Takdir

1593 Words
Setelah beberapa hari beristirahat, Alisha semakin membaik. Hari ini ia bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Dimulai dari membantu memasak untuk menu yang akan dijual, hingga melayani pembeli. Dan di sela-sela itu, ia sering melakukan jalan-jalan pagi atau sore bersama Fajar pastinya. Kedekatan mereka sudah tak perlu ditanyakan lagi. Orang-orang sampai banyak mengira bahwa mereka pasangan suami istri. Walau memang itu lah yang diinginkan keduanya dalam hati. Ya, dalam hati, karena tak ada satu pun di antara mereka yang berani. "Sore ini waktunya kamu istirahat," ujar bu Fatimah saat adzan ashar terdengar. "Oke, Bu. Aku mau jalan-jalan sore, ya!" "Iya, lakukan saja sesukamu. Buat dirimu se-rileks mungkin, supaya janinmu gak stress." "Siap, Komandan! Laksanakan!" seru Alisha bergurau. "Eh, ya! Dikasih tahu malah gitu!" Alisha tertawa seraya gegas pergi ke belakang untuk salat ashar. Tak lupa, ia mandi terlebih dahulu karena sore ini jalan-jalan seperti biasanya. Ah, mungkin bisa juga dibilang kencan karena Alisha bersiap semaksimal mungkin. Menyelam sambil minum air, mungkin itu pepatah yang tepat untuknya saat ini. Empat rakaat Alisha dirikan, tak lupa setelahnya dzikir petang dibacakan. Dengan menggunakan buku panduan dzikir yang diberi Fajar tempo hari. Selama ini sedikit demi sedikit Fajar mengajarkan Alisha ilmu agama yang diketahuinya. Walau dia sendiri bukan seorang ustadz atau santri, Fajar bilang ilmu harus disampaikan walau sedikit. Itu yang Fajar lakukan pada Alisha. Satu waktu ia menerangkan keutamaan membaca dzikir di pagi dan sore hari. Di antaranya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah serta agar senantiasa diberi ketenangan. Ketenangan itulah yang Alisha inginkan. Dalam kondisinya saat ini ia memang benar-benar membutuhkan ketenangan untuk sebuah kebahagiaan. Benar bukan? Dengan tenang kita akan bahagia. Karena jika hati kacau, gelisah, galau, tak ada sedikit pun kebahagiaan yang kita rasakan. Tapi jika hati tenang, sudah pasti kebahagiaan menghampiri. Dari situ lah, Alisha ingin mengamalkannya. Fajar dengan senang hati membantunya dengan memberikan ia buku panduan dzikir. Selesai melaksanakan salat dan berdzikir, Alisha segera mengenakan pakaian yang paling bagus menurutnya. Tak lupa sedikit parfum ia olesi di bagian-bagian tertentu, dan sedikit bedak serta lipstik di wajahnya. Ah, ayolah Alisha kamu ini mau jalan kaki di sore hari, tapi persiapanmu sudah seperti mau makan malam. Bersamaan dengan Alisha yang sudah siap, Fajar datang. Ia sangat simpel dalam urusan berpakaian, cukup mengenakan sarung serta kaos polos dan tak lupa peci hitam. Dia pikir toh hanya jalan-jalan biasa. Pria memang begitu! Fajar pun segera mengajak Alisha menuju taman kota. Di sore hari, banyak orang yang mengunjungi taman sekadar untuk bermain dan bersantai. Di antara mereka ada yang berpasang-pasangan seperti halnya Alisha dan Fajar. Ada juga yang membawa anak-anak kecil. Dan sepasang suami istri bersama ketiga anaknya yang sangat kecil menarik perhatian Alisha dan Fajar. "Al!" panggil Fajar. Keduanya berjalan santai mengelilingi taman. "Ya?" sahut Alisha. "Setelah bayi ini lahir, apa kamu ingin memberinya adik?" "Hei, apa kamu gak salah dengan apa yang kamu tanyakan?" protes Alisha. "E-eh, aku salah, ya?" "Menurutmu?" "Entah, tapi di mana letak salahnya?" Fajar menghentikan langkahnya sesaat. "Kamu menanyaiku tentang adik bayi ini? Sedangkan aku punya suami aja nggak! Gimana mau bisa punya adik?" "Emm, i-itu. Maksud aku, k-kamu ada rencana menikah?" "Mungkin," jawab Alisha singkat. "Kamu tidak trauma dengan apa yang menimpamu kan? Kehamilanmu?" "Aku sudah menerima takdir yang tertulis untukku. Aku sudah tak ingin memikirkan masa lalu, Jar. Yang aku pikirkan masa depan. Rasa-rasanya aku memang membutuhkan seorang suami untuk ayah bayiku nanti!" Tanpa menjawab Fajar hanya tersenyum. Secercah harapan indah ada di depannya. "Emmm, kalau kamu menikah, kamu mau punya berapa anak?" tanya Fajar kemudian. "Emmm, berapa, ya?" Alisha mengetukkan jarinya pada dagu tampak berpikir. "Tiga gimana?" tanyanya meminta pendapat. "Ah, kok tiga sih. Dikit banget tahu! Aku maunya minimal tujuh!" jawab Fajar antusias. "Eh? Kamu?" "Eh? A-aku … emmmm, maksudku kalau aku nikah aku mau tujuh aja." Fajar salah tingkah. Jelas saja pernyataannya itu seolah ia mengungkapkan apa isi hatinya. Alisha tersenyum seraya menertawakan. "Kalau kamu yang berharap jadi suami aku juga boleh kali!" ucapnya seraya menundukkan kepala. Pipinya memerah tampak seperti buah tomat. "Eh?" Fajar yang semula membuang muka menoleh. "Jadi, kenapa mau punya anak banyak?" tanya Alisha melanjutkan obrolannya. "Emm, ya i-itu, karena Rosuulullah juga memiliki tujuh anak. Dan lagi jika kita banyak anak itu artinya kita sedang memperbanyak jumlah umat Islam. Eh, maaf! Maksudnya bukan kita, tapi jika aku atau kamu gitu." Alisha kembali menyunggingkan senyuman sebagai tanggapan. Kemudian ia kembali berjalan meninggalkan Fajar di belakangnya. Alisha sudah berjalan sebanyak lima putaran di taman kota yang memiliki luas sekitar tujuh ratus meter persegi. Cukup membuat ibu hamil itu kelelahan. Jadi, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat di kursi yang ada di sekitarnya. "Tunggu sebentar!" ucap Fajar. Ia pergi sebentar mencari makanan dan minuman. Hingga beberapa menit kemudian, Fajar datang dengan s**u kotak serta roti isi dalam kantong plastik yang dibawanya. "Nih, minum dan makan dulu!" Fajar memberikan makanan dan minuman itu pada Alisha, kemudian ia duduk di dekatnya. "Jar?" panggil Alisha setelah beberapa saat terdiam. "Ya?" "Terima kasih untuk semuanya, ya!" "Sama-sama." "Entah bagaimana jadinya jika aku tak bertemu kamu," ungkap Alisha. "Jangan bilang begitu, semua sudah Allah rencanakan," jawab Fajar. "Ya, aku sangat bersyukur Allah telah hadirkan kamu untuk aku. Harap harap kebersamaan ini tidak sampai sini saja." "Aamiin." Tak banyak yang Fajar katakan, hanya satu kata penuh makna. Keduanya kembali terdiam seraya menikmati roti serta s**u dengan pemandangan senja di langit biru. Hingga menjelang magrib, orang-orang mulai membubarkan diri begitu juga dengan Alisha. "Malam ini ada pengajian di masjid ba'da magrib. Aku akan senang jika kamu datang," tukas Fajar saat mereka berjalan pulang. "Insyaallah. Kalau warung makan udah tutup aku akan datang." "Ah, benar. Kamu harus membantu bu Fatimah!" Alisha mengangguk. "Tapi kamu tenang saja. Kalau kamu gak ngaji pun aku bisa merekamnya untuk kamu!" ucap Fajar. "Wah? Benarkah? Terima kasih sebelumnya, Jar!" "Tidak perlu berterima kasih. Sepertinya aku harus membiasakan karena siapa tahu kelak jadi kewajibanku untuk memberikan kamu ilmu." "Aku pun berharap begitu," ungkap Alisha. "Ya sudah, cepat masuk ke dalam. Sebentar lagi adzan!" "Baik. Makasih banyak ya, udah mau nemenin!" "Sama-sama. Aku pamit dulu, assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Alisha masuk ke dalam dengan wajah berseri-seri dan hati yang berbunga-bunga. Perutnya terasa dipenuhi oleh kupu-kupu sehingga ia tak bisa menghentikan senyuman. Ya, senyuman itu terus tersungging apalagi jika wajah Fajar tergambar dalam bayangannya. Bu Fatimah yang sedang duduk menunggu warung turut tersenyum melihat gurat kebahagiaan di wajah anak angkatnya. Ah, memang benar begitu kan? Alisha sudah seperti anak angkat untuk bu Fatimah. "Bu, aku salat dulu, ya! Nanti gantian jaga," ujar Alisha sebelum meneruskan langkah. "Iya. Jangan lupa ya doanya!" seloroh bu Fatimah. "Doa apa?" tanya Alisha heran. "Doa agar dijodohkan dengan dia!" ucap bu Fatimah menggoda. "Ih, Ibuuuuuu!" Alisha menutup wajahnya seraya melebarkan langkah kaki masuk ke dalam. Tiga rakaat saat ini sangat nikmat dirasakan. Beginilah jika ibadah dalam keadaan hati yang tenang dan senang. Ringan melakukannya dan tak merasa terbebani. Alisha sangat merasakan hal itu. Setelah salam ke kanan dan ke kiri, Alisha bergegas melipat mukenanya karena harus bergantian dengan bu Fatimah. Wirid dan dzikir tetap ia baca sambil melakukan banyak hal. Ya, sangat boleh hal itu dilakukan jika memang kita tak punya banyak waktu untuk berlama-lama duduk di atas sajadah. Maka dzikir bisa dilakukan sambil apa saja, kecuali saat kita berada di dalam tandas. "Sudah selesai sholatnya?" tanya bu Fatimah begitu melihat Alisha keluar. "Sudah, Bu. Mangga, biar aku yang jaga." "Doanya juga udah?" Lagi, bu Fatimah menggoda. "Ih, apa sih, Bu! Udah buruan sholat!" ujar Alisha seraya mendorong tubuh bidadari penyelamatnya. "Mau bantu didoain gak? Nanti ibu doakan!" "Ibuuuuuuuu." Sambil tertawa bu Fatimah beranjak pergi ke dalam. Bibir Alisha terus berkomat kamit membaca dzikir. Hari ini ia sangat bahagia sehingga hatinya terus mengucapkan syukur tak henti-henti. Hingga tiba-tiba datang beberapa pembeli. Seorang wanita paruh baya serta anak kecil membeli lauk nasi. Alisha pun melayaninya seperti biasa. Ibu itu memesan udang goreng, sayur lodeh, serta sambal dan anaknya meminta telur. Namun, ternyata telur dadar habis sehingga Alisha tak bisa memberikannya. "Dek, maaf ya, terlur dadarnya abis!" ujar Alisha. "Dak mauuu. Adek, mau telur dadar!" Anak merengek. "Maaf ya, Neng! Gimana kalau buatin dulu," pinta ibunya memohon. Melihat anaknya yang semakin menangis, Alisha pun menyetujui. "Baiklah. Kakak buatkan dulu, ya! Ade tunggu sebentar!" Alisha pun segera masuk ke dalam untuk membuatkan telur dadar spesial khusus anak tadi. Tak butuh waktu lama, Alisha pun kembali. Namun, ibu dan anak itu sudah tak ada. Alisha heran, kenapa mereka menghilang begitu saja. Hingga ia berpikir bahwa pembelinya itu sedang mengunjungi tempat lain, dan Alisha menunggu. Tak lama dari itu bu Fatimah keluar, ia baru selesai dari sholatnya. Alisha menampakan sedikit rasa cemas, membuat Bu Fatimah terheran-heran. Ia segera mendekati Alisha dan bertanya, "Ada apa?" "Emmm, i-itu, Bu. Tadi ada yang beli, anaknya merengek mau telur dadar jadi Alisha buatkan. Tapi pas aku balik lagi ke sini mereka sudah gak ada." "Eh? Mereka ke mana?" "Gak tahu, Bu. Alisha tidak memperhatikan." "Astaghfirullah! Alisha, coba lihat laci uang!" Alisha baru tersadar akan sesuatu. Ia segera melihat laci uang yang berada di bawah etalase tempat menyimpan makanan. Dan, di luar dugaan dompet yang berisi pendapatan hari ini hilang. "Bu, gimana ini?" Alisha semakin cemas. Ia menyalahkan diri karena kecerobohannya. "Astaghfirullahal'azhim." Bu Fatimah mendesah kecewa. "Alisha, apa kamu masih ingat wajahnya?" "I-ingat, Bu." Alisha pun bergegas pergi untuk mencari. Ia yakin, ibu dan anak itu belum terlalu jauh pergi. Semua tempat ia datangi seorang diri. Satu persatu, hingga Alisha tak sadar orang-orang memperhatikannya. Alisha pulang tanpa hasil. Ia sudah kelelahan mencari ke semua tempat yang dapat didatanginya tapi pencuri itu tak ditemukan. Mungkin, anak dan ibu tadi bisa saja menggunakan sepeda motor. Alisha tak begitu memperhatikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD