Dewa sudah berada di ruang kerjanya. Pria itu melihat setiap lembar kertas putih yang berisikan semua informasi tentang Joni.
Sementara Harmoni mencoba masuk ke ruangan kerja Dewa karena pintu ruangan tersebut memang terbuka begitu lebar jadi, dia tak ada alasan untuk mengetuk pintu tersebut.
"Apa kau sedang sibuk?" tanya Harmoni pada Dewa.
Perhatian pria itu teralihkan ke arah Harmoni yang sudah mengenakan dress selutut dengan motif abstrak, menambah kecantikan pada gadis tersebut.
"Tidak!" sahut Dewa yang langsung mengacungkan kertas-kertas yang berada di tangannya.
Kedua alis Harmoni mengkerut sempurna. "Kertas apa itu?" tanya CEO cantik tersebut.
"Data mengenai Joni, rekanmu yang kurang ajar itu," ucap Dewa dengan suara mengisyaratkan, jika pria tersebut begitu membenci Joni sampai ke ubun-ubun.
Harmoni masih berada di ambang pintu ruangan Dewa. "Apa aku boleh masuk?" tanya Harmoni masih meminta izin kepada Dewa.
"Tentu saja! anggap seperti ruangan sendiri, bukankah kita sudah berteman beberapa jam yang lalu," sindir Dewa membuat senyum pada bibir gadis itu terukir indah.
Tanpa rasa sungkan, akhirnya Harmoni berjalan ke arah Dewa dengan langkah yang begitu santai, tak lupa, gadis itu saat ini juga sudah mengenakan alas kaki model flat, dengan aksen pita pada bagian talinya.
Harmoni langsung duduk tepat di depan meja Dewa.
"Boleh aku melihatnya?" tanya Harmoni dan Dewa langsung memberikan beberapa lembar kertas itu pada Harmoni tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Harmoni yang sudah tak sabar ingin tahu alasan apa yang melatarbelakangi kejahatan yang dilakukan oleh Joni padanya, ia langsung melihat lembar pertama kertas tersebut.
Dengan penuh teliti, Harmoni terus membaca tiap kata yang sudah tercatat di kertas itu.
Alangkah terkejutnya saat Harmoni tahu alasan utama pria itu bisa berbuat hal senekad tersebut padanya.
"Jadi ibunya sampai masuk rumah sakit jiwa karena keluarganya tiba-tiba bangkrut dan suaminya di penjara," gumam Harmoni sembari membuka lembaran kedua kertas putih itu.
"Bukan hanya itu, nampaknya dia juga sedikit menaruh hati padamu," celetuk Dewa pada Harmoni membuat gadis itu mengehentikan sejenak kegiatan membacanya.
"Tertarik? darimana kau tahu perihal masalah itu?" tanya Harmoni penasaran.
"Dari cara dia menatap setiap jengkal tubuh ... sudahlah! jangan bahas itu lagi, aku jadi ingin membunuhnya," kesal Dewa langsung memutar kursi kerjanya membelakangi Harmoni.
Gadis itu sedikit mengintip Dewa dari arah pinggir mejanya.
"Apa kau cemburu?" goda Harmoni sengaja memancing emosi pria itu.
"Tidak!"
"Kenapa marah, jika kau tak cemburu padanya," cecar Harmoni lagi.
Akhirnya Dewa berbalik menghadap ke arah Harmoni kembali.
"Kau itu adalah tanggung jawabku saat ini, bagian dari diriku ada padamu jadi, tak ada yang boleh berani dekat atau menyentuh sesuatu hal apapun yang sudah menjadi bagian dari diriku," ultimatum Dewa.
Jedag jedug jedag jedug
Jantung Harmoni rasanya ingin lepas dari rongganya saat penuturan dari mulut Dewa ia dengar.
"Perasaan apa ini? kenapa jantungku bereaksi," gumam Harmoni dalam hati.
"Jadi ... apa yang harus aku lakukan? semua berita pasti akan menyorotku besok pagi," adu Harmoni pada Dewa.
"Semua akan di urus oleh asisten kita berdua," ujar Dewa langsung menekan tombol panggil pada teleponnya.
"Urus semua kejadian tadi pagi, jangan biarkan para wartawan atau media cetak menaikkan kasus ini ke publik, bungkam mulut mereka semua dan kau harus bekerja sama dengan asisten, Harmoni!" jelas Dewa pada orang dibalik ponselnya.
Tanpa banyak bicara, pria itu langsung menutup panggilannya lebih dulu.
"Sudah beres jadi, kau bisa tenang sekarang," ujar Dewa menenangkan pikiran Harmoni yang awalnya mungkin cukup terbebani perihal masalah tadi pagi yang menimpanya.
"Mmmm ... apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Harmoni dengan suara yang kurang yakin.
"Tanyakan saja, asalkan jangan yang aneh-aneh," jelas Dewa mulai meletakkan kedua tangannya di atas meja kerjanya dengan wajah yang sudah serius mendengarkan pertanyaan dari mulut Harmoni.
"Apa ... terjadi sesuatu antara aku dan dia?" tanya Harmoni yang sebenarnya sedikit malu menanyakan hal tersebut pada Dewa.
"Terjadi!"
Kedua bola mata Harmoni hampir saja keluar dari tempatnya dengan tangan yang secara otomatis meraba setiap bagian tubuhnya.
"Terjadi? apa aku sudah tak pe ...."
"Terjadi sesuatu, jika aku tak cepat datang memberikan pelajaran pada si kurang ajar itu," umpat Dewa yang benar-benar muak dengan kelakuan Joni, ditambah lagi saat Dewa kembali mengingat momen di mana ia diajak untuk bergabung, sungguh hal tersebut membuat Dewa ingin mencekiknya sampai tak bernapas.
"Ih! kau ini, ya! suka sekali membuat orang jantungan, bagaimana, jika aku tiba-tiba mati mendadak? kau mau tanggung jawab?" tanya Harmon yang masih sebal pada Dewa.
"Salah sendiri tak mau mendengarkan kelanjutannya, tiba-tiba main berasumsi sendiri, ya seperti itu akhirnya, berujung salah arti, lagi pula, jika kau memang jantungan, aku akan mencarikanmu donor jantung, nampaknya jantung para penjaga pegunungan salju abadi cukup cocok untukmu," canda Dewa membuat Harmoni langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Dewa dan ....
Buuukkkkkk
"Kau kira aku ini serigala berbulu apa? seenaknya ingin menggantikan jantungku dengan jantung hewan, apa kau masih waras? bagaimana, jika jantungku tak bisa berdetak saat melihatmu lagi?" tanya Harmoni yang tak sadar sudah membuka sedikit perasaannya pada Dewa.
Krik krik krik
Suasana seketika hening, hanya terdengar suara jangkrik yang numpang lewat saja.
Baik Harmoni maupun Dewa, sama-sama terkejut dengan ucapan yang dilontarkan oleh mulut Harmoni.
"Berdetak saat melihatku? apa itu benar-benar isi hatinya atau hanya bualanmu saja?" tanya Dewa dalam diamnya.
Sementara Harmoni memainkan jarinya karena ia sadar, jika dirinya sudah salah bicara.
"Dasar mulut comberan! kenapa tak bisa ditahan, sih!" umpat Harmoni pada dirinya sendiri, terutama pada mulutnya yang minta di plester.
Suasana menjadi canggung seketika dan tak ada yang berani membuka suara lebih dulu.
"He'em! apa kau tak lapar?" tanya Dewa mengalihkan topik pembicaraan.
Harmoni menggaruk sedikit tengkuknya yang tak gatal.
"Sebenarnya sedikit, sih!" jujur gadis itu tersenyum kaku pada Dewa.
Dewa langsung bangun hendak berjalan menuju arah dapurnya namun, sebelum pria itu sampai di ambang pintu, ia lebih dulu melewati Harmoni dan mengusap lembut puncak kepala gadis tersebut.
"Aku akan memasak untukmu," tutur Dewa langsung melanjutkan kembali langkahnya.
Harmoni menoleh ke belakang menatap kepergian Dewa yang sudah hilang.
"Ini tak bisa dibiarkan, bisa-bisa aku makan, makanan gosongnya lagi dan aku tak mau itu," gumam Harmoni langsung menyusul Dewa ke dapur.
Saat gadis itu sudah berada di ambang pintu masuk dapur tersebut, ternyata Dewa masih menggunakan apron untuk bersiap memasak.
Harmoni juga segera berlari kecil mengambil apron berwarna pink dengan motif seekor kucing yang sangat menggemaskan.
"Kenapa tiba-tiba ada apron berwarna pink seperti ini?" tanya Harmoni pada Dewa dengan kedua tangan gadis itu yang nampak kesusahan mengikat tali apron tersebut.
Dengan sigap, tangan kekar Dewa segera mengambil alih tugas tersebut.
"Akhirnya sengaja menyiapkan apron bermotif kucing gembul ini untukmu," jelas Dewa masih mengikat tali apron yang melingkar di pinggang Harmoni.
Setelah selesai dengan urusan tali apron, kedua mata Dewa tak sengaja melihat rambut Harmoni yang cukup berantakan dan akhirnya inisiatif muncul dari diri Dewa.
Dewa melihat ke arah telapak tangannya dan dengan ajaibnya, sebuah tali rambut berwarna senada dengan apron milik Harmoni muncul dan lucunya lagi, tali rambut itu memiliki dua telinga yang mirip telinga kucing.
Tanpa izin dari pemiliknya, Dewa segera melakukan aksinya mengikat rambut Harmoni.
"Eh, apa yang kau lakukan?" tanya Harmoni terkejut dengan pergerakan Dewa yang tiba-tiba.
"Diam! aku tak ingin helaian rambutmu ini masuk ke dalam makanan yang akan aku buat jadi, menurutlah, jangan banyak protes," pinta Dewa pada Harmoni dan gadis itu seperti sapi yang di cocok hidungnya, hanya bisa menuruti semua perkataan Dewa.
Mungkin karena Harmoni sudah mulai percaya pada pria itu jadi, ia sudah tak terlalu canggung pada Dewa, ditambah lagi bukankah mereka berdua saat ini sudah berteman.
Setelah selesai dengan tugasnya mengikat rambut Harmoni, akhirnya pria itu beralih menuju arah bumbu yang akan ia gunakan untuk memasak.
Harmoni memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh Dewa.
"Kenapa kau tak menggunakan kekuatanmu saja, daripada harus wara-wiri seperti setrika sibuk memasak," celetuk Harmoni masih memperhatikan Dewa yang menyiapkan beberapa bumbu tambahan lainnya.
"Aku lebih suka memasak menggunakan tanganku sendiri karena hasilnya lebih enak menurutku," jelas Dewa pada gadis tersebut.
"Kenapa kekuatanmu tak dipindahkan padaku saja, aku bisa melakukan apapun sesukaku tanpa harus lelah memasak atau bekerja layaknya manusia bumi," lelah Harmoni menjalani kesehariannya yang cukup membuatnya letih.
"Lebih seru memasak menggunakan tangan sendiri, daripada harus menggunakan kekuatan karena tubuh kita sekaligus bisa berolahraga tanpa harus melatihnya dengan cara olahraga gym," pangkas Dewa membuat raut wajah Harmoni tak habis pikir dengan jalan pikiran Dewa.
"Kenapa pikiranmu lebih ke manusia bumi, daripada aku? padahal aku yang asli penduduk planet ini, tapi kenapa kau yang sepertinya begitu memahami sesuatu yang berkaitan dengan bumi," ujar Harmoni masih tak habis pikir dengan Dewa.
"Semua aku terapkan, tapi aku memilah dan memilih yang mana yang sekiranya yang bersifat lebih baik karena tak semua aturan di setiap planet itu bisa dilakukan," tutur Dewa mulai mengupas kulit bawang putih dan merah.
"Memang apa yang tak boleh diterapkan di sini?" tanya Harmoni cukup penasaran dengan aturan yang dimaksud oleh Dewa.
"Memilihkan calon pendamping hidup," lontar Dewa membuat otak gadis itu kini mulai berpikir lebih keras, agar ia dapat mencerna tiap kata yang dilontarkan Dewa.
"Maksudmu, di tempat asalmu itu, orangtua yang akan memilihkan jodoh untuk anak-anak mereka?" tanya Harmoni yang merasa ada ketakutan dalam hatinya, jika jawaban yang diberikan boleh Dewa adalah kata "Ya".
"Ya!"
Bagai petir yang menyambar di siang bolong, d**a Harmoni kini mulai bergetar melebihi batas wajarnya.
Gadis itu merasa ada sesuatu yang kini perlahan mulai menggores bagian dari dirinya.
"Jadi ... kau akan dijodohkan suatu saat nanti?" tanya Harmoni ingin memastikan kembali.
"Begitulah dan yang pasti hal tersebut sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh kedua orangtuaku," sahut Dewa sejujurnya karena pria itu tak sadar akan sedikit perasaannya Harmoni yang sepertinya mulai ada rasa ketertarikan padanya.
Dewa sesungguhnya merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Harmoni namun, pria itu masih terus saja menampik perasaan tersebut dengan alasan yang ia yakini, jika Harmoni sudah memiliki kekasih, padahal itu hanya tebakannya saja.
"Kapan kau akan menikah?" tanya Harmoni yang sudah tak dapat memfilter mulutnya sendiri.
"Entah! aku hanya tinggal menunggu panggilan dari ayahanda saja, selebihnya aku harus mempersiapkan diri untuk acara penobatan raja baru karena sebelum itu, aku harus lebih dulu mengikat janji pertunangan dengan calon pendampingku," curhat Dewa sambil memasukkan semua bumbu yang sudah ia cincang halus.
"Ambilkan aku nasi dua mangkuk itu," pinta Dewa pada Harmoni sembari menunjuk mangkuk yang menjadi ukuran nasinya.
"Kau ingin masak apa?" tanya Harmoni masih mengambil nasi dari magic com.
"Nasi goreng saja karena lebih gampang dan tidak terlalu ribet," jelas Dewa yang langsung menerima mangkuk nasi pertama dan memasukkannya ke dalam wajah penggorengan.
Aroma dari masakan itu menyeruak dalam indera penciuman Dewa namun, pada Harmoni, nampak tak berpengaruh sama sekali.
"Apa dia saat ini sudah memiliki calon tunangan?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri.
"Mana nasinya? masih kurang satu lagi, apa kau tak ingin makan?" ujar Dewa menyadarkan lamunan Harmoni.
Gadis itu segera memberikan mangkuk kedua pada Dewa dan pria bermata biru tersebut dengan senang hati menerimanya.
Harmoni memainkan kedua jari telunjuknya. Ia merasa bingung harus bertanya atau tidak pada Dewa perihal apa yang saat ini dalam benaknya.
"Mmmm ... apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Harmoni sedikit ragu dengan apa yang akan ia tanyakan pada Dewa.
"Tanyakan saja," pinta Dewa masih mengaduk nasi gorengnya dan menambahkan sedikit saus pedas dan kecap ke dalamnya.
"Apa kau ... sudah memiliki ... calon tunangan?" tanya Harmoni yang sudah tak sabar ingin mengetahui jawaban dari mulut Dewa.
"Kenapa? kau ingin mendaftar," ledek Dewa yang tak menanggapi pertanyaan Harmoni dengan serius.
"Aku tidak bercanda, aku serius bertanya padamu," kesal Harmoni pada pria itu.
"Kenapa, jika aku sudah memiliki calon tunangan?" tanya Dewa balik pada Harmoni.
"Aku tak ingin berada terlalu dekat denganmu, aku takut calon tunanganmu marah padaku dan datang kemari," bual Harmoni, padahal kenyataannya, gadis itu ingin tahu status Dewa saat ini.
"Kau tenang saja, aku masih free tak berlebel jadi, kau bisa dekat denganku, bahkan, jika kau ingin mendaftar menjadi salah satu calonku, aku akan mempertimbangkannya," goda Dewa kembali.
"Enak saja," sahut Harmoni sedikit tersenyum karena ia merasa cukup lega dengan jawaban Dewa.
Entah mengapa ia lebih suka Dewa masih lajang, daripada sudah bertunangan.
Setelah cukup lama mengaduk nasi goreng itu, Dewa merasa masakannya sudah jadi dan pria itu mengambil sendok untuk mencicipi rasanya.
Satu sendok sudah berada di sendok tersebut. Dewa dengan penuh kesabaran meniup nasi goreng yang masih panas, setelah dirasa sudah dingin, ia memberikan suapan pertamanya pada Harmoni dengan posisi tangan kiri yang berada tepat di bawah sendok tersebut.
"Coba cicipi," pinta Dewa dan gadis itu tanpa sungkan melakukannya.
"Bagaimana? enak?" tanya Dewa ingin memastikan.
"Enak," sahut Harmoni jujur.
Jempol Dewa bergerak ke arah sudut bibir Harmoni. "Ada bekas nasi goreng yang menempel," jelas pria itu membuat tatapan keduanya menyatu.