Suara cuitan burung mengusik kesadaran seorang gadis dengan selimut yang masih menggulung tubuhnya.
Rambut yang sudah berantakan dengan mata yang masih samar-samar tersadar dari tidur pulasnya semalam.
Entah apa yang membuat gadis itu pagi ini merasa harinya begitu penting, sampai ia sadar, jika hari ini adalah hari yang paling berharga baginya.
Harmoni segera bangkit dari posisi tidur ternyaman-nya.
Ia melihat ke arah jam yang berada di atas nakasnya dan ternyata ini masih sangat pagi.
"Ini baru jam 4 pagi, kenapa aku begitu terburu-buru?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri.
Memikirkan apa yang akan ia lakukan seharian penuh dengan Dewa, gadis itu mengukir senyumnya.
"Tapi lebih baik aku mempersiapkan semuanya dari sekarang, karena seharian penuh adalah waktuku bersamanya," pikir Harmoni langsung bangun dari tempat tidurnya dan segera berjalan ke arah kamar mandi.
Suara kran air terdengar mulai mengisi bathtub yang akan ia tempati untuk mandi pagi dan tentunya, tak lupa, Harmoni memberikan aroma terapi pada air tersebut, agar tubuhnya terasa relaks dan wangi tentunya.
Selama menunggu air bathtub itu terisi penuh, Harmoni berjalan ke arah wastafel yang berada di dalam kamar mandinya.
Ia melihat pantulan wajahnya di cermin dengan senyum yang terukir begitu manis.
"Lakukan semua hal manis untuk hari ini karena kesempatan itu tak akan datang untuk yang ke dua kalinya," gumam Harmoni pada pantulan bayangannya di cermin.
Saat terbesit kata "tak akan datang untuk yang kedua kalinya" wajah Harmoni spontan berubah menjadi begitu sendu.
Lagi-lagi gadis itu menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Apa aku lebih baik jujur dengan perasaan ini? atau aku diam saja? tapi sepertinya aku dan dia memang tak ditakdirkan bersama dan kita memang harus berpisah," gumam Harmoni menundukkan kepalanya meratapi nasib yang saat ini mempermainkan dirinya.
Harmoni menoleh ke arah bathub yang tadi sempat ia isi air hangat namun, kakinya tak sengaja melangkah begitu saja dan akhirnya ia terpeleset.
"Aaaaaaaaaaakkkkkk!"
Suara teriakan Harmoni memancing lelakinya untuk datang ke kamar mandi yang sama dengannya.
"Hati-hati, Sayang!" tegur lelaki itu yang tak lain adalah Dewa.
Tubuh Harmoni yang saat ini sudah berada di dalam rengkuhan tangan Dewa hanya bisa menatap wajah pria bermata safir tersebut sembari tersenyum manis.
"Apa kau sungguh malaikat yang Tuhan kirim untukku? apa aku juga bisa melakukan hal ini, jika nanti kau benar-benar tak akan kembali ke dunia ini?" tanya Harmoni dengan hati yang penuh akan rasa lega.
Harmoni akhirnya sadar, jika cara ini juga sangat efektif membuat Dewa berada di dekatnya.
Dewa yang membalas tatapan mata Harmoni hanya bisa tersenyum tipis karena apa yang dikatakan oleh Harmoni tak benar sama sekali.
"Maaf! sepertinya semua perkiraan yang ada dalam pikiranmu tak benar karena aku tak akan mungkin datang kemari lagi, semua hubungan di antara kita, jika aku sudah mengikat janji dengan perempuan lain, baik itu hubungan karena kristal ini, aku tak akan bisa mendengarkan semua teriakan minta tolongmu karena semuanya otomatis terputus, termasuk hal seperti tadi, percuma saja kau berteriak sekuat apapun karena aku tak akan mungkin datang padamu," jelas Dewa yang langsung menghantam kenyataan dalam diri Harmoni, jika gadis itu kali ini akan benar-benar kehilangan sosok pria yang ada untuknya kapanpun, di mana pun, dan Dewa kali ini benar-benar tak lagi dapat ia temui setelah kencan mereka.
"Apa kencang ini sebagai momen perpisahan kita?" tanya Harmoni pada Dewa dengan posisi ia masih berada di dalam rengkuhan tubuh Dewa.
Perlahan Dewa membenarkan posisi Harmoni menjadi berdiri tegak dengan tangan kekar pria itu yang berada di pundak Harmoni.
"Bukan momen perpisahan kita, tapi sebagai kenangan dariku untukmu, sebagai pengingat untukmu, jika kau pernah bertemu dengan pria model sepertiku yang sangat tampan dan ...."
Harmoni langsung memeluk Dewa, menghirup wangi tubuh pria itu dan merasakan suhu dingin yang tak dimiliki oleh pria lain.
"Kenapa?" tanya Dewa pada Harmoni.
"Aku hanya ingin melakukan ini, melakukan hal yang tak bisa aku lakukan lagi setelah kau benar-benar pergi meninggalkan aku," jelas Harmoni menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dewa.
"Lakukan semaumu karena aku sepertinya tak cukup keberatan dengan hal ini," tutur Dewa tersenyum sembari membelit pinggang Harmoni yang begitu pas di tangannya.
Dewa melihat bathtub yang sudah sangat penuh dengan air hangat.
"Apa kau ingin aku mandikan?" goda Dewa membuat Harmoni langsung melepaskan pelukannya.
Wajah gadis itu menatap Dewa tajam. "Sudah mulai nakal, ya?" celoteh Harmoni yang tak habis pikir dengan jalan pikiran Dewa.
Pria itu hanya tersenyum menanggapi tatapan tajam Harmoni padanya.
"Bukankah ini momen terpenting dalam hidup kita sebelum aku benar-benar pergi dari planetmu?" tanya Dewa membuat Harmoni langsung mendorong tubuh Dewa ke arah pintu keluar kamar mandi tersebut.
"Waktunya kau keluar karena aku akan membersihkan tubuhku jadi, jangan mencoba menjadi seorang pengintip ulung ya, Tuan Dewa!"
Dewa yang di dorong keluarga oleh Harmoni hanya bisa tersenyum sembari mengikuti alur kemana gadis itu akan membawanya.
Setelah Dewa sudah berada di luar, Harmoni masih belum 100 persen menutup pintu kamarnya.
Kepala Harmoni masih menyembul keluar. "Jangan lakukan hal ini pada gadis bumi lainnya, jika kau tak ingin dibuat untuk bertanggung jawab karena sudah menjadi seorang pria penguntit gadis cantik yang sedang mandi pagi," cicit Harmoni langsung masuk ke dalam kamar mandinya.
Dewa hanya bisa tersenyum puas menikmati setiap kata yang dilontarkan oleh Harmoni padanya.
"Dasar gadis menggemaskan! aku ingin memasukkanmu ke dalam karung dan membawamu ke planetku karena pasti aku akan merindukan kucing kecilku itu," pikir Dewa yang dalam hitungan detik menghilang dari kamar Harmoni tanpa jejak.
Setelah melakukan berbagai persiapan, Harmoni akhirnya sudah siap dengan setelan baju santai yang ia gunakan.
Celana jeans dan atasan blouse bunga-bunga dengan pita yang melingkar di pinggang cantiknya.
Rambut gadis itu sengaja ia kepang dua, agar kesan lucu namun, elegan tetap terlihat padanya.
Senyum di bibir Harmoni langsung terukir indah saat ia melihat bandul kalung yang berada di lehernya.
"Setidaknya, aku masih memiliki dirimu karena aku tahu, kau juga bagian dari dirinya jadi, aku tak terlalu kesepian setelah tuanmu itu pergi," gumam Harmoni berbicara sendiri dengan bandul kalung yang masih menggantung di lehernya.
Kali ini Harmoni tak menggunakan sepatu hak tinggi, ia menggunakan sepatu, agar ia lebih leluasa berjalan karena dirinya tak tahu, ke mana Dewa hari ini akan membawanya berjalan-jalan menghabiskan waktu bersama seharian penuh.
Harmoni menghubungi seseorang melalui benda pipih yang sudah menempel pada telinganya.
"Apa kau bisa mengambil alih semua pekerjaanku?" tanya Harmoni pada seseorang yang berada di seberang ponselnya yang tak lain adalah Mona, sang asisten.
"Bisa, Nona! Anda ada acara?" tanya Mona.
"Ya, seharian penuh!"
"Baik! saya akan mengambil alih semua pekerjaaan Anda!"
"Terima kasih, Mona! kau memang sangat bisa diandalkan," puji Harmoni langsung menutup panggilannya lebih dulu.
Mona yang masih berada di kamarnya hanya bisa mondar-mandir kebingungan karena gadis itu hari ini ada janji dengan seseorang.
"Bagaimana aku bisa pergi lebih awal? bos saja tak ada, aku tak bisa izin pulang lebih awal, jika pekerjaan terbengkalai, aku juga nantinya yang akan repot," gumam Mona mengigit jarinya mencari cara, apakah bisa pulang lebih awal.
Mona yang sudah tak memiliki ide, akhirnya gadis itu mencoba menghubungi seseorang.
"Halo!"
"Ada apa?" tanya seorang dari balik ponselnya yang tak lain adalah Hicob.
"Sepertinya kita tidak jadi makan siang nanti karena Nona Harmoni memberikan perintah padaku, agar aku ...."
"Kita harus tetap pergi karena aku yang akan mengurus semuanya dan kau tenang saja," jelas Hicob dengan nada yang sangat meyakinkan.
"Apa kau yakin?" tanya Mona lagi karena gadis itu masih ragu.
"Apa kau tak yakin dengan kekuatan yang aku miliki?" tanya Hicob yang langsung menyadarkan Mona, siapa pria yang saat ini berbicara dengannya.
"Astaga, aku lupa, jika kau bukan manusia biasa," tutur Mona merasa dirinya benar-benar tak peka.
Terdengar suara cekikikan kecil dari seberang ponsel Mona.
"Jangan salahkan dirimu sendiri, kau mungkin masih belum terbiasa dengan keistimewaan yang aku miliki jadi, kau harus terus mengingat itu," ujar Hicob pada Mona.
"Baiklah, aku akan segera bersiap untuk berangkat ke kantor," pamit Mona pada asisten pribadi Dewa itu.
"Aku akan menjemputmu saat jam makan siang nanti," ingatkan Hicob pada Mona.
"Ya, aku masih ingat dengan hal itu dan sampai jumpa nanti siang," tutur Mona langsung mematikan panggilannya lebih dulu.