Peresmian Sebuah Kerjasama

3094 Words
Setelah beberapa jam berkutat dengan laporan di laptopnya, kedua tangan Dewa di rentangkan ke depan, meregangkan otot-otot tangannya yang terasa sedikit pegal. "Akhirnya selesai juga," gumam Dewa sembari melihat ke arah jam di layar laptopnya. "3 jam sudah cukup untuk membuat tubuhku istirahat," gumamnya lagi karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Dewa mematikan laptopnya dan setelah layar itu gelap, pria bermata safir tersebut menutup laptopnya. Suara jentikan tangan Dewa melengking. Lagi-lagi sekali jentik, semua benda yang berada di atas meja sudah bersih tanpa tertinggal sedikit pun. Dewa berdiri hendak berteleportasi namun, pria itu nampak terlihat mengurungkan niatnya. Mata yang awalnya terpejam, kini terbuka kembali diiringi langkah kakinya menuju lantai atas rumahnya. Setelah cukup lama memakan waktu naik ke atas lantai atas, Dewa sudah berada di depan pintu kamarnya. Pria itu nampak menghela napas. "Huh, kenapa aku harus repot-repot naik ke lantai atas secara manual?" tanya Dewa pada dirinya sendiri. Dewa terheran-heran dengan perubahan yang ia alami, dirinya harus bersusah payah melewati tiap lantai rumahnya, padahal satu kali pejaman mata saja, sudah bisa membuat pria itu berada di dalam kamarnya sendiri. Secara perlahan tangan pria itu sudah berada di gagang pintu kamarnya. Sekali tarik, ia melebarkan daun pintu kamarnya dan terlihatlah sosok perempuan cantik tengah tertidur pulas di atas sofa kamarnya. Dewa melangkah maju melewati pintu itu dan ajaibnya, daun pintu tersebut tertutup dengan sendirinya. Dewa sedikit menarik senyumnya melihat posisi Harmoni tidur dengan kaki di tekuk menghadap ke arah kanan dan tangan kirinya menggantung sampai menyentuh permukaan lantai. "Kenapa tak tidur di ranjang saja? kenapa harus tidur di sana? padahal aku tak mengubah suhu di ranjang itu," tanya Dewa pada dirinya sendiri. Dewa berjalan ke arah ranjangnya dan naik ke atas ranjang tersebut. Pria bertubuh atletis tersebut mulai merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang perlahan mulai bersuhu dingin. Dewa menatap langit-langit kamarnya dengan posisi tangan terlipat di dadanya dan kaki juga membelit satu sama lain. Dewa merasa aneh dengan atmosfer kamarnya karena ada orang asing di kamar itu. Dewa memiringkan kepalanya menghadap ke arah Harmoni yang masih tertidur pulas. Senyum pria itu kembali terbit saat ia melihat posisi tidur Harmoni. "Selamat malam." Entah dalam keadaan sadar atau tidak, yang jelas dua kata itu yang ingin Dewa ucapan. Dewa tiba-tiba terdiam saat dirinya mencoba mencerna apa yang di katakannya tadi. "Apa yang aku katakan? apa aku sudah gila?" tanya Dewa pada dirinya sendiri. Pria itu lebih memilih menghadap ke arah kanan memunggungi Harmoni. Suara cicitan burung terdengar sangat nyaring di telinga seorang gadis yang baru pertama kali ini tidur di sebuah rumah tepat di dekat sebuah pegunungan yang sangat alami tanpa adanya riuh suara kendaraan perkotaan yang menyebabkan oksigen yang ia hirup tercemar. Bulu mata cantik nan lentik itu mulai bergerak-gerak menormalkan penglihatannya. Arah tatapan Harmoni langsung terarah pada gorden jendela berwarna coklat muda yang tepat berada di atasnya. Gadis itu seketika bergerak menegakkan tubuhnya menghempas gorden coklat tersebut agar tak menghalangi indera penglihatannya. Saat mata itu pertama kali melihat penampakan pagi yang indah, sunrise vitamin pertama yang menambah kekebalan imun tubuhnya pun tampak mulai naik memperlihatkan keindahannya di balik gunung tinggi tersebut. "Kenikmatan mana yang kau dustakan," gumam Harmoni sembari membuka jendela kamar itu. Seketika angin sejuk menerpa wajahnya diiringi senyum manis nan legit bagai gula Jawa. "Sungguh ...." "Sungguh apa?" sambung Dewa memecah konsentrasi Harmoni yang tengah asyik-asyiknya menikmati relaksasi alami. Gadis itu yang awalnya memejamkan mata, kini bola matanya terbuka lebar, bahkan jika bola mata itu bisa ia buat keluar, ia ingin memperlihatkan pada Dewa, jika dirinya sangat terganggu dengan kehadiran pria itu. Harmoni menoleh ke arah Dewa. Pria itu sudah berpakaian rapi ternyata. "Mau apa kau? kenapa selalu menjadi penghancur suasana," protes Harmoni yang sudah tak berselera dengan atmosfer paginya. "Aku hanya ingin menyapamu saja," sergah Dewa sekenanya. "What? menyapa dengan cara mengganggu proses relaksasi seseorang seperti tadi? hah, dasar pria aneh!" Harmoni nampak benar-benar sangat kesal. Telapak kaki mulusnya turun dengan gerakan kasar, disertai hentakan kecil, menandakan, jika dirinya kesal pada Dewa. "Mau kemana?" tanya Dewa lagi-lagi mengganggu pergerakan kaki Harmoni. Gadis itu berkacak pinggang di depan Dewa dengan raut wajah masam. "Mau ke kamar mandi," sahut Harmoni tanpa bertele-tele. Dewa hanya mengangguk mengerti dengan ucapan gadis yang menurutnya cerewet itu. Saat kaki gadis itu hendak melangkah, tiba-tiba suara Dewa menggema kembali. "Kau tak memakai alas kakimu?" tanya Dewa lagi. "Alas kakiku berhak tinggi, apa kau ingin aku jatuh terjungkal di kamar mandi dan nyawaku lenyap begitu saja?" tanya balik Harmoni dengan suara datarnya namun, mengisyaratkan bumbungan amarah yang luar biasa tersembunyi. "Oh, aku tak tahu," sahut Dewa santai. "Dasar pria menyebalkan," rutuk Harmoni dalam diam. Gadis itu mulai melangkahkan kakinya menuju arah kamar mandi dan lagi-lagi suara bariton pria itu mulai kembali bersiul di telinganya. "Apa kau ...." Seketika Harmoni menoleh ke arah Dewa dengan tatapan tajamnya. "Apa? mau ikut?" tanya Harmoni yang sudah kesal pada alien di hadapannya itu. "Kalau boleh, kenapa tidak," goda balik Dewa dan seketika kaki Harmoni kembali di hentakan ke lantai sembari berjalan ke arah kamar mandi dengan raut wajah kesalnya. Dewa tersenyum saat gadis itu sudah hilang di balik pintu kamar mandinya. "Sarapan pagi yang cukup menghibur," gumam Dewa sembari geleng-geleng kepala. Setelah menunggu Harmoni beberapa menit lamanya, bahkan sudah masuk hitungan jam, Dewa masih sibuk dengan laptopnya di meja makan, ditemani secangkir teh hangat dan roti bakar buatannya. Beberapa menit kemudian, akhirnya Harmoni sudah berada di lantai dasar dimana Dewa sudah menunggunya. Suara pertarungan antara hak tinggi heels Harmoni dan lantai rumah Dewa, mengalihkan perhatian pria bermarga Abraham tersebut. Di telinga Dewa, suara itu bagai lantunan lagu yang cukup menarik baginya. Atasan over size di padu dengan celana hitam yang sangat pas di tubuh rampingnya, ditambah lagi dengan heels berhak tinggi, membuat kaki jenjang Harmoni benar-benar terlihat sempurna bagai model peragaan busana di acara desainer ternama dunia. Kemeja yang di pakai Harmoni adalah kemeja Dewa dan bawahan yang sangat pas itu juga milik Dewa, bawahan yang salah ukuran saat Dewa pertama kali merekrut asisten pribadi seorang manusia biasa. Rambut yang tergerai basah, membuat kesan seksi pada gadis itu lebih dominan lagi. Wajah tanpa polesan make up, bulu mata lentik, hidung mancung, dan bibir berwarna berry milik Harmoni, semakin menambah kata sempurna pada pahatan seorang manusia cantik di bumi. Dewa terus menatap ke arah Harmoni, sampai pria itu tak sadar, jika warna lensa mata birunya sudah berubah berwarna langit senja. "Perfect." Satu kata itu yang dapat Dewa utarakan dalam hati, meskipun tak dapat ia ucapkan secara terang-terangan pada Harmoni. Gadis itu sudah duduk tepat di sebelah kiri Dewa. Harmoni hendak mengambil satu potong roti bakar yang sudah tersedia namun, gerakannya terhenti kala ia sadar, jika Dewa masih menatap ke arahnya. "Kenapa dia? apa ada yang aneh dengan wajahku?" tanya Harmoni dalam hati. Gadis itu menyentuh wajah mulusnya. "Bukannya aku tak memakai skin care apapun, tapi kenapa pria aneh ini terus menatapku seperti itu," gumam Harmoni dengan suara sangat pelan dan Dewa masih tak sadar akan hal itu. "Apa jangan-jangan dia terpesona dengan penampilanku?" tanya Harmoni dalam diamnya masih menatap ke arah Dewa. Senyum licik mulai menghiasi bibir berwarna berry tersebut. Harmoni menyampirkan semua rambutnya ke arah kiri, dimana leher jenjang sebelah kanannya terlihat begitu putih dan mulus. "Waktunya beraksi," instruksi Harmoni pada dirinya sendiri. Tangan lentik nan halus itu menyentuh garpu yang berada di atas piringnya. "Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Harmoni pura-pura tak sadar dengan ekspresi Dewa. Suara Harmoni seketika mengejutkan Dewa dan pria itu nampak salah tingkah. "Aku baik," sahut Dewa singkat padat dan jelas. Harmoni tersenyum sembari mulai mengambil satu potong roti bakar dengan gerakan menggoda. Dewa semakin dibuat tak karuan oleh tingkah Harmoni yang nampak sengaja melakukan gerakan itu. "Kenapa kau tak makan lebih dulu? apa kau sengaja menungguku?" tanya Harmoni bertubi-tubi. Dewa mencoba menormalkan ekspresinya. Iya tak ingin Harmoni tahu, jika dirinya memang tengah menunggu gadis itu untuk sarapan pagi. "Apakah kau tidak melihat aku sedang bekerja? apa kau juga tidak melihat laptop sebesar ini? aku sedang sibuk bukan sedang menunggumu," tepis Dewa kembali melihat ke arah laptopnya. "Oh, aku kira kau sedang menungguku," goda Harmoni kembali. "Mimpi yang sangat indah," gumam Dewa dan Harmoni hanya membalas dengan mengangkat kedua bahunya acuh. Dewa masih sibuk dengan keyboard yang berbaris rapi di laptopnya dan hal itu, cukup menyita perhatian CEO bertubuh seksi tersebut. Tanpa perintah dari siapapun, Harmoni meraih garpu yang ada di piring milik Dewa, gadis itu mengambil satu potong roti bakar untuk Dewa. "Cepat makan, nanti kesiangan," ujar Harmoni kembali memasukkan potongan kecil roti bakar ke dalam mulutnya dan gadis itu mengunyahnya secara perlahan. Arah mata Dewa membidik ke arah satu potong roti bakar yang sudah diambilkan oleh Harmoni. Pria itu hanya memandanginya tanpa ingin menyentuhnya, Dewa menatap ke arah Harmoni, kemudian pria itu kembali menatap ke arah sepotong roti bakar yang sudah tersaji di atas piringnya. "Kenapa tak dimakan?" tanya Harmoni penuh selidik. Dewa hanya menggelengkan kepalanya dan jawaban itu sungguh sangat ambigu bagi Harmoni. Gadis itu mulai curiga, jangan-jangan ada sesuatu pada roti bakar yang ia makan. "Ini kau yang membuatnya, 'kan?" tanya Harmoni memastikan pada Dewa dan pria itu hanya mengangguk. "Jangan-jangan ... kau meletakkan racun pada roti bakar ini, kau tidak berniat ingin membunuh, bukan?" tanya Harmoni menuduh Dewa secara frontal. Pria itu hanya tersenyum kecil, ia tidak habis pikir dengan pikiran seorang gadis yang terlihat sangat pintar itu, ternyata hal-hal negatif masih saja bersarang dalam benaknya. "Apa kau kira aku ini pria tak waras? apa kau kira aku ini pria gila yang bisa seenaknya membunuh orang di rumahku sendiri? meskipun aku bukan berasal dari bumi, tapi aku ini mengerti hukum di bumi itu seperti apa, jadi aku tidak mungkin seenaknya membunuh orang apalagi seorang perempuan seperti dirimu ... yang cukup cerewet," jelas Dewa membuat kedua bola mata Harmoni melotot bukan main. "Apa kau bilang? aku cerewet?" tanya Harmoni menahan amarahnya yang sudah memuncak. "Ya dan itu buktinya, kau marah-marah lagi, 'kan?" sahut Dewa di sertai bukti yang sangat akurat. "Aku ini bukan marah, aku hanya bertanya padamu," kilah Harmoni kembali memasukkan roti bakar ke dalam mulutnya. Dewa hanya tersenyum simpul dengan jari-jari dan mata yang tertuju pada laptopnya. Makanan Harmoni sudah hampir habis namun, sarapan milik Dewa masih utuh tak tersentuh sedikitpun. Sudah tinggal suapan terakhir dan sarapan yang ada di piring Harmoni bersih tak tersisa, hanya tinggal garpu dan pisau saja yang bertengger di atas piringnya. "Mau aku suapi?" tanya Harmoni pada Dewa. "Tidak." "Kenapa? nanti kita kesiangan," keluh Harmoni pada Dewa. "Bukannya aku saja yang kesiangan?" tanya Dewa masih sibuk berkutat dengan laptopnya. "Aku juga akan kesiangan berangkat ke kantor, bukannya kau yang akan mengantarkan aku kembali," tebak Harmoni . Lagi-lagi suara peraduan jari Dewa terdengar. Jentikan jari Dewa menghadirkan seorang pria tampan berjas hitam, siapa lagi kalau bukan Hicob. Harmoni melihat ke arah asisten pribadi Dewa. "Kau?" tanya gadis itu terheran-heran. "Saya yang akan mengantar Anda kembalikan, Nona!" "Jadi bukan ...." "Apa kau sungguh menginginkan aku yang mengantarmu?" tanya Dewa diiringi senyum meledeknya. Harmoni memejamkan matanya, kemudian gadis itu berdiri dan meminum teh hangatnya sekali teguk, hingga teh itu habis hanya tersisa cangkirnya. "Aku lebih baik pulang dengan anak buahmu, daripada harus pulang dengan pria dingin macam es batu seperti bosnya," sindir Harmoni berjalan ke arah pintu keluar rumah Dewa. "Jangan lupa kembalikan bajuku," goda Dewa kembali Hicob menundukkan kepalanya, kemudian pria itu berjalan mengekori Harmoni. Setelah kedua manusia itu menghilang di balik pintu keluar, Dewa menyandarkan bahunya pada sandaran kursi meja makan. Pria itu tersenyum menatap langit-langit meja makan. "Senang sekali bisa mempermainkan gadis itu, sepertinya aku sudah cukup lama tak merasakan perasaan seperti ini, apa mungkin karena aku sudah menemukan kristal milikku?" tanya Dewa sembari mengambil garpu untuk memakan roti bakarnya. Sebelum roti bakar itu ia gigit, Dewa kembali tersenyum kala ia mengingat bagaimana perseteruannya dan Harmoni terjadi. Di depan sebuah kantor pencakar langit yang sangat megah, sebuah mobil memasuki area perkantoran elit. Seorang perempuan berpakaian cukup rapi namun, kebesaran tengah turun dari dalam mobil berwarna hitam tersebut. Perempuan itu adalah perempuan yang paling dihormati di kantor tersebut karena ia adalah Harmoni Kirana Sudarmanto. Gadis itu sebelum benar-benar pergi, masih sempat mengetuk kaca mobil bagian depan terlebih dulu. Perlahan kaca mobil itu mulai turun dan wajah Hicob mulai sedikit demi sedikit terpampang nyata. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya Hicob pada Harmoni. "Tidak ada! aku hanya ingin berterima kasih padamu dan mengingatkanmu tentang satu hal," ujar Harmoni menggantung kata-katanya. "Satu hal apa, Nona?" tanya Hicob lagi. "Teruslah bersikap ramah pada siapapun, jangan seperti bosmu yang datar dan dinginnya minta ampun," jelas Harmoni tersenyum manis pada Hicob sebelum gadis itu benar-benar pergi masuk ke dalam kantornya. Harmoni mulai masuk ke dalam kantornya dan di sana, ia di sambut oleh para pegawainya. Gadis itu berjalan menuju lift khusus CEO. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya pintu lift itu terbuka dan langkah kaki Harmoni kembali menggema di koridor menuju ruangannya. Saat ia membuka pintu ruangan Mona, ternyata asistennya itu tengah sibuk dengan laptop di meja kerjanya, serta beberapa berkas yang harus ia cek kembali. "Selamat pagi, Mona!" Mona menoleh ke arah suara tersebut dan senyum lega begitu terlihat di wajah Mona. "Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Mona berjalan ke arah Harmoni, mengabaikan pekerjaannya yang sebenarnya itu pekerjaan untuk Harmoni namun, Mona mau tak mau harus mengambil alih tugas bosnya, sampai bosnya itu kembali dan beruntungnya Harmoni sudah kembali. "Aku baik-baik saja, Mona! bagaimana keadaan rumah dan kantor?" tanya Harmoni pada Mona. "Semua aman terkendali namun, saya masih mencari orang di balik semua ini," jelas Mona pada bosnya. "Ikut aku!" Harmoni menuju arah laptop milik Mona dan gadis itu mulai mengutak-atik laptop tersebut, sampai pada akhirnya layar laptop itu sudah berada pada rekaman CCTV saat dimana salah satu penjaga Harmoni menjadi penjaganya saat gadis itu hendak pergi berlatih bela diri, sampai pada akhirnya Harmoni menghilang satu hari satu malam tak dapat di temukan. Harmoni mengentikan tayangan pada CCTV itu tepat saat bagian wajah tersangka yang ia curigai. "Kau lihat ini?" tanya Harmoni pada Mona. "Ya, Nona!" "Ini orang yang sudah membuat mobilku jatuh ke jurang," jelas Harmoni pada Mona. "Mobil Anda baik-baik saja, Nona!" Harmoni memejamkan matanya karena ia baru sadar, jika ucapannya tadi salah, seharusnya ia tak mengatakan hal itu pada Mona. "Maksudku hampir jatuh ke jurang, jadi kau selidiki orang ini sampai ditemukan dan selesaikan sampai ke akarnya karena aku tak ingin masalah ini terus berkelanjutan, jika akarnya saja tak kita hancurkan, akar itu pasti akan terus menjalar kemana-mana," pinta Harmoni tegas. "Baik, Nona! akan segera saya usut pria ini." "Baiklah, aku percaya padamu, Mona!" "Terima kasih, Nona!" Harmoni menelisik tiap berkas yang berada atas meja asistennya. "Apa ini pekerjaanku?" tanya Harmoni pada Mona. "Ya, Nona! karena Anda tak ada, terpaksa saya ambil alih karena berkas itu harus segera di tanda tangani," jelas Mona jelas. "Jam berapa aku harus menyelesaikan semua ini?" tanya Harmoni. "Pukul 9 pagi sudah harus selesai karena Anda jam setengah 10 persiapan meeting dengan pemilik perusahaan Raharja Group," jelas Mona. "Baiklah, aku akan membawa semua berkas ini ke ruanganku dan kau urus dalang itu," pinta Harmoni mengambil semua berkas di atas meja Mona dan Harmoni melangkah ke arah pintu keluar, menuju arah ruangannya sendiri. Di dalam ruangannya, Harmoni nampak menghela napasnya karena semua berkas yang harus ia tanda tangani akhirnya rampung. Gadis itu melihat ke arah jam tangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 09.15 dan itu artinya sebentar lagi jadwal persiapan meeting dengan pemilik perusahaan Raharja Group. Harmoni berjalan ke arah walk in kloset yang berada di ruangannya. Gadis itu berganti baju menggunakan rok span berwarna navy dan atasan blouse bunga-bunga berwana coklat muda. Sebelum ia meletakkan kemeja dan celana milik Dewa, Harmoni masih menggenggam satu set baju yang ia pinjam dari lemari pria asing itu. Wangi maskulin dari baju itu sungguh sangat melekat pada set pakaian tersebut dan begitu pula dengan tubuhnya. Harmoni coba mengendus wangi pada tubuhnya dan benar saja, wangi maskulin dari baju itu masih sangat tersisa. "Parfum apa yang dia pakai? kenapa sangat menempel begini di tubuhku," gumam Harmoni pada dirinya sendiri. Saat Harmoni hendak mengambil parfum di atas meja riasnya, suara Mona sudah lebih dulu terdengar. "Waktunya persiapan meeting, Nona!" "Ya, aku akan segera ke ruangan meeting sekarang," sahut Harmoni dari dalam ruangan tersembunyi miliknya. Gadis itu akhirnya melempar set pakaian milik Dewa ke dalam keranjang kotor dan niat untuk menghilangkan wangi maskulin milik Dewa ia urungkan karena meeting lebih penting dari hanya sekedar wangi parfum Dewa yang menempel pada tubuhnya. Setelah sampai di ruangan meeting, Harmoni melewati Mona dan wangi maskulin menyeruak dalam indera penciuman gadis ber IQ tinggi itu. "Wangi parfum pria, apa mungkin ... ah, tidak mungkin seperti itu, Nona orang yang sangat menjaga diri," gumam Mona dalam diam sembari memandangi Harmoni yang sibuk menelaah berkas yang ada di hadapannya. Sekitar 30 menit berlalu, akhirnya presdir perusahaan Raharja tiba. Harmoni nampak terkejut dengan kehadiran seorang pria tampan dari balik pintu masuk meeting roomnya, pria itu diikuti oleh asistennya yang seorang perempuan. Harmoni mengira, jika presdir perusahaan Raharja sudah berusia setengah baya, ternyata usianya hampir sama denganya, lebih tepatnya lebih tua darinya dan seumuran dengan Dewa. "Selamat datang, Tuan Jason Raharja," sambut Harmoni diiringi senyum termanisnya. Jason balas tersenyum pada Harmoni dan saat jarak mereka sudah cukup dekat, keduanya saling berjabat tangan satu sama lain. "Senang sekali bisa berjumpa dengan Anda, Nona Harmoni Sudarmanto!" Semua orang di ruangan itu mulai duduk dan acara rapat resmi di mulai. Sekitar satu jam lebih rapat berlangsung, sampai pada akhirnya, salam perpisahan pun terpampang di hadapan Harmoni dan Jason. "Semoga kerjasama kita bisa berlangsung dengan baik dan lancar," tutur Jason pada Harmoni. "Saya harap juga begitu, Tuan Jason!" Mereka berdua saling berjabat tangan kembali sebagai tanda perpisahan. "Sampai bertemu besok malam, Nona!" ujar Jason ambigu. "Nanti malam?" tanya Harmoni bingung. "Saya mengundang Anda untuk makan malam bersama di sweet resto," jelas Jason tersenyum tampan. Harmoni balik tersenyum manis pada partner barunya itu. "Saya akan datang, Tuan!" Acara jabat tangan akhirnya berakhir dan Jason akhirnya keluar dari meeting room perusahan tersebut. Harmoni langsung terduduk dengan posisi sembarangan, berbeda dengan tadi saat rapat, ia terlihat sangat elegan dan berwibawa. "Sudah aku duga, pasti berakhir dengan acara makan malam," gumam Harmoni menghela napas. "Besok acaranya pukul 7 malam dan Nona harus memakai dress code berwana abu tua," jelas Mona pada Harmoni. "Pasti hanya berdua saja," tebak Harmoni dan Mona tak menanggapi gumaman bosnya karena sebagian partner perusahaannya, jika sudah deal, mereka akan menyempurnakan dengan acara makan malam. Jika presdir perusaan itu sudah berkeluarga, mereka akan mengirim anak prianya yang masih lajang, jika tak memiliki anak, maka presdir dan istrinya yang akan hadir namun, jika presdirnya muda seperti Jason, sudah pasti Harmoni akan makan malam berdua dengan Jason.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD