Awal yang Baik

1101 Words
Fajar kembali datang dengan kasur dan selimut untuk Alisha. Ia semangat membantu gadis itu, dan menuruti semua perintah bu Fatimah. Setelah menyimpan bawaannya, bu Fatimah meminta agar Fajar kembali ke warung bersamanya. Alisha sendiri segera berbenah merapikan kamarnya. Setelah hampir semua selesai, Fajar kembali dengan beberapa perkakas untuk mengisi dapur dan kamar mandi. Tak banyak tapi lengkap, Alisha lihat semua barang ini yang ada di warung. "Kenapa pada dibawa ke sini?" tanya Alisha heran. "Bu Fatimah yang minta. Udah, terima aja!" jawab Fajar. "Ya, bukan gitu. Aku jadi makin gak enak." "Emang kenapa sih? Ada sesuatu ya, di antara kalian?" "Iya. Semalam aku ceroboh." "Apa itu yang bikin kamu semalam nangis?" "Iya," jawab Alisha. Namun kemudian, "kok, kamu tahu?" sambungnya. "Tahulah!" "Jadi kamu gak pergi?" "Gak. Aku tahu kamu sedang sedih! Mana mungkin aku tega ninggalin kamu sendiri," ucap Fajar mengungkapkan yang sebenarnya. Ia bersikap sesantai mungkin. Sedangkan Alisha sendiri, ia tertegun untuk beberapa saat. Sepeduli itu kah Fajar padanya? Blush. Seketika pipinya memerah, semerah buah tomat. "Kamu udah selesai beres-beresnya?" tanya Fajar kemudian setelah ia merapikan perkakas yang dibawanya. "Sudah," jawab Alisha seraya mengangguk. "Ya udah, yuk!" ajak Fajar kemudian. "Ke mana?" "Ikut saja!" Fajar pun segera berdiri kemudian beranjak ke luar. Alisha mengikuti. Entah ke mana dirinya akan dibawa. Mereka pun pergi setelah sebelumnya mengunci pintu. Fajar membawa Alisha kembali ke warung bu Fatimah. Keduanya pun segera masuk. Di dalam telah tersaji makanan di atas meja. Bu Fatimah yang baru selesai menyiapkan, melambaikan tangannya mengajak mereka segera menghampirinya. Mereka pun makan bersama. Sederhana, tapi sangat berarti bagi Alisha. Tak henti-hentinya ia bersyukur dalam hati sambil menyuapkan makanan. Allah yang memberi semua ini, termasuk kebaikan hati bu Fatimah. "Alisha, besok kita buka warung seperti biasa. Nanti kamu datang ke sini setelah shalat subuh aja." "Oh iya, Bu." "Hari ini, kamu istirahat dulu di kontrakan. Ibu sendiri juga ingin beristirahat. Sepertinya kita memang harus mengambil waktu libur minimal satu bulan sekali." "Betul tuh, Bu. Jangan terlalu diforsir. Sesekali relaksasi," timpal Fajar. "Iya, kamu bener, Jar. Ya sudah, ibu mau pulang ke rumah. Ini ibu bawa kunci depan, nanti kamu bawa pulang kunci belakang ya, Alisha!" "Baik, Bu." Setelah selesai makan, Bu Fatimah segera pulang meninggalkan Fajar dan Alisha berdua. Mereka masih di sana membersihkan dan merapikan alat makan yang sudah dipakai. "Jalan-jalan ke luar, yuk!" ajak Fajar kemudian. "Boleh. Tapi beri aku waktu satu jam," jawab Alisha. "Buat apa?" tanya Fajar heran. "Pokoknya kamu sekarang pulang dulu, setelah satu jam baru kembali lagi ke kontrakan aku!" "Hmmm, baiklah baiklah." Keduanya sama-sama keluar, kemudian Alisha mengunci pintu belakang. Setelah itu ia kembali ke kontrakan sedangkan Fajar menuju tempat diamnya. Sesampainya di kontrakan, Alisha bergegas menuju kamar mandi, membersihkan diri. Tadi pagi, sebelum keadaan sebaik saat ini, ia tak begitu peduli terlihat kumal belum mandi. Akan tetapi, saat Fajar mengajaknya jalan-jalan, tentu saja ia harus mempersiapkan diri setidaknya mandi. Mungkin, pria bisa secuek itu, tapi wanita tidak. Apalagi saat ini Alisha melihat Fajar dengan pandangan yang berbeda. Ada yang menyenangkan hatinya saat berduaan saja dengan pria itu, hingga melupakan semua kesedihan yang telah dilaluinya. Selesai mandi, Alisha segera mencari pakaian yang pantas digunakan saat ini. Ia kembali mengenakan jilbab pemberian Fajar serta rok plisket kesayangannya. Sedangkan atasannya ia memilih tunik yang biasanya dipadukan dengan celana panjang. Sedikit minyak wangi disemprotkan pada tubuhnya. Minyak wangi dari saat ia sekolah yang kini tinggal sedikit lagi. Yang penting ada aroma wangi tercium walau sedikit. Setelah itu, barulah Alisha siap. Tak lama kemudian, Fajar kembali datang. Ia memanggil Alisha setelah mengucapkan salam. Alisha pun segera membuka pintu setelah menarik nafas beberapa kali. Ya, ada degupan kencang di dalam dadanya. Dengan jantung berdebar-debar serta rasa gembira yang membuncah, Alisha membukakan pintu. Ya, bagaimana tidak ini sudah seperti kencan di siang hari yang nyaris tak pernah ia lakukan. Namun, saat sosok Fajar terlihat olehnya, Alisha justru malah malu sendiri. Entah ia yang berlebihan atau Fajar yang terlalu tak peduli. Pakaian yang dipakai mereka sangat kontras, sehingga Alisha tampak semangat sendiri. Ketika Alisha mengenakan pakaian terbaiknya, bahkan ia menyemprotkan parfum pada tubuhnya, Fajar justru mengenakan pakaian seadanya. Ia menggunakan kaos hitam dengan bawahan menggunakan sarung, kepalanya ia tutupi dengan peci hitam yang sudah memudar warnanya. Alisha malu bukan karena tampilan Fajar, tapi ia malu pada diri sendiri karena berlebihan soal ini. Ya, karena Fajar tampak hanya menganggap ini sebagai jalan-jalan biasa. Mereka pun berjalan beriringan seperti pasangan. Alisha mengikuti langkah Fajar ke mana pun ia membawanya. Dan Fajar hanya membawa gadis itu ke taman. Tak ada yang spesial di taman selain orang yang berlalu lalang dan pedagang mainan asongan yang menyerbu anak-anak. Aktifitas di sana tetap sama, seputar orang-orang yang berpasangan seperti mereka atau sebuah keluarga yang sengaja bermain bersama anak-anaknya. Alisha merasa terlalu berlebihan karena menganggap ini sebuah kencan. "Sha, tunggu sebentar ya. Aku mau beli minuman dulu," ucap Fajar. Alisha hanya mengangguk. Selagi menunggu Alisha kembali mengingat semua kejadian yang terjadi sejak kemarin. Ia sadar Fajar saat ini mencoba menghiburnya. 'Astaghfirullah. Harusnya aku bersyukur!' gumamnya dalam hati. Tak lama kemudian Fajar kembali. Ia membawa dua botol minuman serta beberapa ciki dan wafer untuk makanannya. Fajar menyodorkan salah satu minumannya setelah membuka tutup botolnya bada Alisha. "Nih, diminum!" ujar Fajar kemudian. "Makasih." Alisha menerima minuman tersebut. "Oh ya, Sha. Besok lusa kan kelas ibu hamil itu, kamu mau ikut?" "Entah, Jar. Aku masih gak enak sama bu Fatimah. Jadi aku mau bantu dia di warung aja." "Ah, iya juga sih. Gimana kalau aku yang bilang?" "Jangan. Biarin lah, gak ikut pun gak apa-apa kali." "Ya, mana tau ada yang bisa kamu ambil ilmu dari sana?" Fajar terus meyakinkan. Akan tetapi, Alisha tak menyahut. Pandangannya lurus fokus pada seseorang yang tak jauh dari mereka. Alisha semakin lekat memandangnya dan mengingatnya. Ibu dan anak itu, Alisha tahu mereka orang yang semalam. Perlahan, Alisha mendekat sambil memastikan. Hingga jarak mereka sudah dekat, Alisha pegang tangan wanita itu. "Tunggu, ibu yang semalam datang ke warung makan bu Fatimah kan?" tanya Alisha tanpa melepaskan tangannya. Ia mencengkram kuat agar ibu itu tidak bisa pergi. "Ada apa? Siapa dia, Alisha?" tanya Fajar heran melihat Alisha yang tampak marah dengan wajah merah padam. "Dia, Jar. Ibu yang semalam mencuri uang!" teriak Alisha mengundang beberapa pasang mata menoleh. "Sha, kamu tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik." Kemudian Alisha melihat ke arah putranya. "Nah, anak ini ... anak ini yang merengek minta telur dadar, dan saat aku buatkan mereka pergi dengan uang yang ada di laci!" Alisha masih saja marah tak mendengarkan ucapan Fajar. "Oke, oke. Ibu, apa benar ibu yang melakukan?" tanya Fajar kemudian. Ibu itu tak menjawab, ia malah nangis sesenggukan dibarengi dengan rengekan putranya yang ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD