Kejutan

1042 Words
Suara adzan yang dikumandangkan membangunkan Alisha dari tidurnya. Matanya terbuka seraya menggeliat. Ia kembali dihampiri perasaan bersalah, karena biasanya bu Fatimah lah yang membangunkan dia sebelum adzan subuh. Saat ini, wanita itu tak datang. Mungkin ia tak memiliki modal untuk jualan hari ini, atau masih marah atas kecerobohan Alisha semalam. Ah, bu Fatimah. Ayolah, ini kecerobohan bukan kesengajaan, jadi Alisha tak salah sama sekali! Gadis itu segera membereskan tempat tidurnya, kemudian menggelar sajadah sebelum mengambil air wudhu. Setelah berwudhu, barulah dua rakaat sebelum subuh ia dirikan. Fajar pernah mengingatkannya, bahwa pahala dua rakaat sebelum subuh lebih besar dari dunia dan segala isinya. Setelah itu, barulah Alisha dirikan shalat subuh. Waktu yang dimilikinya saat ini sangat banyak, sehingga Alisha bisa melakukan banyak amalan setelah shalat. Dimulai dari membaca dzikir selepas shalat, membaca Al Qur'an, kemudian membaca dzikir pagi. Ia duduk khusyuk hingga matahari terbit dari timur. Setelah semua amalan selesai ia lakukan, Alisha kembali berdiri untuk shalat Dhuha. Ah, apalagi yang bisa ia lakukan saat ini selain melakukan amalan yang tak pernah ia lakukan setenang ini. Waktu yang senggang ini ia manfaatkan dengan baik, karena biasanya waktu yang ia miliki sangat sempit. Selesai shalat Dhuha dan berdoa, barulah Alisha beranjak dari tempat shalatnya. Ia bereskan kembali alat shalat itu dan menyimpannya ke semula. Kemudian ia merapikan pakaiannya, karena mungkin hari ini ia tak bisa lagi tinggal di warung milik bu Fatimah. Selagi membereskan pakaian Alisha yang tak seberapa, terdengar suara ketukan pintu belakang. Alisha rasa itu adalah Fajar. Saat ini ia tak perlu lagi menyembunyikan sehingga dengan cepat Alisha menuju daun pintu dan membukanya. Akan tetapi, Alisha salah mengira. Yang berada di balik pintu tidaklah sesuai dugaannya. Ia justru pemilik warung ini, bu Fatimah. Dengan salah tingkah Alisha mundur teratur. "Eh, Bu?" lirihnya, ia langsung merasa terintimidasi hanya dengan melihatnya. "Sebaiknya bereskan semua pakaian kamu sekarang. Sepertinya kamu sudah tidak bisa tinggal di sini lagi," ujar bu Fatimah seraya memasuki warungnya. Deg! Bulir bening yang siap meluncur bebas, Alisha tahan. Ia tahu bahwa dirinya tak lagi pantas tinggal di sini. Alisha siap bila harus pergi, tapi diusir seperti ini ia tak siap hati. Rasanya, dosa Alisha begitu besar sekaligus ia merasa dejavu dengan perlakuan ini. Perlakuan dari keluarga Dita. Walau begitu, Alisha tak bisa apa-apa. Ia segera menyelesaikan merapikan pakaiannya yang sudah dibereskan sebagian. Tanpa perlu membersihkan diri, ia segera mengenakan pakaian tertutup. Sweater dari Dita ia gunakan dipadukan dengan rok plisket hitam yang ia miliki satu-satunya. Kemudian ia mengenakan jilbab hitam pemberian Fajar yang baru ia pakai hari ini. Alisha membawa tas besar dan tas ranselnya ke luar. Bu Fatimah masih duduk menunggu. Wajahnya yang datar, Alisha tak berani menatapnya. Ia ingin hanya segera melaluinya. "Saya pamit, Bu. Terima kasih sudah baik selama ini," ucap Alisha. Kemudian gadis itu mengeluarkan uang dari sakunya. "Ini, Bu. Ini pasti tidak bisa menutupi uang yang hilang. Tapi aku hanya ada segini. Nanti sisanya aku ganti di kemudian hari," sambungnya. Bu Fatimah masih bergeming, ia tak memberi tanggapan membuat Alisha memilih untuk menyimpan uangnya di atas meja. Kemudian ia segera melangkah pergi. "Mau ke mana kamu?" tanya bu Fatimah tanpa ekspresi. "Entah, ke mana saja, karena ini bukan tempat aku." "Memang ini bukan tempat kamu. Jadi sebaiknya kamu pergi. Tapi ikuti aku!" Alisha mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan ucapan bu Fatimah. Namun, ia memilih diam daripada bertanya. Bu Fatimah pun beranjak setelah mengambil uang Alisha yang disimpan di meja. Lalu ia melangkahkan kaki menuju ke luar, dari belakang Alisha mengekorinya. Baru saja sampai di ambang pintu, Fajar datang. Suasana yang semula canggung semakin kaku. Tentu saja, Fajar yang paling kebingungan. Diamatinya wajah dua wanita di depannya, keduanya sangat serius. Kemudian Fajar melihat Alisha yang membawa tas besar, barulah ia bisa menyimpulkan ada yang terjadi di antara mereka. Fajar kembali teringat tangisan Alisha semalam. Sepertinya Alisha berbuat kesalahan, itu yang Fajar pikirkan. Tanpa bersuara, bu Fatimah meneruskan langkah. Kini tak hanya Alisha, Fajar ikut mengekorinya. "Kalau mau ikut, sebaiknya kamu bawakan tas besar Alisha!" ucap bu Fatimah datar tanpa menoleh. Fajar langsung mengambil alih tas besar dari pemiliknya. Mereka menyusuri jalan kemudian masuk gang dengan diam. Fajar semakin bingung, apalagi Alisha. Sebetulnya, apa yang sedang bu Fatimah lakukan? "Ini kita mau ke mana sih?" tanya Fajar pada Alisha dengan berbisik. Alisha menggeleng. "Kalian kenapa?" tanya Fajar kembali masih dengan suara berbisik, karena ia takut wanita di depannya menengok ke belakang. Namun, lagi-lagi Alisha hanya menggeleng. Tak mendapat jawaban dengan dua pertanyaan, Fajar pun pasrah dan terus mengikuti ke mana pun mereka pergi. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah rumah petak yang memiliki model yang sama. Alisha menduga jika ini adalah rumah kontrakan. Alisha masih diam berdiri di luar saat bu Fatimah memasuki salah satunya. Pun demikian dengan Fajar. Mereka terlalu lambat mencerna dengan keadaan yang seperti ini. Terlebih lagi Alisha. Tak mungkin kan jika kontrakan ini untuknya. Jika benar pun, Alisha tak punya banyak uang untuk menyewanya. "Kenapa masih diam di sana? Ayo, masuk!" panggil bu Fatimah. Fajar mendahului masuk sedang Alisha masih terpaku. Namun, kemudian ia juga ikut masuk ke dalam. "Bu, Alisha pindah ke sini?" tanya Fajar akhirnya. "Ya, di warung sangat sempit. Jadi lebih baik di sini saja. Nanti kasurnya kamu bawakan ya, Jar. Ibu belum mampu membelinya," jawab bu Fatimah. Saat ini ia lebih tenang daripada sebelumnya. "Eh, maksud Ibu?" Alisha semakin bingung dibuatnya. "Masih gak jelas? Kamu kan sudah akan melahirkan, jadi ibu pindahkan ke sini!" "Pindahkan? Bukannya ibu …." "Hei! Apa aku terlihat sejahat itu?" Alisha menggeleng cepat. "Ya sudah, sekarang bereskan baju-baju kamu di kamar. Sudah ada lemarinya, kok!" Alisha pun masuk ke dalam kamar. Kontrakan ini cukup besar ditinggali Alisha seorang diri. Tergolong lengkap karena memiliki kamar dan dapur serta kamar mandinya. Ruang penghubung antara ketiganya bisa digunakan sebagai ruang tamu atau ruang tengah. "Bu …." Alisha mulai berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Bu." Ia sudah tak lagi bisa membendung air matanya. Refleks tubuhnya menghambur memeluk bu Fatimah. "Sama-sama." Bu Fatimah mengeluarkan kembali uang Alisha. "Ini simpan saja, buat tabungan kamu nanti." "Tapi, uang yang semalam?" "Ssstt. Ibu sudah ikhlaskan. Maaf ya, Ibu sempat marah sama kamu. Tapi ibu tidak benar-benar marah, kok! Kita berdoa saja, semoga Allah segera ganti." "Terima kasih banyak, Bu. Jazakillah khairal jaza." "Aamiin." Wajah bu Fatimah yang semula kaku kini kembali mengulas senyuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD