The Handsome CEO And I 1
Prolog
Pembicaraan tentang CEO baru di perusahaan tempatku bekerja sudah berlangsung selama satu minggu ini. Tadinya para karyawan mengira kalau CEO yang akan menggantikan Pak Rafi adalah salah satu anaknya yang memang sudah dewasa, tapi nyatanya tidak. CEO pengganti Pak Rafi ternyata seorang pengusaha muda yang selama ini tinggal di luar negeri lebih tepatnya di Jerman. Giovanni Abraham, nama CEO pengganti Pak Rafi ternyata nama itu sangat terkenal karena ketika Kartika mengetikkan nama itu di google Namanya akan langsung muncul dengan berbagai prestasi dan pencapaian dia yang luar biasa.
Giovanni Abraham, sang CEO segera saja menjadi pembicaraan terutama di kalangan karyawati dari kalangan atas maupun kalangan bawah karena wajahnya yang tampan dan juga karena lajang. Aku garis bawahi ‘lajang’ karena itu yang membuat banyak karyawati yang bersemangat, siapa tahu ada yang bisa menggaetnya.
Aku sendiri tak terlalu tertarik dengan euphoria itu karena sampai saat ini aku masih trauma untuk menjalani hubungan lagi. Tujuh tahun aku menjalin hubungan dengan Tedy, kami sudah bertunangan bahkan rencana pernikahan sudah di depan mata saat aku harus menerima kenyataan kalau Tedy ternyata berselingkuh dengan teman satu kantornya. Aku merasa sangat marah, benci dan sakit hati karena ternyata Tedy menghamili perempuan itu dan dia menuntut tanggung jawab dari Tedy.
Saat pertama kali mendengar nama itu aku sempat teringat dengan teman masa kecilku yang bernama Giovanni Abraham. Kami satu kelas meski usianya dua tahun di atasku karena dia terlambat masuk sekolah. Fani, aku biasa menyebutnya berasal dari keluarga yang sangat miskin, ayahnya sudah lama meninggal sedang ibunya hanya seorang buruh cuci sedang kakaknya bekerja di kota membantu perekonomian keluarganya sebagai pembantu rumah tangga. Fanni selalu ada di sisiku hingga di pertengahan kelas dua SMP ibunya meninggal dan kakaknya membawanya ke kota. Sejak itu aku tak pernah melihatnya lagi.
Sebagai seorang staf di bagian pemasaran, aku tak terlalu berharap banyak pada pergantian CEO yang ada di perusahaan karena aku tetap saja hanya seorang staf. Sebagai seorang staf tentu saja kemungkinanku bertemu dengan CEO sangat kecil jadi aku merasa tak perlu terlalu senang dengan perubahan pimpinan yang terjadi.
Aku tersenyum saat melihat rekan-rekanku berdandan sangat cantik hari ini seakan mereka hendak bertemu dengan pangeran pujaan mereka.
“Kamu harusnya sudah move on, Lia. Ini sudah hampir setahun Tedy meninggalkan kamu, dia bahkan sudah bahagia dengan istri dan anaknya sekarang sementara kamu masih saja terpuruk,” kata Tina yang duduk di depanku.
Aku tersenyum, ”Aku sudah move on dari Tedy, Tin hanya aku aku belum bisa membuka hatiku lagi,”
“Bukannya kamu mau menerima adiknya mbak Minah yang katanya kerja di luar negeri?” ledek Tina.
Aku tertawa kecil, Mbak Minah adalah salah satu Office girl senior di tempatku bekerja, perempuan bertubuh tambun itu sangat baik kepadaku. Usia Mbak Minah sekitar empat puluh lima tahun, dia masih lajang hingga saat ini. Dia tak pernah bercerita kenapa dia belum menikah karena aku tak berani menyinggungnya. Sejak tahu aku putus dengan Tedy, mbak Minah getol sekali menjodohkanku dengan adiknya yang katanya kerja di luar negeri. Meski tak ada yang mempercayainya kalau adiknya bekerja di luar negeri. Mbak Minah tak pernah berkecil hati. Kalaupun ada mereka menganggap adik mbak Minah hanya sebagai TKI yang bekerja di kelas bawah sama seperti dirinya.
“Entahlah, mungkin aku akan menerimanya,” jawabku sambil tergelak.
Tina dan Ersa tertawa dengan jawabanku.
“Aku yakin adiknya mbak Minah cakep, kok. Mbak Minah itu sebenarnya cantik cuma dia gak pernah berdandan aja,” belaku.
“Iya, jarang mandi juga, jangan-jangan adiknya juga gitu, Lia,” Ersa ngakak diikuti Tina. “Jangan-jangan dia juga bertubuh tambun dan jarang mandi juga.”
Aku tertawa, ”Nasib berarti,”
Kami bertiga masih tertawa saat Riska datang dan mengatakan kalau Giovanni, sang CEO baru, baru saja sampai di tempat ini. Tina, Riska, dan Ersa segera menuju ke tempat dimana mereka bisa melihat sang CEO lewat tapi mereka bertiga harus kecewa karena Gio memilih menaiki lift khusus begitu dia dan asisten seta para pengawalnya memasuki bangunan ini menuju lantai paling atas.
Seorang perempuan cantik bertubuh gempal dengan dandanan yang menor tersenyum sambil membawa nampan berisi beberapa gelas the manis dan juga kopi. Melihat senyumnya aku merasa pernah melihat perempuan itu tapi entah di mana. Sepertinya dia sengaja pergi ke salon untuk berdandan hari ini, dia bahkan mengenakan alis palsu yang membuatnya semakin cantik.
“Mbak Lia pangling, ya?” katanya sambil tersenyum sangat manis.
Aku menatapnya dengan kening berkerut, suara perempuan itu sangat familiar.
“Mbak Minah?! Ya, ampun… cantik banget!” teriak Ersa membuatku kaget.
Mbak Minah? Ah, ya. Senyuman dan suara itu memang khas dia. Aku menatap Mbak Minah, rasanya masih sulit untuk tak percaya perempuan cantik itu mbak Minah.
Mbak Minah tertawa dia merasa bangga karena orang-orang mengagumi kecantikannya.
“Adikku sudah pulang ke Indonesia, mbak. Tapi maaf belum bisa ketemu mbak Lia, aku harap bisa secepatnya,” kata mbak Minah sambil meletakkan gelas berisi the manis di kubikelku.
“Iya, gak papa, mbak.” Aku tersenyum, hatiku tiba-tiba berdebar kencang mendengar perkataan mbak Minah. Apakah aku akan benar-benar menerima adik mbak Minah meski aku belum pernah melihat siapa dia? Kenapa juga aku mesti berdebar membayangkan pertemuan dengan Ivan, adik kesayangan mbak Minah.
“Wah, gimana sih, Mbak. Lia kan sudah penasaran sama adiknya mbak Minah,” goda Riska sambil menatapku.
“Iya, tapi saat ini Ivan sedang mengurus usahanya di sini,”
“Sebenarnya adik mbak Minah punya usaha apa?” tanya Tina dengan nada merendahkan.
“Cuma usaha kecil-kecilan yang penting bisa menghidupi anak dan istrinya kelak,” jawab mbak Minah merendah sambil tersenyum. Mbak Minah meletakkan gelas-gelas berisi teh dan kopi di kubikel masing-masing.
“Hebat, ya,” puji Riska.
“Dia cuma berusaha untuk mandiri,”
“Usaha di bidang apa, mbak?’ tanya Tina mulai tertarik.
“Apa saja yang penting halal,” jawab mbak Minah kalem.
Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka, diam-diam aku mengagumi Ivan yang tak mau bergantung pada orang lain. Sebagai seorang lulusan luar negeri dari dan pernah bekerja di sana aku yakin Ivan akan diterima dengan mudah di perusahaan-perusahaan di Indonesia.
“Kayaknya Lia speechless dengar itu,” Ersa tersenyum.
Aku hanya tertawa.
“Atau jangan-jangan si Ivan itu takut ketemu sama Lia, takut Lia menolaknya,”
Mbak Minah tertawa, ”Tidak, tapi Ivan memang benar-benar sibuk sekarang, nanti kalau kesibukan dia sudah berkurang, dia janji mau ketemu mbak Lia.” kata Minah lagi lalu pamit dari depan kami.
“Cie, yang mau ketemu sama calon suami,”goda Ersa sambil tertawa.
“Salam, buat Ivan, Mbak…. dari Lia,” Yuni agak berteriak.
***
Sebenarnya cerita ini sudah lama sekali ada dalam pikiranku, pernah beberapa kali aku coba tuangkan menjadi tulisan tapi tak pernah jadi. Pernah juga aku coba tulis di sebuah platform tapi tak pernah jadi juga.
Semoga kalian suka dengan n****+ ini.
AlanyLove