Bayangan Kelam Rangga

Ayahnya meninggal dunia. Faranisa yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu dengan ibunya terpaksa harus mengalah. Semua ini juga bukan tanpa sebab. Semua harta kekayaan yang ayah Faranisa miliki, sehari setelah meninggal dunia, di jual oleh adik kandung ayah. Sedih, kecewa, Faranisa tidak tahu harus kembali pada siapa. Tidak ada tempat dirinya mengadu. Dalam sebuah kekalutan karena di tendang dari rumahnya sendiri, Faranisa menemukan sebuah pemikiran. Dia pernah mendengar, bahwa ibunya menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya yang berada di kota tetangga. Tidak ada tempat bagi Faranisa kembali. Hanya sebuah pengharapan inilah yang akan dia lakukan. Faranisa, dia akan menemui sang ibu yang sudah puluhan tahun tidak dia temui. Ibu yang membuangnya, Ibu yang meninggalkannya karena sang pria lebih tampan dari ayahnya. Pagi berganti malam, dengan uang seadanya, Faranisa akhirnya sampai di sebuah kota yang jauh berbeda dari kota yang ia tinggali. Bisa di bilang, jika ayah Faranisa tergolong kaya di kotanya. Tapi saat berada di sini, Ayahnya bukanlah apa-apa. Jakarta kota metropolitan. Faranisa melirik kiri dan kanan, di usianya yang menginjak tujuh belas tahun. Sejujurnya dia tidak pernah pergi tanpa sang Ayah. Faranisa dan ayahnya sangat dekat, mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Kehilangan Ayah, seperti kehilangan sebagian dari jiwa. Sebuah rumah besar dengan pagar yang tinggi, bercat putih menambah kesal elegan. Rumah itu sangat luas, dengan taman yang menyerupai lapangan sepak bola. Rumah ini, lebih besar, bahkan tiga kali lipat dari milik ayahnya. Faranisa mencoba menguatkan hati, sebelum dirinya melangkah menuju pintu rumah itu. Saat dia mendekat, dua orang penjaja mendekati dirinya. Faranisa ketakutan, dia mundur beberapa langkah. Tapi dia tidak mau kalah, ini adalah tempat dirinya hidup. Dia tidak bisa pergi begitu saja, dia harus menemui ibunya. “Aku ingin bertemu ibu, namaya Riyanti,” Penjaga itu saling melihat, lalu salah satu dari mereka masuk ke dalam pos jaga. Lalu dia tampak menelepon seseorang. Faranisa masih membatu, dia menunggu hasil dari pria yang sedang menghubungi seseorang di dalam rumah itu. Tidak lama, pria itu berjalan ke arahnya, gadis itu menegakkan dirinya. Dia menatap penjaga dengan penuh harap. Faranisa tidak bisa pulang jika ibunya tidak mau menerima. “Maaf, Nyonya berkata anda harus pergi dari sini,” Dia membulatkan mata, dia ingin menangis saat ini, tapi dirinya sadar ini bukanlah waktu yang tepat. “Katakan pada Ibu, Ayah meninggal dunia, aku tidak punya tempat kembali karena Om sudah menjual semua milik ayah. Keluarga Ayah tidak ada yang ingin menampungku, karena aku sangat mirip dengan ibu. Tolong katakan itu pada Beliau, aku mohon,” Faranisa menggoyangkan tangan penjaga tersebut. “Baiklah, saya akan katakan lagi, tapi jika anda tetap di tolak, saya mohon pergi dari sini. Kami tidak ingin berbuat kasar pada seorang wanita. Ini tidak baik bagi kami juga,” jawabnya pada Faranisa Gadis itu mengangguk, dan penjaga kembali ke dalam pos dan mengangkat teleponnya agar tersambung ke rumah utama. Penjaga menatap iba gadis itu, lalu dia kembali menunduk. Faranisa tahu, sang penjaga sedang memohon agar dia bisa masuk ke dalam. “Nak, kamu harus pergi jika Nyonya tidak izinkan masuk. Kami sangat butuh pekerjaan ini.” Faranisa mengangguk, wajahnya kuyu, Penjaga yang menelepon tadi berlari ke arah Faranisa dan teman jaganya. Wajahnya tampak sedih! Dia rasa ibunya tidak ingin dia masuk. “Maafkan saya, Nak. Saya sudah berusaha meyakinkan, Nyonya,” Faranisa tersenyum, dia sedih, tapi penjaga tadi mengatakan pekerjaan ini bisa lepas darinya jika dirinya terus memaksa. Tidak lama kemudian, Faranisa yang kacau pun pergi dari halaman rumah itu, dia menatap sepintas. Kemudian dia melangkahkan kakinya. ‘Srz’ Hujan turun tiba-tiba, penjaga tersebut memilih tidak ikut campur dengan masalah Faranisa dan masuk ke dalam pos. Dia bisa mengerti, dia pun melangkahkan kakinya untuk pergi. ‘Cit,’ Sebuah mobil sport berwarna merah berhenti di depan pintu pagar tersebut, kepalanya keluar meminta Faranisa cepat pergi dari hadapannya. Gadis itu bingung, dia sedang linglung. Tapi orang akan melihatnya seperti orang bodoh yang termenung di depan jalan masuk orang lain. ‘Tin, tin,’ Klakson terus berbunyi. ‘Brak’ Tiba-tiba Faranisa jatuh tersungkur, dia pingsan. Pria yang berada di balik mobil itu melihatnya, dia merasa gugup, apa mungkin karena klakson, gadis ini pingsan. Penjaga yang melihat itu langsung berlari ke arah Faranisa dan sang pria. “Cepat angkat, bawa masuk ke dalam,” “Tapi, den,” “Apa,” “Den, Nona muda ini anak kandung Nyonya yang tinggal di kota seberang. Nyonya sudah menolaknya, jadi tidak boleh masuk.” “Apa,? kamu gila? Sekarang bawa dia masuk. Aku tidak mau tahu, biar si Riyanti gila itu, aku yang hadapi,” Kedua penjaga terdiam, lalu dia kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Faranisa sudah di gotong oleh dua orang penjaga.