Malam Harinya

1079 Words
Alisha pulang tanpa hasil. Ia sudah kelelahan mencari ke semua tempat yang dapat didatanginya tapi pencuri itu tak ditemukan. Mungkin, anak dan ibu tadi bisa saja menggunakan sepeda motor. Alisha tak begitu memperhatikan. Bu Fatimah masih dengan rasa cemasnya menunggu kabar dari Alisha. Ia tergopoh-gopoh segera mendekat, menanyakan hasilnya. "Gimana?" tanya bu Fatimah penuh harap. Alisha menggeleng lemah. "Maafin aku ya, Bu, maaf. Nanti aku ganti!" ucap Alisha memohon, walau ia tak tahu bagaimana caranya. "Ganti? Uang darimana? Uang itu tidak sedikit Alisha!" tukas Bu Fatimah. "Kamu tahu? Hari ini saya mendapatkan banyak keuntungan. Uang itu masih rapi karena baru saja saya hitung. Baru saja saya tinggal shalat, semuanya sudah hilang. Astaghfirullah, bagaimana besok saya jualan?" ratap bu Fatimah. Ya, tentu saja kehilangan uang bukanlah hal yang enteng. Sebagai manusia normal, Bu Fatimah merasa frustasi. Begitu juga Alisha, apalagi ini karena kecerobohannya. "Aku janji, aku akan ganti, Bu! Berapa jumlahnya?" tanya Alisha. Ia menundukkan kepala tak berani menatap wanita di depannya. "Omong kosong! Sudahlah! Segera tutup warung, saya mau pulang." Bu Fatimah langsung pergi pulang meninggalkan Alisha yang masih kebingungan. Dalam kondisinya saat ini, Alisha tak tahu harus melakukan apa. Namun, sebelum menangis meratapi nasibnya, ia segera membereskan dan menutup warung itu. Bisa-bisanya semua terjadi di saat Alisha sedang dekat-dekatnya dengan bu Fatimah. Alisha khawatir setelah ini kepercayaan wanita yang sangat baik hatinya itu hilang. Dia hanya orang lain yang beruntung bertemu dengan orang yang baik. Setelah ini entah apa yang akan terjadi, sepertinya bu Fatimah takan sebaik sebelumnya. Kepala Alisha diserang oleh banyak pikiran buruk. Hatinya semakin takut, panik, dan tak karuan. Air mata sudah menemaninya sejak tadi. Alisha menangis seorang diri. Hingga tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. "Al, Alisha?" panggil seseorang di balik pintu. Alisha segera menghapus air matanya. Kemudian berjalan menuju pintu. "Al?" panggilnya lagi, tapi Alisha masih tak juga mau membukakan pintu. "Hei, apa kamu baik-baik saja?" panggil Fajar mengulang. "Fajar, maaf. Aku lagi gak mau diganggu. Sebaiknya kamu pulang lagi aja." "Ah, baiklah. Aku pergi sekarang, ya!" Alisha mendekatkan telinganya pada daun pintu memastikan Fajar sudah tak ada di sana. Kemudian ia duduk menyandar ke pintu dengan tangan melingkar memeluk lutut. Wanita itu kembali menangis. "Aku harus gimana? Aku harus apa? Huhuhu." Alisha terus menangis merasa bersalah. Di balik pintu, sesungguhnya Fajar tidak benar-benar pergi. Ia menunggu karena hatinya merasa wanita di dalam itu sedang membutuhkannya. Dan saat ini tangis itu ia dengar, tanda apa yang diduganya memang benar. Ingin sekali Fajar kembali mengetuk pintunya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa yang membuat Alisha kebingungan. Namun, sepertinya berdiam menahan diri saat ini jauh lebih baik. Masih terdengar suara isak tangis Alisha. Selain hal ini, Fajar juga sedikit heran karena warung makan bu Fatimah tutup lebih awal. Apa ini ada hubungannya dengan Alisha menangis? Batin Fajar terus bertanya-tanya. Setelah cukup lama menangis, Alisha beringsut bangun menuju kamarnya. Sedangkan Fajar memutuskan pergi setelah ia bisa memastikan Alisha sudah tak lagi di balik pintu tersebut. Alisha segera membongkar celengan yang menyimpan uang untuk lahiran nanti. Ia pun segera menghitungnya. Uang itu hasil dari buruh kerja bersama bu Fatimah selama ini. Ya, selain memberinya tempat tinggal, Bu Fatimah selalu memberikan Alisha uang mingguan. Katanya buat jajan. Baik bukan? Sebab itulah, Alisha benar-benar takut akan marahnya bu Fatimah. Tampak jelas tadi ia begitu kecewa saat tahu uangnya hilang. Seratus, dua ratus, tak banyak yang Alisha dapatkan. Sebetulnya untuk biaya lahiran nanti pun ini takan cukup, apalagi jika dipakai untuk menutup uang bu Fatimah yang hilang benar-benar sangat kurang. Dengan derai air mata yang masih mengalir, Alisha merapikan uang miliknya kemudian disimpan kembali untuk esok akan ia berikan pada bu Fatimah. Refleks, tangannya menyentuh perut yang kini sudah bulat membesar. Hal yang tak pernah Alisha lakukan. Sambil menangis ia terus mengelus perutnya seraya bersenandika, "Nak, maafkan ibu, ya! Ibu ceroboh sehingga uang untuk kelahiran kamu harus ibu pakai. Ibu akan segera menggantinya dengan bekerja keras. Ibu janji!" Tiba-tiba sebuah gerakan terasa dari dalam seolah janin yang dikandungnya memberikan respons. Barulah Alisha tersenyum, ia merasakan kebahagiaan di dalam tangisnya. Tiba-tiba Alisha merasa tenang dan sangat yakin untuk kedepannya. Ya, rasa bingung itu hilang seketika. "Ibu lupa, ibu punya kamu, Nak," ucapnya kembali seraya tersenyum. Gadis itu pun kini mencoba menghentikan tangisnya. Ditariknya nafas perlahan kemudian ia embuskan, berharap dengannya ketenangan datang. Setelah itu, Alisha menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Empat rakaat isya baru ia lakukan. Seperti biasanya setelah shalat, ia berdzikir. Setelah itu dibukanya mushaf Al-Qur'an yang disediakan bu Fatimah. Dengan suara yang masih parau, Alisha melantunkan surat Al Mulk. Alasan ia memilih surat itu, karena surat Al Mulk merupakan salah satu surat yang dibaca Rosuulullah sebelum tidur. Alisha tahu hal ini dari Fajar tempo hari. Saat itu pria yang berprofesi sebagai marbot masjid itu memberitahu keutamaan-keutamaan membaca surat-surat tertentu yang dia anjurkan dibaca setiap selesai salat fardhu. Seperti setelah dzuhur, Fajar menganjurkan membaca surat Ar Rahman sebagai bentuk rasa syukur kita atas semua nikmat yang Allah berikan. Ba'da ashar dianjurkan membaca surat An Naba, salah satu keutamaannya jika seseorang membiasakannya setiap hari, maka akan diberi kemampuan untuk berziarah ke Baitul Haram. Kemudian ba'da magrib dan subuh, Fajar memberi anjuran pada Alisha untuk membaca surat Yasin dan Al Waqiah selang-seling setiap hari. Keutamaannya agar dipermudah dari segala urusan dunia, dijauhkan dari kemiskinan dan kefakiran, juga yang utama semua ini dilakukan agar mendapatkan ridho Allah SWT. Memang, selama ini Alisha masih belum bisa mengamalkannya secara istiqamah karena waktu yang kurang. Sesekali jika senggang ia selalu menyempatkan membaca amalan yang dianjurkan Fajar tersebut. Harap harap dengan begitu tidak tergolong sebagai orang yang lalai. "Bertahap. Tidak perlu tergesa-gesa, tidak harus sekaligus dijalankan semuanya, satu-satu aja. Kalau sekaligus dijalankan semua nanti yang ada merasa bosan dan capek. Tapi kalau satu-satu dijalankan, nanti ketemu nikmatnya, ketemu nyamannya. Kalau udah nyaman kan susah buat dilepas. Nah, baru tambah dengan yang lain sampai nyaman juga. Hingga akhirnya semua amalan bisa nyaman dijalankan," ujar Fajar saat itu. "Baik. Insyaallah aku jalankan satu-satu," jawab Alisha. Selesai membaca surat Al Mulk, Alisha segera menyimpan kembali mushafnya kemudian ia melipat mukena dan sajadah seraya membereskannya. Setelah itu, Alisha segera menggelar kasur untuk tidurnya. "Alhamdulillah," ucapnya. Ia merasa sangat tenang kali ini. Biarlah urusan bu Fatimah kembali diurus esok hari. "Ya Allah, Engkau Maha membolak-balikkan hati. Maka buatlah hati Bu Fatimah tetap baik dengan cara yang luar biasa. Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu." Alisha memanjatkan doa sebelum tidur. Kemudian ia memejamkan matanya seraya membaca doa sebelum tidur. Tak perlu menunggu lama, karena rasa lelah telah melanda, Alisha pun terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD