Bekal

1171 Words
Jam istirahat makan siang, ruangan ini selalu selalu sepi karena teman-temanku sudah pamit sejak tadi untuk menuju kantin sedang aku seperti biasa masih duduk di depan komputerku. Aku mengeluarkan bekalku yang kubawa dari rumah, setiap pagi aku akan selalu memasak untuk sarapan dan menyiapkan bekal untuk makan siang. Ini adalah kebiasaanku sejak kecil, terkadang kebiasaan menyiapkan bekal ini mengingatkankanku pada sahabat kecilku di masa lalu, Fani. Aku berteman secara tak sengaja waktu itu, meski berada di sekolah dan kelas yang sama tapi kami berada di ruangan berbeda. Fani di kelas A sedang aku di kelas B, suatu ketika aku dihadang beberapa anak laki-laki yang merupakan kakak kelasku yang bertubuh besar. Mereka meminta uang jajanku dengan paksa tapi aku menolak saat mereka mengancamku tiba-tiba datang seorang anak laki-laki yang kurus kering dan dekil untuk menolongku. Dia melawan anak-anak kelas lima yang seumuran dengannya meski dia sendiri babak belur tapi anak-anak kelas lima itu akhirnya lari meninggalkan tempat ini karena mereka tidak bisa melawan Fani yang ternyata jago bela diri. Aku mengucap terimakasih padanya berkali-kali, kalau tak ada Fani, aku pasti akan kehilangan uang sakuku lagi seperti hari-hari sebelumnya. Karena didorong oleh salah satu anak kelas lima yang hendak merebut uangku, aku terjatuh ke atas tanah membuatku merasa sakit saat kakiku kupakai untuk melangkah. Fani yang dalam kondisi babak belur, segera menggendongku ke punggungnya dan membawaku ke sebuah pos kamling yang berada tak jauh dari kami. Sejak hari itu kami menjadi akrab, aku jadi tahu kalau orang tua Fani sangat miskin, ayahnya sudah meninggal saat dia masih bayi, ibunya seorang tukang cuci baju dengan penghasilan yang tak menentu, suatu hari ibu Fani merusakkan baju mahal milik orang kaya yang ada di desa kami dan orang kaya itu meminta ganti rugi yang sangat besar, dia juga mengompori orang-orang desa untuk tidak menggunakan jasanya lagi jadi praktis ibu Fani tidak berpenghasilan. Fani memiliki saudara permpuan yang usianya jauh lebih tua darinya yang bekerja di kota menjadi pembantu rumah tangga untuk membantu menopang kehidupan ibu dan adiknya dengan penghasilannya yang tidak seberapa. Aku sering mendapati Fani tidak makan karena itu aku sering memberikan bekalku padanya meski awalnya dia menolak tapi aku memaksanya. Karena Fani tak mau mengambil bekalku maka aku bagi dua bekal yang aku bawa agar kami bisa makan bersama. Aku mengeluarkan kotak nasi berisi bekal yang kubawa dari kontrakanku, bersahabat dengan Fani waktu itu membuatku menghargai setiap makanan yang ada. Dulu aku sangat pemilih dalam hal makanan sampai bunda merasa kesal karena aku selalu menyisakan makanan yang tak kusuka tapi setelah Bersama Fani ibu heran aku karena aku selalu nmenghabiskan bekalku bahkan aku menambah porsinya. Suatu ketika bunda tahu kemana aku selalu membawa porsi lebih untuk bekalku dan itu membuatku takut. Kukira bunda akan memarahiku dan Fani tapi Bunda justru menyiapkan bekal khusus untuk sahabatku. Aku mulai menyantap nasi dengan sayur oseng kacang panjang dengan lauk ayam goreng sambil sesekali menggerakkan mouse di depanku. “Alia Fauzia Danarto,” suara berat seorang laki-laki menyentuh gendang telingaku. Aku merasa heran ada orang yang memanggilku dengan nama lengkapku karena selama lima tahun bekerja di tempat ini belum pernah ada yang memanggilku dengan nama lengkap. Aku mendongak, dan menemukan seorang laki-laki dengan tubuh tegap dan wajah tampan segera tersenyum saat mata kami bertemu. Aku mengerikan keningku dan bertanya-tanya dalam hati siapa laki-laki itu. “Kamu lupa padaku?” tanyanya dengan senyum yang lebar, suaranya terdengar sangat ramah. Aku menatap laki-laki itu dari ujung rambut ke ujung kaki. Sembari mengingat dimana Aku pernah melihatnya. Mata legam itu mengingatkanku pada seseorang tapi aku tak yakin karena tubuh laki-laki di depanku ini terlihat tegap dengan kulitg terang sedang orang yang kubayangkan bertubuh kurus kering dan tampak dekil dengan warna yang lebih gelap. Aku memandanginya cukup lama, senyum itu terasa familiar bagiku tapi aku lupa dimana aku pernah melihatnya. Tiba-tiba aku ingat kalau foto wajah tampan ini sudah hampir dua minggu wara-wiri di grup chat karyawan, dia adalah CEO baru di perusahaan tempatku bekerja, Giovanni Abraham. Aku tak menyangka kalau dia benar-benar tampan, pantas saja para karyawati di sini mengidolakannya dan berharap bisa menjadi istri dari sang CEO. Kata Tin bahkan sudah ada grup khusus untuk para fans Gio yang anggotanya bukan saja para lajang bahkan para karyawati yang sudah bersuami juga banyak yang masuk grup itu Mereka rela menceraikan suami mereka demi dapat menikah dengan Gio. Mereka, para karyawati itu berko mpestisi secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi untuk menarik perhatian Gio. Aku sendiri tak tertarik dengan dengan kompetisi itu, selain aku tak tertarik karena aku masih merasa trauma dengan hubunganku dengan Tedy, aku juga sudah terlanjur menyanggupi untuk menerima adik laki-laki Mbak Minah yang bernama Ivan yang katanya berada di luar negeri dan bekerja di sana. *Lia, kamu benar-benar tidak ingat padaku?” tanya laki-laki itu mengagetkanku. “Pak Gio? Maaf aku tidak langsung mengenali Bapak,” kataku sopan, tentu aku tak mau dianggap sebagai karyawan yang tak tahu siapa pimpinannya. Aku tersenyum dan memalingkan wajahku darinya. Ah, dia memang sangat tampan, pantas saja banyak yang tertarik padanya. Aku kembali menatapnya, merasa aneh seorang CEO sepertinya bisa mengenalikuyang hanya seorang staf dan bahkan tahu nama lengkapku. “Lia,” Gio menatapku lekat dan menyibaknya poninya, aku menatap bekas luka memanjang di bawah garis rambutnya yang sudah memudar. Aku terbelalak melihat bekas luka itu. Mungkinkah…. “Aku Fani, Lia” katanya kemudian ketika dia merasa aku tak juga bisa mengenalinya. “Fani?” aku membelalakkan mata menatapnya tak percaya. Jadi dia benar sahabat masa kecilku. “Giovanni Abraham?” Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum lebar. Tanpa sadar aku beranjak dari dudukku dan segera memeluknya dan Gio segera membalas pelukanku. ”Kamu menghilang begitu saja, Fan. Aku sangat kehilangan kamu apalagi tak pernah tahu kabar dari kamu,” aku tak bisa membendung air mataku, aku merasa bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Gio pergi ke kota mengikuti kakaknya saat kami kelas dua SMP, seminggu setelah kematian ibunya yang menderita sakit di daerah pencernaannya. Aku menangis berhari-hari setelah kepergian Gio karena aku tak lagi memiliki sahabat yang selalu membantuku kapan saja aku membutuhkannya dan yang terpenting tidak ada lagi yang membantuku mengerjakan tugas-tugasku. “Aku juga selalu merindukanku, Lia,” katanya lembut membuat darahku berdesir. Gio mengelus punggungku lembut membuatku sadar aku berada di dalam pelukan seorang laki-laki. Aku segera melepaskan diri dari pelukannya dan kembali duduk di kursiku, aku segera mengambil tisu dan mengusap air mataku, aku menatap Gio sambil tersenyum. “Jadi kamu CEO baru itu, Fan? Hebat! Aku sungguh tak menyangka!” pujiku sambil menatapnya dengan penuh kekaguman. Sungguh aku tak pernah menyangka kalau sahabat kecilku yang begitu miskin bisa menjadi pemilik perusahaan besar tempatku bekerja saat ini. Gio tergelak melihat kekagetanku, sama sekali tak terlihat sombong dengan pencapaiannya. Gio menarik kursi Riska yang ada di sampingku dan duduk di sana, menatap kotak makananku yang masih tersisa separuh. “Aku merindukan masakan bunda, apakah masakanmu seenak masakan bunda?” Gio tersenyum meraih kotak makanku dan menyendok isinya menggunakan sendok yang kupakai kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Aku menatapnya, speechless. *** Jangan lupa untuk tap love nya, ya. Thank you.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD