tanpa ingin menyuarakannya. "Apa Anda masih di sana, asisten Mona?" "Ya, saya masih di sini," sahut Mona yang sebenarnya cukup kesal dengan pembagian tugas itu. "Jadi Anda sanggup melakukan semuanya?" "Sanggup tak sanggup, saya harus mengerjakannya jadi, saya akan segera mengurus masalah ini," sahut Mona pada Hicob yang berada di seberang ponselnya. "Baiklah! karena semua pembagian tugas sudah disepakati, saya tutup dulu panggilan ini dan selamat sore!" Tut tut tut tut tut tut Mona melihat ke arah layar ponselnya dengan tatapan tak mengerti. "Sungguh pria yang tak mau banyak melakukan tugas yang rumit," gumam Mona langsung beranjak dari kursinya dan bergegas ke arah kantor polisi untuk mengurus semua kasus Harmoni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD